Kami berada di restoran mewah di pusat kota. Valerie memaksa untuk mentraktirku.
Dan sekarang ia tertawa mendengar kisah masa kecilku yang penuh warna.
Mengingatnya, aku disergap rasa rindu pada Dad. Masa kecilku tidak akan berwarna tanpanya yang selalu ada di sisiku. Ia bahkan pernah dengan bangga memamerkanku kepada seluruh tetangga bahwa aku baru saja jatuh ke dalam lumpur karena tidak bisa mengayuh sepeda dengan benar. Ia begitu bangga seolah aku baru saja mendapat medali emas.
"Well," ucap Valerie. "Ayahmu terdengar menyenangkan. Apa yang ia lakukan sekarang?"
Perasaan dingin menyelimutiku. Kami berada di daerah rawan saat ini. "Oh, kau tahu, menikmati masa tuanya."
Valerie hanya mengangguk, ia tidak terusik dengan senyum palsu yang kupasang. Lalu realita menghantamku.
Mengapa aku berbagi semua ini kepada Valerie—bos serta orang yang baru kukenal? Mengapa aku dengan mudah bercerita kepadanya sementara satu-satunya perempuan yang menghargaiku harus memaksa serta melihat sisi burukku terlebih dahulu untuk akhirnya mengetahuinya?
Aku melirik Valerie yang sedang menyesap tehnya. Wajahnya berbinar bahagia, entah karena apa. Matanya membalas tatapanku, dan seketika pipinya memerah.
Sialan, Seb.
Aku menunduk, sadar apa yang telah kulakukan. Aku tidak bisa melakukan ini. Aku tidak bisa menyakiti Abigail walaupun aku tidak tahu ia menganggapku apa.
"Eh," cicitku. "Well, Val, aku harus pergi. Aku lupa bahwa aku punya acara lain."
Ia menatapku dengan ekspresi kecewa. "Well, yeah, jangan sampai terlambat kembali."
"Jangan khawatir," balasku kaku tanpa repot-repot tersenyum.
Apa yang baru saja kulakukan? Mengobrol dan berbagi kisah masa kecilku diiringi gelak tawa dan aura kebahagiaan? Mengapa aku begitu bodoh?
Kulajukan mobilku menuju stan Jonas. Ketika sampai di sana, aku melihat Abigail sedang duduk ditemani laptop-nya. Rambutnya berkibar lembut tertiup angin. Matanya fokus kepada layar. Jari-jari lentiknya menari di atas keyboard. Lalu Jonas mendekat ke arahnya sambil menyodorkan pesanannya.
Aku turun dari mobil. Mereka melihatku, senyum keduanya terukir. Senyum Abigail-lah yang membuat hatiku hangat, dan kemudian setitik rasa bersalah menghinggapiku.
Aku duduk tepat di sampingnya, lalu mengecup pipinya ringan.
"Kau sedikit terlambat untuk makan siang, bung," sahut Jonas.
"Yeah, Jo," balasku asal.
Abigail menatapku. Ia selalu tahu bila ada yang salah dengan diriku. Jari telunjuknya menyentuh keningku, lalu kurasakan ia mengelusnya.
"Kau baik-baik saja?" Gumamnya lembut.
Aku memaksa senyum tulus terukir pada bibirku. "Aku selalu baik bersamamu, Abigail."
Pipinya memerah, dan ingatan akan pipi Valerie yang juga memerah karena aku kembali mengusikku.
"Ah, dua sejoli," sahut Jonas tiba-tiba. Abigail menoleh ke arahnya dan tertawa. "Kau mau pesan apa, bung?"
"Tidak untuk hari ini, Jo. Aku sudah makan." Tatapanku tidak meninggalkan Abigail walaupun sekarang ia kembali mengetik.
Tanpa melihatku, ia bertanya, "Kau sudah makan siang?"
"Yeah, bersama bosku." Aku memberi jeda, mengharapkan suatu reaksi dari Abigail. Ia terlihat tidak peduli. Haruskah aku jujur?
"Well, bagus." Jawabnya asal.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Guardians
Fanfiction[BAHASA INDONESIA] - [SEBASTIAN STAN] • Di saat dunia fantasi pribadinya membungkusnya rapat dari dunia luar yang kurang ajar, Abigail harus menerima fakta bahwa dunia fantasi tersebut tidak selamanya dapat menjadi pelindungnya. Ia harus keluar, har...