그대라서 고맙습니다
(Terima kasih karena orang itu adalah kau)
⚘⚘⚘Selamat membaca, guys
🍁🍁🍁Tidak butuh waktu begitu lama bagi Min Hee menungu kedatangan Won Woo. Sempat merasa tak tenang sejak pertemuannya dengan Lu Si, entah kenapa wajah dingin Won Woo seakan bisa menjadi obat hatinya sekarang. Ia tersenyum.
Saat Min Hee masuk dan duduk di bangku depan mobil, Won Woo bertanya padanya. “Kenapa denganmu? Apa ada sesuatu yang bagus?”
Min Hee menggelengkan kepala, tapi ia tetap tidak bisa melenyapkan senyuman di wajahnya.
Sekarang Min Hee tahu, seharusnya ia tidak pernah menyerah pada Won Woo dari awal. Kenapa? Karena Won Woo adalah senja baginya. Waktu yang segera ingin ia temui setelah hari yang melelahkan merisaukannya.
“Kita pulang sekarang,” ucap laki-laki itu langsung menyerah untuk tahu apa yang ada dalam benak Min Hee.
“Tidak! Aku harus membeli bahan-bahan dapur lagi,” kata Min Hee cepat-cepat. “Kau ada waktu mengantarku, kan?”
Won Woo tak menjawab, tapi biasanya itu berarti iya. Kemudian empat roda itu berputar menuju super market.
Walau begitu, ada satu hal yang masih mengganggu Min Hee. Tapi ia segan untuk meminta penjelasan. Ia seperti sudah tahu kalau tidak akan ada jawaban dari lawan bicaranya.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Won Woo membuyarkan lamunan singkat Min Hee.
“Kuyakin kau tidak mau mendengarnya,” jawab Min Hee pesimis.
“Jangan terlalu yakin!” kata Won Woo yang sesekali menoleh ke arah gadis di sebelahnya.
Min Hee ragu, tapi ia pun ingin tahu. “Er, apa kau pernah berciuman dengan wanita lain sebelumnya?”
Won Woo mengerutkan kening, tak paham. “Kenapa dari tadi pagi kau bahas itu terus?” tanyanya. Laki-laki itu menyeringai. “Sebegitu berkesannya kah yang semalam itu?”
Min Hee mengerucutkan bibirnya karena merasa sebal dipermainkan. “Jawab saja!”
“Tidak mau!” kata Won Woo agak tegas. “Untuk apa kita membicarakan hal seperti itu?”
Sangat tidak mungkin jika Min Hee tidak merajuk karenanya, jadi dengan angkuh ia menyilangkan tangannya di dada dan memalingkan wajah dari Won Woo. “Aku tak punya rahasia, tapi kau punya. Itu artinya kau pasti pernah mencium si Lu Si itu,” gerutunya. Tapi sang lawan bicara tentunya bisa mendengar itu semua.
“Apa katamu? Lu Si?” tanya Won Woo heran. “Kenapa nama Lu Si tiba-tiba muncul di percakapan ini?”
“Kau terlihat takut, Jeon Won Woo. Pasti ada yang kau sembunyikan,” ucap Min Hee penuh curiga.
“Penyakitmu kambuh lagi. Berhentilah berpikir sesukamu, kalau kau saja tidak tahu apa-apa,” kata Won Woo memberi tahu untuk yang ke sekian kalinya. “Dan berhentilah cemburuan!”
“Tidak! Aku akan terus cemburuan, secemburu yang aku bisa.” Min Hee mendongkol. Ia langsung diberi tatapan elang oleh Won Woo.
Walaupun agak gentar, Min Hee baru saja berikrar untuk tidak menyerah pada Won Woo mulai detik ini. “Aku tidak takut.” Min Hee memicingkan matanya melawan tatapan itu.
“Kapan kau mau dewasa, hah?” keluh Won Woo sambil menggelengkan kepalanya.
“Kau yang bilang sendiri, bahwa ciuman kemarin itu didasari oleh keinginan dua belah pihak. Kau dan aku,” kata Min Hee mulai percaya diri kalau Won Woo bisa saja menyukainya.
Won Woo tidak menggubrisnya, hingga mereka pun sampai di tempat tujuan. Saat memasuki super market itu, Won Woo membawakan troli untuk Min Hee dan mengikuti dengan sabar kemanapun gadis itu melangkah.
Seorang wanita tua menawarkan apel pada Min Hee. “Nona, apel-apel ini sangat segar untuk pasangan suami istri baru. Ayo cobalah!”
Min Hee yang semula dipenuhi rasa kesal, hatinya langsung meleleh dibarengi dengan pipinya yang merona kemerahan karena malu oleh kata-kata si penjual apel tersebut.
“Apa kami terlihat begitu?” tanyanya, setengah berbisik pada penjual apel itu. Ia melakukannya sambil melirik Won Woo yang terlihat penasaran dengan percakapan mereka.
“Tentu saja. Satu kali lihat juga sudah langsung tahu,” jawab penjual apel itu.
“Kalau begitu aku mau 2kg,” kata Min Hee yang langsung dilayani penuh perhatian oleh penjual apel tersebut. Kemudian ia melanjutkan belanjanya di tempat lain.
Won Woo mengikis jaraknya dengan Min Hee. “Aku bisa mendengar semua yang kalian bicarakan,” katanya.
“Itu kabar yang bagus, Won Woo,” timbal Min Hee.
Won Woo langsung bungkam karenanya.
Setelah mereka selesai dengan urusan berbelanja, mereka pun memutuskan untuk pulang. Min Hee turun dari mobil, diikuti oleh Won Woo.
“Won Woo-ya,” panggil Min Hee campuran antara sedih dan serius. “Mulai sekarang aku tidak akan bohong atau berpura-pura lagi. Kejadian kemarin membuatku sadar kalau perasaanku adalah urusanku, dan penolakanmu itu hakmu,” ucapnya.
Won Woo menelan salivanya kasar. “Jadi apa rencanamu?”
“Aku berencana untuk terus menyukaimu,” jawab Min Hee. “Lagi pula setelah kupikirkan lagi, tidak ada yang tidak mungkin dalam hubungan kita,” lanjutnya.
“O ya?” tanya Won Woo. Kakinya melangkah menuju kotak surat rumah Min Hee lalu mengeceknya sekali lagi. Ia mengambil semua isinya.
“Tidak berencana memacari teman sendiri cuma permainan konyolmu saja,” ucap Min Hee.
“Oke, terserah kau saja!” ucap Won Woo dengan tenang. “Tapi mulai sekarang kotak suratmu adalah milikku.”
“Kenapa begitu?” tanya Min Hee sembari menatap heran surat-surat cintanya yang bertumpuk, dan beberapa hadiah kecil lainnya.
“Kalau benar kau menyukaiku, cukup dengarkan apa yang aku katakan,” kata Won Woo mendekat.
Min Hee mencoba mencerna apa yang sedang terjadi, sambil menahan senyum ia berkata. “Apa ini artinya kau tidak suka aku dekat dengan laki-laki lain?”
“Kau boleh menganggapnya begitu,” respons laki-laki itu santai.
“Apa kau sedang cemburu?” tanya Min Hee lagi. Pipinya sudah merona menahan desir dalam dadanya, tapi tangannya pegal menjinjing belanjaannya yang cukup banyak.
Won Woo segera mengambil alih kantong kresek besar yang ada di tangan Min Hee. “Kuantar kau masuk ke dalam,” ucapnya.
“Kau sedang menghindar, ya?” tebak Min Hee menggoda laki-laki di depannya. “Kau malu mengakuinya, kan?”
Tentunya, Won Woo sama sekali tidak menggubris. Mereka pun masuk ke dalam rumah dan menginjak area dapur yang, entah kenapa, jadi area yang paling membuat mereka jadi salah tingkah.
“Aku akan menaruhnya di meja,” ucap Won Woo dengan suara yang agak tertahan, dan telinganya sudah berubah merah.
Min Hee mengipas kedua tangannya di depan wajahnya yang memanas, lalu mengusap tengkuknya untuk meminimalisir rasa gugup di hatinya.
“Kalau begitu aku pergi sekarang,” ujar Won Woo pamit.
Min Hee tercekat dan refleks bergerak maju memeluk tubuh jangkung milik Won Woo dari belakang untuk menghentikan niatan laki-laki itu pergi. Untuk waktu sebentar yang terasa lama bagi keduanya, pelukan itu menjadi pelengkap untuk menemani dentingan jarum jam yang terdengar mengalunkan melodi romantis.
***
TBC
Jangan lupa vomentnya yaa
😉😉😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Tell Me We're Not Friend || Jeon Won Woo || ✔
Fanfiction[Romance] Mencintai adalah salah satu kreatifitas hati, tapi bagaimana jika karya agung itu sama sekali tidak diindahkan, malah terbengkalai dan berdebu di suatu tempat yang tak terjamah? 31 Mei 2018 - 31 Agustus 2018