The Guardians - #29

246 44 1
                                    

Aku dan Quincy telah berbagi tempat di bagian belakang mobil mewahnya.

"Ke mana kita akan pergi?" Tanyaku suatu waktu, dan Quincy tidak mau repot-repot untuk menjawab, atau bahkan sekadar melirikku.

Aku menarik napas panjang sambil sekali lagi menunduk memerhatikan gaun satin indah yang membingkai tubuhku. Quincy dengan baik hatinya membeli gaun serta sepatu mahal untuk menghadiri sebuah acara yang aku belum tahu. Ia sendiri tampil gagah dengan setelan tuksedo dan rambut yang ditata rapi. Aku tidak akan pernah mengatakan bahwa wajah Quincy semenarik adiknya, namun kesan rapi kali ini ada pada penampilannya.

"Apa?" Bentaknya.

Aku tersentak dari lamunanku. Tidak kusadari bahwa mataku masih terfokus ke arahnya, dan dapat kurasakan wajahku memerah.

"Aku hanya tidak terbiasa melihatmu berpenampilan serapi ini," lirihku.

Quincy mengeluarkan tawa mencemooh. "Jangan main-main denganku, jalang. Aku tidak akan tertarik dengan pujianmu."

Untuk sesaat amarah terbangun di dalam diriku. Apakah dia mengira aku sedang menggodanya? Yang kulakukan hanya memujinya agar tangan kasarnya tidak menyakiti tubuhku. Namun aku memilih diam. Tidak ada gunanya berdebat dengan Quincy.

"Kau tahu, Abigail," mulainya lagi. "Jika pujaan hatimu itu tidak bermain api denganku, kau tidak akan berada di sini."

Aku mendengus kasar. "Well, aku tidak benar-benar menyalahkan Sebastian. Kau tidak pernah merasakan cinta, kau tidak tahu apa itu pengorbanan. Dan kau tidak tahu betapa bersyukurnya aku karena bukan Sebastian yang berada di sini."

"Oh, ya?" Ledeknya. "Apakah pengorbananmu akan terbayarkan? Apakah kau mengira Sebastian akan berterima kasih dan menyambutmu lagi di pelukan hangatnya? Kau pikir aku tidak tahu bahwa kalian sudah tidak bersama lagi?"

"Aku mencintainya, Quincy, dan aku tidak peduli apakah dia memiliki perasaan yang sama atau tidak."

•••

Aku tidak mengira Quincy benar-benar berniat untuk memanjakanku.

Sekarang kami berada di salah satu kafe mewah yang menguarkan aroma kopi serta mentega leleh di sepenjuru ruangan. Aku melihat banyak pasangan yang bercanda ria sambil sesekali menggoda satu sama lain. Hatiku serasa diremas mengingat ketika aku mengajak Sebastian ke D'Batter, tempat kesukaanku untuk menulis.

Quincy pun yang menyadari suasana hatiku mendongak dari buku menunya.

"Aku bukan pengasuhmu, jadi aku tidak peduli apakah kau akan sarapan atau tidak." Katanya kasar, matanya kembali menjelajahi buku menu.

"Ada aturan spesifik mengenai makanan yang boleh kupesan?" Sindirku sarkastik. Ketika kutemukan mata Quincy berbinar dengan perasaan terganggu, aku mengangkat tangan ke arahnya. "Baiklah."

Setelah memesan, kami saling diam. Mata tajam bak elang Quincy tidak pernah melepaskanku, dan aku mulai bergerak-gerak gelisah di bawah tatapan intensnya. Namun bisa kurasakan bahwa tidak ada rasa takut lagi di dalam diriku, dan aku mulai berpikir apakah itu karena hidupku telah kebal oleh hal-hal menakutkan.

Memikirkan itu semua pikiranku melayang ke novel yang sedang kukerjakan. Atau, yang sebelumnya sedang kukerjakan. Aku tidak tahu apakah setelah ini aku dapat menemukan inspirasi segar untuk melanjutkannya. Aku bahkan tidak menyadari bahwa kehadiran Sebastian sebagai tetangga baruku yang membuatku kembali menulis. Menghela napas berat, aku mencoba mengusir semua pemikiran tentang laki-laki tersebut.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" Bentak Quincy.

Aku gelagapan berusaha menemukan jawaban. "Aku... eh... uhm—aku..."

The GuardiansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang