SEBASTIAN
Tubuh Abigail bergetar pada pagi harinya, bahkan kedua lenganku tak cukup untuk menghangatkannya.
Aku merasakan tubuh telanjangnya yang menempel erat pada tubuhku di bawah selimut. Aku tahu ia sedang kesakitan, namun ia memilih untuk diam. Mengapa aku pantas mendapatkan perempuan tegar seperti dirinya?
Aku benci saat melepaskan lenganku darinya, tapi aku harus bangun untuk memasak sesuatu. Abigail butuh asupan—paling tidak, itulah yang bisa kulakukan untuk tubuh tak berdayanya.
Membuka lemari, aku mengambil sweterku yang paling tebal serta boxer. Jika saja Abigail menyimpan beberapa bajunya di sini, aku tidak akan memberinya boxer. Tapi aku toh tidak punya pilihan lain. Berhati-hati, kupakaikan kedua benda tersebut ke tubuh mungilnya. Ia menggigil hebat dan aku tidak tahan melihatnya. Aku pun kembali ke lemari untuk mengambil selimut cadangan, lalu melilitkannya ke sekeliling tubuh perempuan itu.
Saat membuka pintu kamar dan memandang ke sepenjuru apartemen, keadaannya tidak berubah banyak. Bahkan terkesan baik-baik saja, hanya saja satu kursi dari meja makan telah hilang—yang tentu saja telah diambil anak buah Quincy untuk mengikatku.
Tanganku mengepal erat hanya dengan memikirkan perilaku biadabnya. Kali ini aku tidak akan hanya memberi omong kosong. Aku akan menepati janjiku untuk membalas semua ini kepada Quincy. Pria brengsek itu jelas perlu menerima sedikit pelajaran. Dan aku penasaran bagaimana reaksi Mason—adik Quincy yang menginginkan gadisku—jika ia mengetahui perbuatan kakaknya.
Berjalan menuju konter, aku mengeluarkan bahan makanan seadanya. Lalu aku sadar bahwa sebanyak apa pun bahan yang kupunya, namun untuk apa? Aku tidak bisa mengolahnya, bisa-bisa Abigail malah keracunan. Jadi aku berniat untuk membuat sereal saja.
Terdengar suara dehaman.
"Seb?" Suara lirihnya menyentakku. Aku berbalik menghadap dirinya yang sedang bersandar pada dinding. Lengannya bersedekap, wajahnya terlihat lelah. Ia berjalan menghampiriku—dan aku bersumpah ia terlihat panas. Hanya dengan sweterku yang kebesaran menggantung rendah jauh di atas lututnya membuat kakinya yang tidak begitu jenjang terlihat sempurna. Aku bahkan tidak tahu bagaimana seorang perempuan tampak memukau mengenakan boxer.
"Selamat pagi," aku mengecup bibirnya singkat, lalu meletakkan lenganku di pinggulnya. Matanya menatapku khawatir, tapi mulutnya bungkam. "Kau baik-baik saja?"
"Kau baik-baik saja?"
Aku tergelak lemah. "Abigail, jangan bersikap manis. Kau tahu aku sangat baik-baik saja."
"Well," kepalanya menunduk rendah. "Aku khawatir, Sebastian."
Kuletakkan jariku di bawah dagunya, lalu membuatnya mendongak menatapku. "Ada apa?"
Mata kelabunya berbinar tajam walaupun tersirat kesedihan di sana. "Aku tidak ingin kau terus merasa bersalah, Sebastian. Aku bahkan tidak ingin kau meminta maaf lagi."
"Tapi—"
"Sshh," jarinya melayang ke bibirku. "Aku baik-baik saja. Atau... aku akan berusaha untuk baik-baik saja. Lagi pula, Quincy telah mengambil uangmu, dia mendapat apa yang dia inginkan. Kau selamat."
Untuk sesaat aku menatap marah ke arah Abigail. Bisa-bisanya dia berkata begitu! Yang dia pedulikan hanya keselamatanku, sedangkan semalam dia sendiri hampir... babak belur. Tidak, tidak. Bukan hampir, melainkan sudah. Tanpa terasa tanganku mencengkeram kedua sisi tubuhnya, dan ia meringis. Seketika aku menjauhkan tanganku darinya.
"Ma—maafkan aku," gumamku sambil menunduk. Jari kurusnya berada di daguku untuk membuatku mendongak. Matanya melahapku, merampas jiwaku.
"Aku tahu kau marah dengan ucapanku," ia memberi jeda. "Sebastian, aku memang kesakitan. Aku memang merasa ternodai. Tapi aku akan melakukan apa saja untuk membantumu."

KAMU SEDANG MEMBACA
The Guardians
Fanfic[BAHASA INDONESIA] - [SEBASTIAN STAN] • Di saat dunia fantasi pribadinya membungkusnya rapat dari dunia luar yang kurang ajar, Abigail harus menerima fakta bahwa dunia fantasi tersebut tidak selamanya dapat menjadi pelindungnya. Ia harus keluar, har...