15

29.8K 1.6K 185
                                        

Angin berembus, menyapu halaman belakang rumah dengan lembut, seolah berusaha meredakan api yang tak terlihat di antara dua wanita yang berdiri berhadapan. Langit telah meredup, tenggelam dalam gradasi ungu dan jingga yang mulai pudar. Namun, di dalam hati Erza dan Agnes, tak ada keindahan yang tersisa-hanya kemarahan yang membara dan dendam yang telah berakar.

Perkataan Erza barusan menggema di benak Agnes, menusuknya lebih tajam dari belati paling tajam. Wajahnya yang sebelumnya pucat kini memerah, bukan karena rasa malu, tetapi karena amarah yang meluap tak terbendung.

Lalu, dalam satu kedipan mata, tanpa peringatan, Agnes menerjang ke depan.

Tangan kurusnya melingkari leher Erza, mencengkeramnya dengan kekuatan yang tak disangka bisa dimiliki oleh seorang wanita yang baru saja kehilangan banyak darah. Mata Agnes membelalak, liar dan penuh kebencian, seperti seorang pemburu yang akhirnya bisa menjatuhkan mangsanya.

"Kau binatang, Erza! Kau akan mati seperti binatang!"

Suara Agnes lebih mirip lolongan kesetanan daripada suara seorang manusia.

Erza terkejut, tetapi insting bertahannya bekerja cepat. Ia meronta, mencoba melepaskan cekikan itu sambil berusaha menyeimbangkan tubuhnya yang rapuh. Perutnya yang membuncit menghalangi gerakannya, tetapi ia menolak untuk menyerah.

Dalam pergelutan sengit itu, kaki Erza berusaha berpijak di atas lantai marmer yang licin akibat percikan air dari kolam. Tubuhnya bergetar hebat, napasnya semakin pendek, tetapi ia terus melawan.

Hingga akhirnya, kekacauan itu mencapai puncaknya.

Dengan satu gerakan penuh tenaga, Erza berhasil mendorong Agnes menjauh. Namun, nasib berkata lain. Tubuh Agnes terhuyung ke belakang, kehilangan keseimbangan, lalu jatuh dengan keras.

Brak!

Kepalanya menghantam batu air mancur di tepi kolam.

Dunia seakan berhenti berdetak.

Erza menatap Agnes yang terkulai di lantai dengan mata membelalak. Napasnya tersengal, dadanya naik-turun dalam irama tak beraturan.

Tetapi, sebelum ia bisa benar-benar memahami apa yang terjadi, nasib kembali menamparnya dengan kejam.

Lantainya terlalu licin.

Tubuhnya yang lelah kehilangan pijakan.

Dan dalam hitungan detik, ia sendiri terjerembap ke belakang.

Bunyi tulangnya menghantam lantai terdengar jelas, nyeri yang menjalar dari pinggulnya membuatnya menjerit tertahan. Namun, bukan itu yang membuatnya panik.

Melainkan sensasi hangat yang tiba-tiba mengalir di antara pahanya.

Erza menunduk, dan matanya melebar dalam ketakutan.

Darah.

Darah mengalir dari tubuhnya, membasahi gaun yang ia kenakan.

"Tidak ... tidak ... ini tidak boleh terjadi."

Tangannya gemetar saat mencoba meraba perutnya yang nyeri. Bayinya ...

Bayi yang telah ia jaga dengan penuh kasih sayang

"Tolong ..."

Suaranya nyaris tak terdengar.

Ia ingin berteriak, ingin memanggil bantuan, tetapi tenggorokannya terasa tersumbat oleh ketakutan yang mencekik.

Namun, seseorang mendengar suara rintihannya.

Langkah kaki berderap mendekat.

Banner.

The Broken Lady [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang