3.

56.3K 1.7K 23
                                        

Banner melangkah dengan langkah panjang dan tergesa menuju ruangannya, jemarinya sedikit meremas kertas-kertas di tangan-berkas yang mendadak membutuhkan tanda tangannya. Ia tak mengajak Erza karena mengira urusannya hanya sebentar.

Namun, begitu pintu terbuka, tubuhnya membeku.

Di dalam sana, Agnes duduk di sofa dengan tangan terlipat di dada, tatapan menusuk bagai belati. Seolah kehadirannya sendiri adalah peringatan bagi Banner, sesuatu yang selama ini tak pernah ia tuntas selesaikan.

"Bagaimana kau bisa masuk ke sini?" suara Banner terdengar serak, antara terkejut dan waspada.

"Halo, calon ayah." Agnes beranjak dari sofa, bibirnya melengkung sinis.

Banner terdiam, napasnya seolah tertahan di tenggorokan. Agnes tahu. Tentu saja Agnes tahu.

"Jangan begitu, Sayang," Banner mencoba tersenyum, meski samar. "Kau tak tahu betapa cemburunya aku melihatmu bercumbu dengan Alan."

"Tapi, kau bercinta dengan Erza!" Suara Agnes meninggi, nyaris pecah. "Dan sekarang dia hamil! Kau gila, Banner! Apa maksudmu melakukan itu?!"

Banner memejamkan mata, mencoba meredam gejolak yang mulai menggunung. "Hari itu aku mabuk, Agnes. Aku tidak sengaja."

Mata Agnes memerah, air mata menggenang. "Kita akhiri saja. Kita sudah terlalu jauh membawa hubungan ini."

Hati Banner mencelos melihat air mata Agnes jatuh. Ia tak sanggup melihatnya menangis. Dengan langkah cepat, ia mendekap Agnes, tangannya mengusap lembut pipi perempuan itu.

"Tidak, Sayang," bisiknya. "Hubungan ini tidak akan pernah berakhir. Begitu anak Erza lahir, kami akan bercerai. Aku mohon, bersabarlah."

Agnes menangis cukup lama di dada Banner, hingga akhirnya isak itu mereda. "Bagaimana jika dia menyuruhmu bertanggung jawab? Yang dikandungnya itu anakmu, Banner."

"Erza tak akan pernah mengaturku seperti itu," suara Banner mantap. "Dia sudah setuju untuk berpisah setelah anak itu lahir."

Agnes menatapnya, masih dengan sisa air mata. "Kau bersungguh-sungguh?"

Banner mengangguk. "Iya."

Tatapan mereka bertaut, dan Banner mendekatkan wajahnya, mendekap bibir Agnes dengan lembut. Mereka bangkit, masih dalam tautan itu, langkah-langkah mereka mengarah ke kamar yang terletak di sisi ruangan.

Namun, sebelum pintu tertutup sepenuhnya-

Brak!

Pintu terbuka lebar, menghantam dinding dengan suara yang menggema.

Seorang perempuan berdiri di ambang pintu, matanya membulat, tubuhnya kaku seakan nyawa telah tercerabut darinya.

Erza.

Dunia seakan berhenti berputar.

Banner ingin mengamuk, hendak melontarkan amarah karena ada yang berani mengganggu, tetapi begitu ia melihat sosok yang berdiri di sana, jantungnya seolah berhenti berdetak.

Waktu seperti melambat ketika Erza memutar tubuhnya, langkahnya cepat, nyaris seperti berlari, seolah ia ingin melarikan diri sejauh mungkin dari tempat itu.

Banner tersadar. Tanpa pikir panjang, ia segera meraih ponselnya dan menghubungi Tony, menyuruh asistennya itu menyelesaikan pekerjaannya. Lalu, ia bergegas keluar ruangan, meninggalkan Agnes yang menatapnya dengan kekecewaan yang kentara.

"Untuk apa kau mengejarnya?" suara Agnes dingin. "Lebih baik kita lanjutkan saja."

"Tidak sekarang, Sayang."

The Broken Lady [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang