Bunyi klakson mobil bersahutan di pelataran rumah sakit yang basah oleh gerimis. Lampu-lampu jalanan memantulkan cahaya ke aspal yang mulai mengilap, menciptakan bayangan yang tampak goyah, seperti hati Banner saat ini.
Ia menggenggam erat kemudi, namun pikirannya melayang entah ke mana. Hanya satu nama yang terus berputar di benaknya: Erza.
Ia terdiam sejenak, mengembuskan napas dengan berat. Bayangan wajah istrinya kembali muncul, dengan tatapan yang selalu hangat namun penuh luka. Ia merasa bodoh-tidak, lebih dari itu-ia merasa hina. Betapa mudahnya ia mengabaikan seseorang yang selama ini begitu tulus kepadanya.
"Wait... tadi aku pergi ke rumah sakit tidak sendiri."
Banner merasakan dadanya mengencang, lalu seketika matanya membesar.
"Oh, shit! Erza."
Kepanikan langsung menyergapnya. Bagaimana bisa ia melupakan istrinya sendiri? Wanita yang sedang mengandung anaknya, yang bahkan dengan sabar menunggu meski dirinya tak pernah benar-benar menganggapnya sebagai seorang istri?
Mobil berhenti mendadak. Agnes menoleh, menatapnya dengan bingung.
"Kenapa, Sayang?" tanyanya, suaranya terdengar manja seperti biasa.
"Aku melupakan Erza." Rahangnya mengeras, suara itu terdengar penuh rasa bersalah.
Agnes mendengus kecil. "Dia pasti membawa uang. Dia pasti pulang atau mungkin sudah sampai di sana lebih dulu."
Namun, tidak seperti biasanya, ucapan Agnes kali ini membuat Banner semakin gelisah. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang terus menghantui hatinya.
Bagaimana jika Erza tidak pulang?
Bagaimana jika sesuatu terjadi padanya?
Agnes menggenggam lengan suaminya, mencoba menarik perhatiannya. "Banner, tenanglah. Itu hanya Erza. Mungkin dia peka dan tidak mau mengganggu kita saat berpelukan tadi, makanya ia menghilang tiba-tiba."
Mata Banner menajam. Ada sesuatu yang mengganjal dari ucapan Agnes barusan.
"Apa?! Dari mana kau tahu Erza menghilang? Apa kau melihatnya pergi? Kenapa kau diam saja, hah?! Kenapa kau tak mengatakannya?!"
Nada suara Banner berubah tajam. Ini bukan pertama kalinya ia menyadari betapa Agnes sering bersikap dingin kepada Erza, tapi kali ini amarahnya benar-benar tak bisa ia kendalikan.
Agnes mengerutkan kening, merasa tersinggung. "Banner, kau baru saja membentakku karena wanita perebut itu!"
Banner mengepalkan tangannya di atas kemudi, matanya berkilat marah.
"Jangan menyebutnya begitu, Agnes!"
Agnes tersentak. "Apa kau baru saja membelanya, Banner? Kau membela wanita perebut itu, hah?! Dia tidak lebih dari sampah!"
"Agnes, jaga ucapanmu! Dia tak seburuk itu!"
"Kenapa? Kau mulai mencintai jalang itu sampai-sampai berani membentakku, hah?!"
Banner mengertakkan gigi. Emosinya benar-benar mendidih.
"Diam, Agnes! Jangan katakan apa pun lagi! Kau akan membuatku marah!"
Namun, Agnes tak peduli. Ia semakin keras kepala. "Jangan bilang kau benar-benar mencintai sampah itu!"
"Aku bilang diam! Erza bukan sampah. Dia juga bukan jalang karena aku orang pertama yang menyentuhnya. Dia tak sebusuk itu. Dia wanita yang amat baik sampai rela diceraikan agar aku bisa berbahagia denganmu suatu saat nanti. Harusnya kau berterima kasih padanya!"

KAMU SEDANG MEMBACA
The Broken Lady [completed]
RomanceSeorang wanita yang menganggap dunia adalah melodi yang belum selesai, terjebak dalam kehidupan yang jauh dari harmoninya. Dikenal dengan kelembutan hati dan cintanya pada seni, ia hidup dalam bayang-bayang janji yang tak pernah ditepati. Ketika tak...