23

28.4K 1.5K 220
                                        

Kilau senja mulai meredup, meninggalkan jejak cahaya oranye yang melukis langit dengan guratan lembut. Seperti kuas Tuhan yang perlahan menutup siang, menggiring malam dalam balutan keheningan. Di pelataran gereja, Erza berdiri dengan perasaan campur aduk—antara ingin menikmati sisa hari liburnya dalam ketenangan, atau menolak ajakan yang tiba-tiba datang dari seseorang yang baru saja memasuki orbit hidupnya.

"Oh, iya, ada restoran baru dekat persimpangan kota, 'kan?" suara Eric terdengar ringan, namun mengandung ketulusan. "Bagaimana jika kita bertiga ke sana? Aku yang akan traktir. Bagaimana?"

Tatapannya berpindah-pindah di antara Erza dan Lily, menunggu jawaban.

Erza menghela napas tipis. Pikirannya berkecamuk. Jujur, ia hanya ingin pulang, menggulung diri dalam selimut, dan menikmati kebebasannya tanpa gangguan. Mumpung hari ini ia sedang libur.

Selain itu, ada rasa bersalah yang tiba-tiba menyelinap—kemarin Alex sempat mengajaknya ke tempat yang sama, tapi ia menolak. Jika sekarang ia menerima ajakan Eric, bukankah itu sedikit tidak adil?

"Hm, mungkin bisa di lain hari, tapi terima kasih atas tawaranmu," ujar Erza dengan suara seramah mungkin.

Namun, Eric tampaknya tak puas dengan jawaban itu. "Tapi, kenapa?"

Erza berpikir sejenak, mencari alasan yang masuk akal. "Hm... aku punya tugas kantor yang harus kuselesaikan," katanya akhirnya.

"Tapi, tadi malam kaubilang sudah selesai."

Suara Lily tiba-tiba mencuat, menohok tanpa peringatan.

Erza menegang seketika. Matanya menatap Lily dengan tatapan yang sarat makna—sebuah peringatan tanpa kata. Namun, Lily justru menatapnya balik dengan santai, seolah tak menyadari blunder yang baru saja dibuatnya.

"Hah? Masa?" Erza mencoba tertawa kecil, meski nadanya terdengar hambar.

"Iya," Lily mengangguk yakin. Lalu, dengan nada menggoda, ia menambahkan, "Lebih baik kita pergi saja. 'Kan gratis."

Seakan menegaskan maksudnya, Lily mengangkat alisnya berulang kali ke arah Erza.

Erza mendesah berat, merasa tak punya pilihan lain. "Baiklah."

"Oke, mari berangkat." Lily tampak antusias, seolah baru saja memenangkan lotre. "Eric, mobilmu yang mana?"

"Di sana."

Jari Eric menunjuk sebuah mobil mewah berwarna hitam pekat yang terparkir anggun di bawah redupnya lampu jalan.

Lily membelalakkan mata, kemudian melirik Erza dengan ekspresi penuh arti. Alisnya naik-turun, bibirnya membentuk seringai kecil.

"Dia kaya raya," bisiknya di telinga Erza, hampir seperti rahasia besar yang tak boleh terungkap. "Aku jamin, wanita mana pun akan makmur jika menjadi istrinya. Hihi."

"Diamlah, Lily."

Namun, Lily justru tertawa kecil sebelum memasuki mobil Eric, mengambil posisi di kursi depan, sementara Erza memilih duduk di belakang.

Mobil pun meluncur mulus, membelah jalanan yang mulai diselimuti lampu-lampu kota. Lily, seperti biasa, lebih banyak berbicara dibanding yang lain, sementara Eric dan Erza hanya merespons seperlunya.

"Oh ya, kalian suka makan apa?" tiba-tiba Eric bertanya, memecah keheningan.

"Aku suka udang," jawab Lily dengan cepat.

"Kau, Erza?"

Erza masih menatap keluar jendela, memperhatikan kendaraan yang berlalu-lalang. "Aku suka apa pun."

The Broken Lady [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang