Cerita ini akan segera tamat!! Silakan dipilih : Joshua, Seungkwan, Wonwoo, Dino atau Jeonghan? (Boleh member lain juga, dipilih aja. Pilih dua belas dapat dua belas kok.)
Sejak mendengar kabar buruk dari Appa, Mingyu terus mendesak perusahaannya untuk pergi ke Osaka. Tentu saja, Mingyu tidak disetujui kepergiannya karena Seventeen akan melakukan comeback dan hal itu tak bisa ditunda, apalagi Carat pasti sudah sangat sabar saat menunggu mereka.
Jadilah aku yang memajukan penerbanganku ke Seoul, meski masih ada 10 hari lagi. Selain itu, aku juga tidak sabar untuk menemui Mingyu. Aku tak sabar untuk memeluknya, menangis dalam pelukannya ketika mengingat Appa. Aku rindu padanya, meski baru hampir seminggu tak bertemu.
Haewon baru saja kembali dari Singapura kemarin. Ia berkata Appa meninggalkan sebuah surat masing-masing untukku dan untuknya. Dan satu surat lagi untuk pihak kepolisian yang isinya hanyalah ia ingin dikremasi dan abunya dibuang di laut. Kami sebagai anak-anaknya tidak bisa berbuat apa-apa bila itu kehendak Appa, padahal aku sempat berpikir untuk menaruh abu Appa di sebelah abu Eomma meski mereka telah berpisah di kehidupan.
Surat milik Appa kubuka dengan janji untuk tidak menangis. Tentu saja, janji itu kuingkari. Seperti biasa, Appa hanya berpesan untuk senantiasa menjaga kesehatan dan menjaga satu sama lain karena kini hanya ada aku dan Haewon. Warisan yang ia tinggalkan tak banyak, katanya. Rumahnya ia tinggalkan kepada Haewon, karena aku sudah mempunyai rumah di Osaka dan seluruh royalti buku-bukunya ia berikan padaku.
Haewon berkata ia mendapatkan tabungan Appa yang jumlahnya cukup untuk kuliahnya. Jadi, kurasa Appa membaginya dengan adil.
Saat ini, aku sedang duduk di dalam pesawat. Tebak apa? Wanita yang bersama dengan Jeonghan Oppa waktu itu di LA duduk di sebelahku! Juyeon? Jiyeon? Jaeyeon? Intinya, wanita yang itu!
Aduh, haruskah aku menyapanya?
"Bagaimana hubunganmu dengan Mingyu?"
Eh? Suara darimana itu?
"Hei, kau tuli, ya?"
Suaranya datang dari.. dari—DARI WANITA DI SAMPINGKU ITU! Wah! AKU HARUS BAGAIMANA?!
"Oh, hai," sapaku. Bodoh. Harusnya aku menjawab pertanyaannya!
"Bodoh," katanya, "aku bertanya, bukan menyapa."
Oh. Benar juga.
"Hubungan kami baik," kataku. "Bagaimana dengan hubungan Anda dan Jeonghan oppa?"
"Jiyeon."
"Eh? Apa?"
"Lee Jiyeon. Itu namaku. Namaku bukan 'Anda'."
Sepertinya dia orang yang tegas. Bukan dingin, namun tegas. Kalau ia dingin, pasti aku sudah tidak diajak bicara olehnya.
"Yoon Haekang. Mannaseo bangawayo." (Senang bertemu denganmu.)
"Hajimemashite." (Senang bertemu denganmu.)
Eh..?
"Apa?" Ia menatapku malas. "Memangnya cuma kau yang bisa berbahasa Jepang?"
Tipe-tipe wanita yang swag dan cool. Jika ia memakai jaket kulit hitam dan menaiki motor ninja, ia pasti sangat badass!
"Ti-Tidak," aku terkekeh pelan, "Jiyeon-ssi baru saja bertamasya di Jepang, ya?"
"Aku bekerja."
Oh. "Apa pekerjaanmu? Jika aku boleh bertanya."
"Traveler," jawabnya.