The Guardians - #15

317 63 1
                                    

ABIGAIL

Seperti ada yang hilang dari dalam diriku.

Air mata masih mengalir deras, suaraku telah meninggalkanku beberapa detik yang lalu, lengan kokoh Sebastian tetap menyelubungiku.

Dan aku masih tetap tidak membalasnya.

Isakan parau Sebastian menghancurkan setiap sel dalam tubuhku, namun aku tidak bisa menenangkannya di saat aku sendiri terlalu rusak dan kotor.

Ya, kotor. Merupakan kata yang tepat, bukan?

Aku masih ingat dengan jelas bagaimana tangan-tangan kotor mereka menjamahku, memainkanku, serta meremasku seolah cairanku akan keluar dengan sendirinya.

Yang terburuk? Well, seluruhnya merupakan yang terburuk.

Tangan lebar Sebastian masih berada di punggungku, mengelusnya lembut.

"Abigail, baby, katakan sesuatu," pintanya untuk kesekian kali. "Maafkan aku, maafkan aku."

Ia kembali menangis, tubuhnya sendiri bergetar. Aku melihat darah kering pada pergelengan tangannya yang sebelumnya tidak kupedulikan.

"Maafkan aku, Abigail, maafkan aku," ucapnya berkali-kali sejak aku melepaskan ikatannya. "Maafkan aku, baby. Aku sangat bodoh, aku tidak cukup kuat. Maafkan aku."

Tubuh kami berkeringat hebat melawan suhu yang seharusnya membekukan. Dan aku masih di sini, terdiam sementara air mata tak kunjung berhenti, dengan kekasih yang terus-menerus minta maaf tapi aku tidak mampu membalasnya.

Beberapa menit lamanya Sebastian masih meracau meminta maaf. Dan kurasakan tanganku mampu membalas pelukannya dengan sisa-sisa kekuatan yang ada.

"Seb," bisikku, dan hanya sampai di situ. Aku tidak tahu harus mengatakan apa.

"Abigail?" Sebastian melonggarkan pelukannya sedikit untuk menatap mataku. Keningnya berkerut dalam, matanya penuh akan kekhawatiran. Kami masih berada di lantai, dan lebih tepatnya aku berada di paha Sebastian. Ia mengangkat serta memelukku seolah aku adalah bayi.

"Ja-jangan... jangan menangis," isakku.

Namun ia semakin menangis. Aku tidak pernah melihat Sebastian selemah ini. Ia menyatukan kening kami. Napasnya terasa panas di kulit wajahku, dan aku nyaris bisa merasakan setiap bulir air mata yang mengaliri pipinya.

"Seb... sshh." Tanganku berlari ke pipinya, berusaha selembut mungkin menghapus air matanya. Tangannya meraih milikku, lalu dikecupnya jari-jariku satu per satu.

"Maafkan aku," isaknya.

Dan aku hanya mampu mengangguk sebelum mengistirahatkan kepalaku di dadanya, lalu memejamkan mata.

•••

Jam dinding menunjukkan pukul satu dini hari ketika aku terbangun.

Lengan kuat Sebastian masih dengan setia melingkari tubuhku, menjagaku tetap nyaman serta aman. Walaupun ia gagal menyelamatkanku, namun bagiku tidak ada tempat teraman kecuali berada di dalam pelukannya.

Dan seharusnya aku dapat memberitahu Sebastian tentang itu—menenangkannya.

Aku mendongak memandang wajah menawannya yang tentram ketika tertidur pulas. Hatiku dilanda rasa sayang. Oh, Tuhan. Betapa rumitnya menjalin hubungan dengan laki-laki ini—namun betapa menggairahkannya pula! Bersama Sebastian tidak akan pernah membuatku bosan.

Aku tahu ia khawatir dengan reaksiku yang tidak terlalu menikmati ceritanya tentang Hazel, tapi aku menghargainya. Aku tidak akan marah hanya karena ia memperkenalkan sosok Hazel padaku.

Kularikan jari-jariku ke tulang pipinya yang sempurna. Dapat kurasakan sisa-sisa air mata kering di sana. Kulit mulusnya terlalu sempurna untuk dirusak oleh air mata.

Lalu sebuah senyum lemah terukir pada bibirnya.

"Abigail?" Gumamnya seraya membuka mata.

"Hey, peramal," candaku, walau suara parauku mengkhianatiku.

Ia menatap mataku, ibu jarinya mengelus bibirku. "Aku tidak akan bertanya apakah kau baik-baik saja, karena jawabannya adalah tidak."

"Terima kasih, Seb."

Ia menggelengkan kepala lemah. "Jangan berterima kasih, Abigail. Aku gagal menjagamu. Aku minta maaf."

Mendengar suaranya yang kembali bergetar membuat hatiku sakit. "Sshh... jangan, Seb. Aku tahu kau telah berusaha. Kau kalah jumlah."

"Itu bukan suatu alasan." Kali ini bibirnya membentuk garis keras. Ia jelas terlihat marah. "Aku akan membalas mereka semua. Aku berjanji."

"Jangan," sergahku. "Sebastian, aku tidak ingin kehilanganmu."

Ia mengecup keningku sebelum menjawab, "Aku akan memikirkan sesuatu. Lagi pula, pertama Mason, dan sekarang Quincy. Apakah kau benar-benar berpikir aku akan tinggal diam?"

"Well..."

"Sudahlah," sergahnya.

Kami kembali terdiam. Napas Sebastian masih memburu, jadi aku yakin ia belum kembali tidur. Lenganku mengeratkan pelukan ke sekeliling perut bidang Sebastian, dan itu kembali membuatnya mengecup keningku.

"Apakah kau kesakitan? Bagian apa yang sakit?"

"Percayalah, aku baik-baik saja."

"Kebohongan paling bodoh yang pernah kudengar."

Mau tidak mau, tawa lemah keluar dari mulutku. "Kita akan mengurusnya nanti di pagi hari, Sebastian."

"Well, kalau begitu, tidurlah." Lengannya semakin erat di sekeliling tubuhku. Ia menempelkan bibirnya pada puncak kepalaku, dan tetap berada di sana untuk beberapa saat. Hingga bisikan lembutnya kembali terdengar, "Maafkan aku."

Aku pun berusaha jatuh ke alam mimpi.

The GuardiansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang