19

26.4K 1.1K 108
                                        

Langit malam menghampar luas, kelam dan tak berbintang. Cahaya bulan tertutup kabut tipis yang menari di udara, seakan melambangkan kepedihan yang tak mampu terucap. Di dalam bus yang tengah melaju menuju bandara, Erza duduk diam di samping jendela, matanya menerawang jauh, menatap gelap yang melingkupi jalanan kota.

Ponselnya masih tergenggam erat di tangannya, seolah jari-jarinya enggan melepaskan benda itu. Samar-samar, pantulan wajahnya di kaca jendela tampak begitu lelah. Bukan hanya lelah fisik, melainkan kelelahan jiwa yang tak bisa diistirahatkan hanya dengan tidur.

Di dalam dadanya, ada kepuasan yang aneh. Banner akhirnya mengakui kesalahannya. Pria itu menyesali apa yang telah diperbuatnya. Namun, di antara kepuasan itu, ada sayatan tipis yang menyelinap ke hatinya, seperti bayangan yang enggan pergi meski cahaya telah padam.

Tidak.

Erza menggeleng pelan, menolak kelembutan yang nyaris membuatnya goyah. Tidak ada lagi ruang untuk iba. Tidak ada lagi tempat untuk memaafkan.

Karena setiap kali ia hampir membiarkan pintu hatinya terbuka, kenangan itu kembali menghantamnya. Mata Banner yang dulu menatapnya penuh kebencian. Tangan pria itu yang lebih memilih menggenggam tangan Agnes daripada menolongnya. Suaranya yang penuh ketidakpedulian saat ia berjuang melawan nyeri pendarahan yang akhirnya merenggut anak mereka.

Erza menarik napas dalam, merasakan dadanya kembali sesak.

Sudah cukup.

Ia sudah cukup tersakiti. Tidak ada lagi alasan baginya untuk bertahan di tempat yang hanya membuatnya terluka. Sudah terlalu lama ia berjuang sendirian, berharap pada seseorang yang bahkan tidak pernah benar-benar menginginkannya.

Ia sudah kehilangan segalanya-ayahnya, anaknya, dan dirinya sendiri dalam prosesnya.

Maka, ia memutuskan untuk berhenti.

Tanpa ragu, Erza melepas kartu SIM dari ponselnya, menatap benda kecil itu untuk sesaat sebelum mematahkannya menjadi dua. Jari-jarinya terbuka, membiarkan serpihan itu jatuh keluar dari jendela bus yang melaju kencang.

Dengan itu, ia menutup pintu ke masa lalunya.

✦·┈๑⋅⋯ -ˋˏ ༻❁✿❀༺ ˎˊ- ⋯⋅๑┈·✦

Udara malam di kota asing yang baru saja diinjaknya terasa menusuk kulit, tetapi Erza tidak mengeluh. Sudah sepuluh menit ia berdiri di tepi jalan, menunggu taksi yang akan membawanya ke hotel. Tubuhnya lelah setelah berjam-jam berada di dalam pesawat, tetapi pikirannya masih terus bekerja.

Dunia baru terbentang di hadapannya, tetapi kepedihan lama masih bersembunyi di sudut hatinya.

Saat akhirnya sebuah taksi berhenti di depannya, Erza segera masuk, membiarkan sopir memasukkan koper dan tasnya ke bagasi sebelum menutup pintu dengan pelan.

Selama perjalanan, ia menatap keluar jendela, membiarkan matanya menyerap pemandangan yang selama ini hanya bisa ia impikan. Kota ini begitu indah, lebih indah dari yang pernah ia bayangkan.

Seharusnya ia berada di sini bersama anaknya.

Seharusnya.

Namun, kenyataan telah merenggut semua harapannya.

Erza mengembuskan napas panjang, mengusir rasa sesak yang perlahan kembali menggerogoti dadanya. Namun, sebelum ia tenggelam lebih dalam dalam pikirannya sendiri, pandangannya menangkap sesuatu yang membuatnya membeku.

Seorang wanita berdiri di atas pagar besi jembatan, rambutnya berantakan tertiup angin malam, tubuhnya sedikit condong ke depan, seakan hanya tinggal menunggu dorongan kecil untuk terjun ke dalam kegelapan di bawahnya.

The Broken Lady [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang