— 0.11
Ra, lo terlalu sibuk sayangin orang lain sampe
sayangin diri lo sendiri aja lo lupa,"Kalo gue jadi Aludra, dari dulu udah gue damprat si Ramira! Cewek gak tau diri."
"Si Aludra emang kebangetan baik jadi orang."
"Nggak heran sih, orang baik kan—"
Ramira memilih untuk tidak mendengarkan kelanjutan dari omongan-omongan teman sekelasnya mengenai dirinya itu. Dan yang paling buruk Ramira pasti akan memikirkan hal itu berulang-ulang. Bersikap apatis bukan Ramira. And it would kill herself. Slowly.
Untuk hal kecil saja selalu Ramira pikirkan hingga dirinya sakit sendiri, dan perkataan orang-orang di sekitarnya—yang ia kira tidak akan membawa-bawa dirinya, muncul ke permukaan dan pasti sudah dapat ditebak Ramira akan bagaimana. Ternyata seperti itu ya pikiran mereka terhadap Ramira.
Karena diubah pun tidak akan bisa, tidak akan mungkin dalam waktu dekat. Ramira menghela napas pelan. Ayo, dong Ra jangan mikirin yang aneh-aneh, plis. Pinta Ramira pada dirinya sendiri. Lelah sudah pasti dan berujung pada... Ramira akan menangis. Namun, dengan mati-matian Ramira tahan. Ia masih ada satu kelas lagi.
"Ramira."
Panggilan Ghea di sampingnya dengan tepukkan di pundak Ramira membuat Ramira mengangkat kepalanya. Menarik kedua sudut bibirnya juga. "Lama banget. Ghea ke mana dulu sih?" Dan mengambil jus wortel campur apelnya itu dari tangan Ghea. Meminumnya cepat-cepatnya. Tenggorokkannya terasa sangat kering. Dan... ya begitu semuanya langsung ia tutupi. Seperti tidak terjadi apa-apa.
"Maaf. Tadi aku ngobrol dulu sama Abra. Temen-temen Ramira ke mana sih emangnya?" tanya Ghea dan ikut meminum jusnya juga. Matanya memerhatikan sekelilingnya. Mereka sedang duduk di bawah pohon tinggi. Banyak mahasiswa yang berlalu-lalang. Yang tidak Ghea kenal satu orang pun. Lebih tepatnya berada di taman fakultas ekonomi. Bukan tempat Ghea banget.
Ramira menolehkan kepalanya pada Ghea dan memberenggut. "Bila lagi rapat sama organisasinya. Jadi, aku sendirian deh." Alasan yang membuat kesedihan Ramira bertambah satu.
"Oh gitu. Ramira ada kelas lagi ya?"
Kepala Ramira menggangguk. Matkul yang Ramira harus hadiri di jam sebelas itu Auditing. Dosen yang Ramira juga tidak sukai. Lengkap sudah kesedihannya hari ini. "Ghea, mau pulang sekarang?"
"Mm... enggak juga sih. Tapi Abra udah nungguin aku di parkiran." Ghea menggigit bibir bawahnya itu. Padahal Ghea tidak mau pulang diantar Abra. Lalu, Abra memaksa. Mengancam Ghea segala lagi!
"Udah biarin aja, Ghea sama aku aja dulu di sini ya? Temenin aku. Nggak usah pikirin si Abra!" Ramira mengompori. Biarin saja Abra menunggu Ghea sampai lama. Laki-laki yang membuat Jevan sampai dahinya berdarah itu, ish!
"Oh iya, temen Ramira yang satu lagi—"
"Ghea!"
Suara Abra yang memanggil namanya itu, membuat Ghea menghentikan ucapannya. Ghea mendengus. Kenapa Abra tahu saja sih keberadaan Ghea? Padahal Ghea kan tidak memberitahukan Abra dia ke mana. Ghea bangkit. "Aku mau di sini dulu sama Ramira. Mending Abra diem di parkiran aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
4.1 | star
Roman d'amour「 follow dulu sebelum baca 」 ▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀ ❝You are the shooting star that I always d r e a m of.❞ Bagaimana jika aku menceritakannya begini; Kita, sepasang bayang yang tak pernah berjauhan. Lalu terhapus oleh gelapnya kabut yang data...