—0.19
Ra, lo tau kenapa kita ahli banget buat pura-pura lupa
kalo orang yang kita sakitin itu punya perasaan juga?Bangsat!
Jevan melepas seatbelt, mengembuskan napas pendek dan diam di dalam mobilnya. Dirinya sudah berada di depan rumahnya kini. Jevan melihat wajahnya dari rear-view, sudut kiri bibirnya berdarah—sobek, but that's okay. Ia menyandarkan tubuhnya pada jok. Mengulang kejadian beberapa puluh menit lalu dan menggeram tertahan.
Apa tindakannya sudah benar?
Ingin menghabisi seseorang yang berani-beraninya mengambil apa yang ia punya.
Kedua tangan Jevan mengusap kasar wajahnya berkali-kali. Ia telah melakukan tindakan tanpa memikirkan imbasnya nanti. Tapi apa mereka memikirkannnya juga? Segala pertanyaan menghantamnya. Apa dia salah? Apa mereka tidak salah?
Jevan mengerjap berkali-kali dan sakit itu datang lagi. Menerjangnya habis-habisan. Mungkin Jevan tidak perlu bertanya lagi saat ia juga telah tahu penyebab mengapa dirinya pantas mendapatkan semuanya ini. Dan kenapa juga Aludra harus benar?!
Setelah berperang dengan pikirannya sendiri, Jevan memutuskan untuk keluar dari mobilnya itu dan masuk ke dalam rumahnya yang ia tahu lampu di segala ruangan telah dimatikan, kecuali lampu di pojok ruangan. Ia meringis ketika memegang sudut bibirnya itu.
Dan Jevan terkejut saat mendengar suara dari arah dapur yang mengatakan, "Nggak biasanya pulang jam segini. Biasanya pulang pagi, 'kan?" Itu Papinya. Jevan memilih untuk diam di tempatnya berdiri. Sebisa mungkin menyembunyikan wajahnya sekarang ini.
"Kok nggak bilang-bilang aku kalo Papi udah pulang?" Karena biasanya Jevan yang menjemputnya di bandara.
Papinya menyandarkan punggungnya pada kursi di depan meja makan. "Mau ngasih kamu kejutan tapi kamunya malah nggak ada."
"Sori," sahut Jevan cepat.
Terlihat Papinya mengangguk. "Come here for a bit, will you?"
Jevan ingin sekali memeluk Papinya itu tapi keadaan wajahnya sekarang mungkin akan membuat Papinya khawatir, lebih. Jevan menunduk dan pelan-pelan berjalan mendekat. Duduk di dekat Papinya. Kemudian merasakan Papinya bangkit. Jevan melihat ke mana Papinya pergi dan setelah mengetahui apa yang Papinya kerjakan, Jevan mengulum senyum.
Dari kecil hingga sekarang ketika Jevan berada di dekat Papinya saat ia tidak bisa tidur atau mereka memang ingin menghabiskan waktu berdua, Papinya selalu menyempatkan untuk membuat hot chocolate. Membicarakan tentang Maminya yang selalu tidur duluan di antara mereka. Membicarakan tentang masa depan Jevan. Membicarakan apa yang Jevan... pikirkan, rasakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
4.1 | star
Romance「 follow dulu sebelum baca 」 ▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀ ❝You are the shooting star that I always d r e a m of.❞ Bagaimana jika aku menceritakannya begini; Kita, sepasang bayang yang tak pernah berjauhan. Lalu terhapus oleh gelapnya kabut yang data...