****Hari ini Dev menemani Michelle seharian, dirumah sakit.
perempuan yang di cintai belum juga siuman, ia bersyukur kalau Michelle baik-baik saja tidak perlu di khawatirkan.
Ia mendengar kabar jika ibunya tengah di tangani polisi dan diperiksa kejiwaannya, ia berharap ibunya dapat hukuman setimpal apa yang sudah ia lakukan terhadap orang dekatnya.
Kasih sayang di berikannya bukan lah satu masalah membuatnya memberikan sifat yang kejam terhadap ibunya itu, ia tidak akan pernah memaaf kan perempuan yang sudah menyakiti orang yang ia cintai.
tidak perduli dia darah dagingnya sendiri, semuanya seakan sudah dibutahkan oleh rasa sakit ayahnya yang dipenjara gara-gara perempuan itu dan berharap ayahnya dapat bebas dan bersikap baik kepada orang lain.
Pergerakan Michelle menimbul kan efek untuknya yang segera memencet bel disamping ranjang yang terhubung ke dokter atau suster, tidak lama pintu terbuka yang menampilkan seorang dokter dan juga Hamsa yang tadinya duduk di luar langsung ikut masuk.
"Ada apa Dev?"
"Tangannya memberikan pengerakkan apa dia baik-baik saja dok?"
"Sebentar ya." dokter perempuan itu segera memeriksa keadaan Michelle.
"Denyut nadinya normal, dia baik-baik saja mungkin pengerakkan itu menandakan jika dia sudah sadar dari masa keritisnya."
"Syukurlah, makasih ya dok."
"Sama-sama." dokter tersebut keluar dari ruangan meninggalkan Dev dan juga Hamsa yang berdiri di samping keranjang Michelle.
"Apa dia pernah mengalami keadaan seperti ini sebelumnya?" tanya Hamsa yang duduk di sisi kanan keranjang Michelle, menatap adiknya sanduh.
"Iya, saat itu dia dengan bodohnya mengejar balon yang sudah lepas. Sudah tau tidak bisa di ambil tapi dia tetap keras kepala berlari mengejar balon itu.
sampai ia ditabrak truk yang membuatnya hampir meninggal, entah kenapa disaat itu juga gue baru sadar kalau Momy dari dulu mengincar kematian Michelle.
Wajahnya saat itu sangat senang mala ia sudah memegang pisau kalau saja aku telat semenit mungkin wajah Michelle saat itu sudah tidak terbentuk."
"Apa!" kaget Hamsa semua cerita begitu ngalir dengan mudah dengan ekspresi tertekan yang membuat Hamsa tanpa sadar mengepalkan tangannya, saat itu ia kehilangan adiknya dan saat itu juga tanpa ia tau adiknya dalam bahaya.
"Maaf Ham gue nggk pernah menjamin keselamatan Adek lo, gue tau gue yang salah. Maka dari itu gue nggk pernah mau tau tentang perasaan Michelle ke gue karena menurut gue adanya Michelle di kehidupan gue akan membuat nya sakit."
Hamsa menarik nafasnya kembali dan membuangnya secara kasar, ia tau ini bukan sepenuhnya salah Dev hanya saja disini takdir begitu mengerihkan untuk mereka. "Jadi apa yang akan lo lakuin?"
"Selesai ini mungkin gue akan melepas kan Michelle dan melanjutkan kuliahnya dengan tenang tanpa gangguan gue lagi, ini jalan yang terbaik buat kami. Karena gue nggk mau lihat Michelle seperti ini lagi."
"Jadi apa lo akan tetap sama tunangan lo itu?"
"Mungkin nggk, karena gue nggk mencintainya. Gue nggk mau menyakiti orang lain dengan perasaan gue ini lagi." Hamsa menepuk bahunya ternyum teduh.
"Semoga ini terbaik buat kalian." Dev tak kalah membalasnya senyuman yang tulis yang ia berikan ke Hamsa, ya Semoga ini yang terbaik untuk mereka.
Tanpa mereka sadari Michelle mendengar semuanya, setetes air hangat menetes di pipinya. Kehilangan yang untuk kesekian kalinya.
**
Avran menarik nafasnya gusar ibunya begitu keras kepala ia tetap berusaha untuk mempertahankan dirinya, semua cara sudah ia lakukan tapi ibunya tetap diam menatap nyalang ke dirinya.
"Bagai mana dok?"
"Data yang ditunjukkan ini memang benar dia sedikit mengalami gangguan jiwa, karena depresi dan juga sesuatu yang membuatnya tertekan."
"Apa dia bisa di obati?"
"Semoga pak, karena ini sedikit menghambat untuk kita karena reaksi yang di timbulkan bukan lah serangan yang beruntal sepertinya ia melakukannya penuh dengan hati-hati yang membuat kita juga berhati-hati saat ia melakukan tindakan secara tiba-tiba."
"Baik lah pak, saya serahkan ibu saya ke anda semoga anda bisa menyembuhkannya.
"Baik pak saya dan tim saya akan berusaha semaksimal mungkin."
"Baik lah saya pergi dulu, saya akan kemari dua minggu sekali." setelah berpamitan Avran meninggalkan rumah yang bercat putih itu, mobil yang ia bawa sudah menunggunya di depan halaman segera Avran pergi meninggalkan rumah tersebut.
Bayang-bayangan di masa lalu terputar kembali.
"Av sini nak" dengan riang anak laki yang berumur 10 tahun itu berjalan kearah papanya yang tersenyum hangat.
"Ada apa py? Apa popy bawa mainan buat Av?"
"Ini bukan cuman mainan tapi ini bisa jadi teman kamu."
"Ou yah" anak kecil itu menatap sumringah ke arah papanya, papanya mengganguk dan memanggil seseorang yang di balik pintu.
"Dev kesini nak" dengan pelan dan pasti anak itu berjalan masuk ke dalam rumah matanya menatap seorang anak laki-laki yang mungkin lebih tua tiga tahun darinya.
"Sini jangan takut ini anak om" kata pria dewasa itu yang membuatnya menurut dan menghampiri keduanya.
"Nah sekarang kalian berteman dan Av ini Dev dia akan jadi teman sekaligus adik kamu dan Dev ini Av yang sekarang menjadi kakak kamu. Ayo kenalan." dengan takut Dev menggulur kan tangannya kearah lelaki yang akan menjadi makanya itu.
"Dev"
"Av"
"Waaa popy hebat bisa cari teman sekaligus adik buat Av, Av sayang Popy"
"Iya dong, sama-sama sayang"
Avran menarik nafasnya pelan saat ia berkenalan untuk pertama kalinya dengan Dev sangat ia ingat begitu jelas, ia sangat senang mendapatkan adik dan ia tidak tau jika itu anak dari selingkuhan mamanya kenapa saat itu papanya tidak mempersalahkan semuanya? Kenapa?.
Yang jelas kejadian yang menimpah Naomi tidak ada yang tau, hanya saja ingatannya masih jelas saat pistol itu tanpa sengaja meleset kearahnya.
Jika dia ada disana mungkin dirinya lah yang akan menolong Michelle dan dirinya lah yang akan terbunuh kalau saja ia tidak kalah cepat dua menit dari Naomi ia tidak akan kehilangan perempuan yang ia cintai.
Mobilnya ia belokkan ke jalur yang menuju sebuah makam yang mungkin sudah tiga tahun ini ia tidak datangi, setiap jalan setapak menuju rumah kekasihnya ia berjalan dengan hati-hati ke rinduan yang mendalam begitu ia rasakan tanpa sadar setete air mata jatuh saat matanya melihat tulisan nama kekasihnya disana.
"Maaf kan Aku Naomi maaf kan aku yang nggk bisa jaga kamu, maaf kan aku mungkin saat ini aku yang disana bukan kamu. Aku sayang kamu Naomi aku sayang kamu, makasih sudah mengorbankan nyawamu untuk adikku makasih sayang. Ku harap kamu bahagia disana aku merindukanmu."
Hembusan angin begitu terasa melewatinya senyumannya ia tampakkan, ia tau Naomi berada disini di depannya menatapnya dengan senyum yang sangat ia rindukan saat ini.
Jika aku ada waktu untuk bisa mengulanginya mungkin aku akan menggantikan mu, pasti.
*****
Sedih nggk sih?😢 ternyata Avran mencintai Naomi gimana nih? Hiks.😢😢 rasanya nggk rela buat bang Avran bersedih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love my brother
NezařaditelnéCinta bukan paksaan, tapi cinta adalah takdir yang sudah ditentukan. Cinta ke orang yang di sayang bukan suatu panutan yang salah tetapi suatu pelajaran yang mungkin akan membawa kemasa depan. Cinta yang indah di harapkan tidak pernah terjadi di cer...