Lorong rumah sakit terasa begitu panjang, seakan menelan waktu dalam langkah-langkah terburu Alan. Sepatu pantofelnya mengetuk lantai dengan irama tegas, menciptakan gema samar yang bercampur dengan suara monitor detak jantung dari ruangan-ruangan yang ia lewati. Cahaya lampu putih di langit-langit membuat suasana semakin dingin, seolah memantulkan kebekuan yang menguasai hatinya.
Sesampainya di depan kamar rawat Agnes, tangannya terhenti di gagang pintu. Hembusan napasnya berat, mengandung luapan emosi yang entah bagaimana harus ia kendalikan. Dengan sedikit ragu, ia mendorong pintu dan melangkah masuk.
Di dalam, tubuh Agnes terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Kulitnya pucat, bibirnya kehilangan rona, sementara alat-alat medis menjalar di sekelilingnya seperti tangan-tangan tak kasatmata yang mempertahankan nyawanya di dunia ini. Jarum infus tertanam di punggung tangannya, dan selang oksigen membingkai wajahnya yang tak lagi sehangat dulu.
Alan menelan ludah, berusaha menekan emosi yang menggumpal di tenggorokannya. "Agnes..." suaranya nyaris tak terdengar, seperti bisikan hantu di ruangan yang sunyi. Ia sendiri tidak tahu mengapa ia masih bisa menyebut nama itu. Nama yang dulu ia ucapkan dengan cinta, kini terdengar seperti luka yang belum mengering.
Ia melangkah mendekat, menatap wajah wanita yang dulu menggetarkan hatinya, tetapi kini hanya menyisakan kehancuran. "Kau menghancurkanku, Agnes..." suaranya bergetar, matanya meredam kemarahan yang hampir meluap. "Kau membunuh anakku. Kau merenggut sesuatu yang tak akan pernah bisa kembali."
Sebuah tawa getir lolos dari bibirnya, meski matanya tetap terpaku pada wajah itu. "Ironis, bukan? Aku mencintaimu. Aku ingin membangun segalanya bersamamu. Tapi semua itu hanya ilusi."
Dadanya bergemuruh. Napasnya semakin berat. Ia menggeleng, seakan menertawakan dirinya sendiri. "Aku bodoh. Aku percaya kau... aku menyerahkan hatiku, dan kau membantainya tanpa ragu."
Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ingatan itu datang seperti badai, menghantamnya tanpa ampun. Semua kebohongan yang disusun Agnes, semua harapan palsu yang ia percayai, semua luka yang ditanamkan wanita itu dalam hidupnya.
Dan di sinilah ia sekarang, berdiri di hadapan orang yang seharusnya ia benci, tetapi entah kenapa hatinya masih dipenuhi penyesalan.
Suara langkah kaki yang berat tiba-tiba terdengar di belakangnya. Alan tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang baru saja masuk.
Dorongan keras di bahunya membuatnya sedikit tersentak. Ia berbalik dengan ekspresi dingin, berhadapan dengan wajah yang sama-sama diliputi kemarahan.
Banner.
Mata pria itu menyala penuh amarah, rahangnya mengeras, dan napasnya memburu. "Jauhi dia."
Alan mendengus sinis. "Serius, Banner? Kau masih membelanya?"
Banner melangkah lebih dekat, menatapnya dengan sorot mata yang tajam. "Dia bukan urusanmu lagi, Alan. Pergilah."
Alan mencibir, kepahitan mencuat dari dalam dirinya. "Apa yang kaulihat darinya, hah? Apa kau tidak sadar siapa yang kau lindungi? Dia seorang pembunuh! Dia membunuh anakku!"
Banner tidak mundur, wajahnya mengeras. "Itu anakku. Dan kau tahu siapa yang membunuhnya? Erza."
Sebuah emosi liar meledak dalam diri Alan. Ia tertawa kecil, tetapi tidak ada kehangatan di sana. "Kau benar-benar buta, Banner. Kau tidak bisa melihat apa yang ada di depan matamu."
Banner mendengus kasar. "Kau berbicara seolah-olah tahu segalanya. Tapi aku melihat dengan mataku sendiri, Alan. Aku melihat bagaimana Erza mencelakai Agnes."
Sebuah gelombang kemarahan menyapu Alan dalam sekejap. Tanpa berpikir, ia melayangkan pukulannya. Tinju itu menghantam rahang Banner dengan keras, membuat pria itu terhuyung dan jatuh tersungkur di lantai.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Broken Lady [completed]
RomansaSeorang wanita yang menganggap dunia adalah melodi yang belum selesai, terjebak dalam kehidupan yang jauh dari harmoninya. Dikenal dengan kelembutan hati dan cintanya pada seni, ia hidup dalam bayang-bayang janji yang tak pernah ditepati. Ketika tak...