Udara pagi masih menyisakan sisa embun malam ketika Erza dan Lily berdiri di depan rumah baru mereka. Matahari menyembul perlahan di balik cakrawala, membiaskan warna jingga keemasan di antara gedung-gedung yang menjulang. Erza menatap bangunan sederhana di hadapannya-tiga kamar, dua di lantai atas, satu di bawah. Tak mewah, tetapi cukup untuk menjadi tempat yang layak bagi mereka memulai kembali kehidupan yang telah tercerai-berai oleh takdir.
Di sampingnya, Lily mengangkat tas dengan kedua tangan, wajahnya berkerut menahan beban yang tidak ringan.
"Lily, kau kuat mengangkatnya?" tanya Erza, suaranya lembut namun tetap mengandung nada khawatir.
"Tentu, Erza. Jangan khawatir," jawab Lily dengan senyum kecil.
Hari ini adalah hari pertama mereka menginjakkan kaki di rumah baru. Rumah ini bukan hanya sekadar tempat berteduh, tetapi juga menjadi simbol harapan bagi mereka berdua-sebuah janji pada diri sendiri bahwa mereka akan bertahan dan melanjutkan hidup, meski luka di hati belum sepenuhnya sembuh.
Erza telah menemukan pekerjaan setelah dua hari berkeliling kota, melamar ke berbagai perusahaan. Keberuntungan berpihak padanya. Ia diterima di sebuah perusahaan ternama, dan pada hari yang sama, ia juga menemukan rumah ini-tak jauh dari tempatnya bekerja. Rasanya seperti semesta memberi isyarat bahwa inilah tempat yang seharusnya ia tinggali, tempat di mana ia bisa menata hidup yang baru tanpa bayang-bayang masa lalu.
Lily, yang tengah hamil, memilih kamar di lantai bawah. "Aku tak ingin naik-turun tangga terlalu sering," katanya sambil mengelus perutnya dengan lembut.
Erza mengerti. Wanita itu pasti ingin menjaga bayinya dengan baik.
Setelah membereskan barang-barang, Erza berjalan ke balkon lantai atas. Matanya menjelajahi hiruk-pikuk kota yang tak pernah benar-benar diam. Mobil berlalu lalang, manusia bergerak dalam ritme yang tak teratur, seolah masing-masing memiliki pertempuran sendiri yang harus dimenangkan.
Ia menarik napas dalam-dalam. Udara di sini terasa berbeda-lebih ringan, lebih lapang.
"Aku akan hidup normal," bisiknya pada dirinya sendiri. "Aku akan menikmati hidup tanpa beban."
Namun, benarkah itu mungkin?
Tiba-tiba, suara lantang memecah lamunannya.
"Erzaaa!"
Ia menoleh.
"Ya?" sahutnya.
"Aku baru selesai memasak. Turunlah," seru Lily dari lantai bawah.
Erza tersenyum, lalu melangkah turun. Di meja makan, terhidang sepiring salmon panggang dengan aroma yang menggoda selera. Ia duduk dan menatap masakan Lily dengan kagum.
"Baunya enak," katanya.
Lily menyodorkan piring berisi salmon kepadanya. "Makanlah. Kau belum makan seharian."
Erza menyendok sepotong dan memasukkannya ke dalam mulut. Begitu rasa gurih yang lembut meleleh di lidahnya, ia tak bisa menahan pujian.
"Ya Tuhan, ini enak sekali!"
Lily tersenyum puas. "Oh, ya, kau akan bekerja sampai jam berapa?" tanyanya sambil menyeruput air putih.
"Hanya sampai jam dua siang. Kenapa?"
Lily mengangguk-angguk. "Aku pikir sampai malam." Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Oh, ya, kautahu toko bunga di persimpangan gang?"
Erza mengangguk sambil melanjutkan makannya.
"Aku akan bekerja di sana dari jam sepuluh sampai jam tiga sore," ujar Lily ringan.
Erza menghentikan kunyahannya dan menatap Lily dengan sorot tajam.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Broken Lady [completed]
عاطفيةSeorang wanita yang menganggap dunia adalah melodi yang belum selesai, terjebak dalam kehidupan yang jauh dari harmoninya. Dikenal dengan kelembutan hati dan cintanya pada seni, ia hidup dalam bayang-bayang janji yang tak pernah ditepati. Ketika tak...