Langit sore bergelayut mendung, seolah semesta pun mengerti bahwa ada sesuatu yang menggetarkan hati Erza. Sejak tiga bulan terakhir, hidupnya telah berubah menjadi untaian waktu yang penuh harapan dan kekhawatiran. Lily masih terbaring dalam koma, tak bergeming di ranjang putih rumah sakit, sementara putranya yang mungil, El, kini menjadi bagian dari hidup Erza.
Namun, takdir seakan punya caranya sendiri untuk mengaduk takdir manusia.
Saat ia melangkah keluar dari lobi rumah sakit, kilatan memori tentang Lily yang terjatuh di tangga masih menyelinap di benaknya. Betapa waktu seakan berhenti ketika ia menemukan sahabatnya tergeletak dalam genangan darah, diiringi erangan nyaris tak terdengar. Malam itu, jantungnya seolah diremas, napasnya tertahan oleh ketakutan yang membelit. Kini, meskipun Lily masih tertidur dalam dunianya yang sunyi, bayi mungilnya hadir menjadi pengingat bahwa kehidupan harus terus berjalan.
Namun, langkahnya terhenti.
Seorang pria berdiri tak jauh darinya, menatapnya lekat-lekat dengan sorot mata yang sulit ditebak. Seulas senyum tersungging di wajah lelaki itu, tetapi di baliknya, ada sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang berbaur antara kerinduan dan kegelisahan.
Erza mengernyit, jantungnya berdetak lebih cepat. Lelaki itu melangkah mendekat, menyisakan ruang udara yang seketika terasa sempit.
"Ini aku, Erza," suaranya berat, hampir serak, seolah menyimpan beban yang lama dipikul. "Aku tak menyangka kita akan bertemu di sini."
Erza memandangi pria itu dengan tatapan bingung, namun lambat laun wajah itu semakin jelas di ingatannya. Tubuhnya menegang, tetapi kemudian bibirnya melengkungkan senyum.
"Alan?" bisiknya nyaris tak percaya.
Sosok itu, yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya. Seorang pria yang dulu pernah berdiri di sisinya, yang pernah memberikan dukungan di saat dunianya runtuh.
"Kenapa kau ada di sini?" tanyanya, mencoba menyembunyikan keterkejutannya dengan nada sehangat mungkin.
"Mungkin kita bisa mengobrol di sana," Alan menunjuk deretan kursi di ruang tunggu rumah sakit.
Tanpa banyak kata, mereka pun melangkah ke sana.
Alan menatap Erza dalam-dalam, seolah ingin memastikan bahwa wanita di depannya benar-benar nyata. Sudah lama ia mencari, dan kini takdir menghadirkannya di hadapannya.
"Aku pindah ke sini, Erza. Aku juga bekerja di rumah sakit ini. Tak kusangka, setelah sekian lama, aku menemukanku di sini. Kurasa ini bukan kebetulan. Ini takdir."
Erza mengangkat alisnya. Sesuatu di dalam dirinya seolah merasakan ada kejanggalan, namun ia tak ingin bersikap terlalu curiga.
"Pindah?" ulangnya, seolah ingin memastikan ia tak salah dengar.
Alan mengangguk. "Ya. Rumah sakit ini meminta dokter bedah, dan rumah sakit tempatku bekerja direkomendasikan untuk mengirim beberapa dokter. Aku salah satu yang dipilih."
Erza menyipitkan matanya, mencoba menelaah kata-kata Alan. Ada sesuatu yang terasa janggal.
"Tapi kenapa hanya kau yang datang lebih dulu?" tanyanya.
Alan menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tak gatal. Ia lupa bahwa Erza bukan wanita yang mudah dikelabui.
"Ada tiga dokter lain yang akan menyusul dalam dua bulan," jawabnya cepat.
Erza mengangguk pelan.
"Lalu, berapa lama kau akan di sini?"
Alan tersenyum samar. "Cukup lama, sekitar dua tahun. Atau mungkin lebih, tergantung banyak hal."

KAMU SEDANG MEMBACA
The Broken Lady [completed]
RomansSeorang wanita yang menganggap dunia adalah melodi yang belum selesai, terjebak dalam kehidupan yang jauh dari harmoninya. Dikenal dengan kelembutan hati dan cintanya pada seni, ia hidup dalam bayang-bayang janji yang tak pernah ditepati. Ketika tak...