The Guardians - #21

259 45 2
                                    

SEBASTIAN

Abigail menghindari setiap tatapanku malam itu.

Ketika kami dalam perjalanan menuju ke apartemen, Abigail selalu mengalihkan pandangannya ke jendela yang basah akibat rintik hujan. Aku menghela napas, merasa frustasi karena respon yang diberikan Abigail hanya tangisan. Apa yang sebenarnya ia pikirkan?

"Abigail—"

Ia mengangkat tangannya untuk menghentikanku. "Jangan sekarang, Seb."

"Tapi aku butuh kepastian!" Erangku frustasi.

Matanya yang berair akhirnya menatapku. Ekspresinya jelas terlihat tersakiti, dan aku menyesal telah berkata bodoh.

"Kau butuh kepastian? Bagaimana denganku?" Bisiknya parau di sela-sela isak tangis. "Kau menghina wanita itu, Sebastian! Kau menghinanya habis-habisan di hadapanku, demi Tuhan! Tapi ternyata kau pernah mencintainya."

"Dan aku sadar bahwa aku tidak terlalu mencintainya!" Balasku sengit.

"Well, kau sempat membutuhkannya, bukan?" Nadanya terdengar sinis, dan amarahku membuncah.

Aku menepikan mobil di dekat pertokoan kumuh, lalu menghadap sosok mungil Abigail yang ketakutan melihat aksiku. Aku mencengkeram bahunya ringan, berharap itu tidak akan menyakitinya.

Suaraku rendah dan dingin saat mengatakan, "Kau tidak merasakan apa yang kurasakan, Abigail. Kau tidak tahu rasanya dijual oleh ibumu sendiri—bahkan ketika masa remajamu yang menyedihkan pernah dipertaruhkan oleh ayahmu. Kau tidak paham dengan rasa sepi yang menyakitkan ketika Venetia meninggalkanku. Kau tidak mengerti bagaimana aku membutuhkannya sekaligus membencinya. Terlebih lagi, kau tidak mengerti bagaimana rasanya bangun dengan keadaan sekarat dan tidak punya apa pun untuk hidup! Aku berjalan keluar dari rumah jalang sialan itu, dengan keadaan yang membuat orang lain berjengit lalu menjauh, dan kau tahu apa yang kudapat? Dua teman baru yang ternyata bukanlah teman. Quincy dan Mason meracuniku dengan segala jenis narkoba, dan betapa ironisnya ketika aku menikmatinya! Kau tidak mengerti bagaimana semua malam kuhabiskan dengan keadaan begitu mabuk dan selalu bermimpi tentang tangan mulus Venetia yang menyentuhku!"

Napasku memburu, tangis Abigail semakin menjadi-jadi. Aku sadar bahwa sekarang kedua tangan besarku mencengkeram kuat bahunya. Aku merasakan kulitnya berubah menjadi hangat di bawah tanganku.

Aku terkesiap, melepaskannya.

Lalu Abigail melompat keluar dari mobilku begitu saja. Dan aku tidak merasa ingin mengejarnya.

Lama aku hanya duduk diam di jok, kusadari bahwa Abigail telah menghilang entah ke mana. Ketakutan telah menjadi temanku untuk waktu yang cukup lama. Dan sekarang aku tidak terkejut ketika mengetahui diriku takut setengah mati bahwa Abigail akan pergi meninggalkanku.

Toh, dia benar juga. Mengapa dia mau menghabiskan waktunya untukku?

Aku menyalakan mesin dan mengemudi ke daerah pinggiran London. Di sana aku bisa menemukan banyak klub murahan yang menyajikan kesenangan sederhana.

Sebut aku gila karena apa pun yang akan kulakukan mampu membuat Abigail lebih menjauh dariku. Tapi bahkan sekarang aku telah kehilangannya, bukan? Dia tidak akan peduli lagi.

Setelah memarkir mobil beberapa blok dari klub kumuh bernama Trader's Liquor, aku melepas jasku yang sekarang terlihat konyol kupakai. Turun dari mobil, aku berjalan menuju klub.

Aroma tidak sedap menguasai indra penciumanku ketika telah berada di dalam klub. Semua orang terlihat sibuk dengan mainan mereka, dan yang kumaksud adalah jalang-jalang telanjang. Aku memejamkan mata selama beberapa detik untuk tidak merasa bersalah telah datang ke sini. Kuyakini dalam hati bahwa hubunganku dengan Abigail telah usai, aku tidak perlu merasa bersalah.

Lalu seseorang menepuk bahuku cukup keras.

Tubuhku merespon dengan sikap defensif. Namun sebelum aku sempat memuntir lengan seseorang yang telah menyentuhku, ia bergerak cepat. Tangannya mencengkeram tanganku, memaksaku untuk diam.

"Mason?" Kataku terkejut. "Kau mengikutiku?"

"Kita perlu bicara," desisnya.

"Denganmu? Oh, tidak." Aku berjalan menjauh, namun tangannya menangkap lenganku. Secara instingtif aku meninju pipinya.

"Dengar, Sebastian, aku akan sangat senang meladenimu, tapi aku butuh bantuanmu!" Serunya.

"Dan mengapa kau berpikir aku akan membantumu?"

"Karena ini tentang Abigail."

Rahangku mengeras mendengar mulut busuknya menyebut nama satu-satunya perempuan yang kucintai. Namun apa pun itu selama masih tentang Abigail, aku rela mendengarkan.

"Aku butuh minum," kataku kasar, namun mengarahkannya untuk mengikutiku. Setelah memesan kepada bartender, aku kembali menoleh ke arah Mason. "Ada apa?"

"Mengapa kau tidak memberitahunya?"

"Apa?" Suaraku terdengar bodoh, namun aku tidak peduli dan segera mengambil satu tegukan bir.

"Pada saat kita beradu di pom bensin. Kau tidak memberitahunya, kan?"

"Untuk apa?" Gelakku. "Kalian tidak saling kenal. Kau ingin terlihat bodoh karena kalah dariku? Toh, Abigail tidak akan peduli."

Kulihat tangannya mengepal, namun Mason tetap tenang. "Bukan tentang itu, Sebastian."

Aku terus minum, tidak peduli dengan kalimat-kalimatnya. Bisa dibilang kesabaranku hampir habis karena ia tidak langsung membicarakan poinnya, namun alkohol membantuku untuk tidak menggasak wajahnya.

"Sebastian, dengar—"

"Katakan apa yang penting, idiot!" Semburku seraya memberi kode ke bartender untuk memberiku sebotol bir lagi.

"Well, aku terkejut kau tidak memberitahunya mengapa aku melepaskan dia." Jawabnya, masih membuatku bingung. "Kau tidak lupa kan bahwa aku menginginkannya pada saat itu?"

"Serius, Mason?" Ucapku tak sabaran. "Kita akan membahas perasaan tak pentingmu itu sekarang?"

"Ini cukup penting, brengsek!" Pekiknya. "Aku tahu apa yang diperbuat Quincy terhadap Abigail. Dan aku heran kau masih diam tanpa perlawanan—"

Satu pukulan telak mendarat di rahangnya.

"Jangan berani-berani!" Desisku dingin. "Kau tidak tahu betapa aku ingin membunuh Quincy saat itu juga!"

"Dan kau masih di sini, minum sesuka hatimu, tidak memiliki ide cemerlang untuk membunuhnya!"

"Oh, apa pedulimu?!"

Mason tergelak sinis. "Apa peduliku? Aku tidak menyangka kau begitu bodoh! Kau tahu bahwa aku sangat tertarik dengan kekasihmu. Aku ingin membantumu balas dendam."

Membantu balas dendam? Oh, yang benar saja! Dia pikir aku akan percaya?

Aku mengangkat tangan sambil tersenyum sinis sebelum berkata, "Mason, Mason, kau menganggapku bodoh tapi aku tidak terlalu bodoh. Itu artinya, terima kasih, tapi aku tidak akan termakan omong kosongmu. Oh, dan satu lagi, Abigail bukan lagi kekasihku."

Aku mengangkat bokongku dari kursi lalu berjalan meninggalkannya.

Selagi berjalan mengelilingi klub, mataku menangkap sosok yang memikat. Gaun ketat merah yang menempel di atas lututnya membuatku menyengir lebar. Berjalan ke arahnya, mataku menjelajahi pemandangan yang ada.

Dan hanya Tuhan yang tahu apa yang terjadi.

The GuardiansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang