Kurasakan lengan kurus Abigail berusaha melingkari pinggangku. Ia terus membisikkan kata-kata manis yang menenangkan. Tubuhku sendiri tidak berhenti bergetar. Aku tidak mengerti mengapa setelah bertahun-tahun, mimpi itu baru muncul.
"Hey, Seb, tenanglah. Rileks. Kau bergetar hebat." Bisik Abigail sekali lagi. Tanpa mampu dicegah, lenganku membalas pelukan Abigail. Aku memeluknya erat. Dan tanpa sadar air mataku mengalir.
Setelah sekian lama, setelah rasa sakit yang begitu dalam, dan setelah bertahun-tahun berusaha menyembunyikan segala emosi—aku pun hancur di dalam pelukan perempuan yang bahkan tidak kukenal.
Aku memikirkan Dad yang pergi meninggalkanku. Aku memikirkan Mom yang mengalami depresi dan berubah menjadi pelacur. Aku memikirkan hari-hari yang kuhabiskan sebagai budak Venetia.
Hari-hari di mana aku harus memuaskan nafsunya. Hari-hari di mana aku menerima berbagai perlakuan kasar bila tidak memuaskannya. Hari-hari di mana untuk pertama kalinya, aku lupa bagaimana cara tersenyum.
"Sshh... tenanglah, Seb. Aku di sini, aku di sini." Abigail menghapus air mataku, lalu tangannya berlari untuk mengusap rambutku dengan lembut. Bisa kurasakan tangannya sendiri bergetar.
"Abigail—" pertahananku runtuh dan kembali menangis. Abigail memelukku erat dan lebih erat lagi, aku bahkan tidak tahu apakah itu mungkin terjadi. Tapi dia melakukannya.
Setelah beberapa menit yang panjang, kurasakan napasku mulai teratur. Tubuhku masih berkeringat di tengah-tengah suhu London yang membekukan. Aku memejamkan mata, mencoba mengusir seluruh pikiran buruk. Astaga. Benar-benar memalukan.
Abigail merasakan perubahan tubuhku, sehingga ia melonggarkan lengannya untuk mendongak dan menatap mataku. Matanya sendiri berair. Mengapa Abigail selalu menangis?
"Kau baik-baik saja?"
"Tidak." Jawabku. "Tapi aku akan mencoba."
"Mau menceritakannya?"
"Tidak sekarang."
Abigail mengangguk sekali lalu kembali mengeratkan lengannya seolah aku akan hancur sewaktu-waktu. Aku kembali memejamkan mata dan kegelapan kembali menyergapku.
Hal selanjutnya yang kutahu, Abigail hilang dari sisiku.
Aku mencium aroma roti panggang serta hangatnya sinar matahari pagi. Untuk pertama kalinya, kepalaku tidak nyeri. Dan untuk pertama kalinya, aku tidak terlalu mempermasalahkan sinar matahari.
Abigail melirikku dari dapur, senyum lemahnya terukir.
"Selamat pagi," gumamnya.
"Yeah," jawabku seraya bangkit dan berjalan menuju dapur. Saat menuang air ke dalam gelas, kurasakan tatapan khawatir Abigail. "Aku baik-baik saja. Berhenti menatapku."
Ia mendengus. "Masih bersikap kasar."
"Apa pun yang kualami semalam, kau harus melupakannya."
"Dan membiarkanmu menanggung semua beban?" Sahutnya. "Aku berjanji akan menolongmu, Sebastian."
"Kau bisa menolongku untuk tidak mengonsumsi narkoba lagi. Tapi kau tidak bisa menolongku untuk hal lain."
"Dan itu sebabnya kau begitu dingin dan kasar? Karena ada sesuatu yang membuatmu tidak peka dengan lingkungan sekitar?"
"Dengar," kataku sambil mendekat ke arahnya. "Aku telah bersusah payah menyembunyikan segala jenis emosi—sedih, senang, dan yang lainnya. Semalam aku membiarkan hati kecilku mengambil alih dan menangis. Hanya semalam, Abigail. Jangan harap aku akan menunjukkan yang lainnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Guardians
Fanfiction[BAHASA INDONESIA] - [SEBASTIAN STAN] • Di saat dunia fantasi pribadinya membungkusnya rapat dari dunia luar yang kurang ajar, Abigail harus menerima fakta bahwa dunia fantasi tersebut tidak selamanya dapat menjadi pelindungnya. Ia harus keluar, har...