Abigail sedang tertidur pulas di sofaku setelah kami menikmati makan siang.
Aku memandangnya lekat-lekat. Bulu matanya tampak letik. Tubuhnya tidak begitu kurus seperti para perempuan yang terobsesi memiliki tubuh ideal. Aku tidak menyadari sebelumnya bahwa mata abu-abunya yang selalu menyorot tajam merupakan hal yang menonjol darinya. Dengan matanya yang tertutup sekarang, wajahnya terlihat polos dan sederhana—cantik yang sederhana.
Sebastian, apa yang kau pikirkan?
Aku memalingkan wajah dan duduk di hadapannya sambil membuka laptop. Abigail meminjamiku benda ini untuk mencari pekerjaan di internet. Pekerjaan apa yang kira-kira cocok untukku?
Aku terus mencari dan mencari hingga menemukan tiga dari ratusan yang sepertinya cocok. Kebetulan aku lulusan dari Rutgers University dengan jurusan seni—yang aku lebih fokus ke arah berakting. Well, cukup mengherankan. Tapi percayalah, sebelum kesengsaraan menjadi sahabat baikku, aku bukan pemuda pemurung.
Pikiranku tenggelam dalam pekerjaan yang akan kuambil. Lalu kurasakan sepasang mata manatap ke arahku. Aku mendongak, dan mengetahui Abigail menatapku lekat-lekat.
"Sudah menemukannya?"
"Well, sepertinya." Aku bangkit untuk mengambil soda dari kulkas. "Aku akan tetap sibuk untuk mengalihkan pikiranku. Lebih bagusnya lagi, upahnya lumayan."
Abigail mengambil laptop-nya untuk melihat situs lowongan kerja. "Pelatih teater? Serius, Seb?"
"Well," aku mengedikkan bahu. "Aku kuliah jurusan seni. Dan aku lulus dengan nilai yang lumayan."
"Wow."
"Dan aku memiliki pengalaman bela diri. Aku bisa menjadi pelatih kombat atau apa pun itu."
"Kombat?" Kudengar Abigail tertawa.
"Hey, apa yang salah?"
Abigail tetap tertawa namun tidak menjawab. Aku kembali ke sofa lalu mengisi beberapa data diri. Pihak yang bersangkutan menuntutku untuk mengirim CV melalui E-mail paling lambat malam ini pukul 7. Aku berhenti mengetik dan diam hanya menatap layar.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Abigail.
"Well, uhm... aku tidak mengerti bagaimana cara menulis CV."
Ia kembali tertawa, lalu beringsut mendekat ke arahku. "Biar kubantu."
Setelah beberapa saat, aku telah mematikan laptop Abigail lalu menyalakan televisi.
"Semoga mereka mempertimbangkanku," ucapku tiba-tiba.
Abigail sedang bersiap kembali ke apartemennya, lalu ia berbalik ke arahku. "Jangan terlalu dipikirkan, Seb. Di luar sana masih banyak lowongan."
"Hey," sahutku, tiba-tiba terbersit suatu pertanyaan. "Kau belum memberitahuku pekerjaanmu."
Abigail tersenyum. "Menurutmu dari mana aku mendapat keahlian menulis?"
"Kau seorang guru?"
Ia memutar bola mata dan mengerang. "Aku seorang penulis, idiot!"
"Penulis?" Seruku tidak percaya.
"Aku telah menerbitkan empat novel, dan semuanya kutulis di waktu senggangku saat... remaja." Abigail terlihat gugup, namun aku tidak ingin menembaknya dengan beberapa pertanyaan pribadi.
Dengan bercanda, aku menjawab, "Well, tidak perlu pamer."
Abigail kembali menutup pintuku, lalu berbalik ke arahku. "Kau tahu, aku lapar. Bagaimana kalau kita keluar mencari sesuatu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Guardians
Fanfiction[BAHASA INDONESIA] - [SEBASTIAN STAN] • Di saat dunia fantasi pribadinya membungkusnya rapat dari dunia luar yang kurang ajar, Abigail harus menerima fakta bahwa dunia fantasi tersebut tidak selamanya dapat menjadi pelindungnya. Ia harus keluar, har...