13

31.8K 1.5K 246
                                        

Langit malam telah menggantung pekat di atas kota ketika mobil mereka meluncur kembali menuju rumah. Namun, di dalam kabin, kesunyian justru terasa lebih pekat daripada malam yang menghampar di luar. Erza hanya duduk diam di kursinya, pandangannya tertuju pada kaca jendela yang menampilkan bayangan lampu-lampu kota yang berserakan, seolah mencerminkan hatinya yang juga berantakan. Banner di sisi lain tetap mengemudi dengan tenang, tangannya menggenggam setir dengan mantap, tetapi benaknya tidak setenang itu. Ada sebuah kegelisahan yang terus mengusik pikirannya sejak siang tadi-Agnes.

Sejak pertengkaran itu, wajah Agnes yang menegang karena kemarahan terus berkelebat dalam pikirannya. Apakah wanita itu akhirnya memahami maksudnya? Ataukah justru semakin membenci Erza karena teguran yang ia berikan? Banner menghela napas panjang, memikirkan segala kemungkinan. Namun, satu hal yang pasti-ia ingin Agnes belajar untuk lebih menghormati Erza.

Mobil akhirnya berhenti di halaman rumah yang luas, dan Banner segera mematikan mesin. Di sampingnya, Erza masih tetap membisu. Ia tidak berniat membuka obrolan, dan Banner pun tak ingin memaksanya. Dalam diam, keduanya turun dari mobil, melangkah menuju pintu masuk rumah yang megah.

Begitu melewati pintu, mereka disambut oleh pemandangan yang cukup aneh. Agnes berdiri di tengah ruangan dengan pakaian yang tampak sedikit berantakan. Rambutnya agak kusut, peluh membasahi pelipisnya, dan ada aroma samar-samar asap yang melekat pada tubuhnya.

Banner mengerutkan dahi. "Ada apa denganmu? Kau berkeringat dan berbau asap," tanyanya, keheranan.

Agnes menoleh, menatap Banner sejenak sebelum tersenyum kecil. Namun, ada sesuatu dalam senyum itu-sesuatu yang dingin dan samar mengandung ejekan.

"Aku baru saja membakar sampah," jawabnya santai.

Banner menatapnya lebih lama. Ada yang ganjil dalam nada suara itu, seolah Agnes sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi sebelum ia sempat menelisiknya lebih jauh, Erza sudah lebih dulu memutus percakapan.

"Aku permisi ke kamar," ujarnya singkat.

Ia tidak ingin berlama-lama berdiri di sana, menyaksikan interaksi antara Banner dan kekasihnya. Rasanya cukup sudah ia mendengar nama Agnes terucap di bibir Banner sepanjang hari. Kini, yang ia butuhkan hanyalah ketenangan-meskipun ia tahu, ketenangan itu mungkin tak akan pernah benar-benar menjadi miliknya lagi.

Begitu langkah Erza menghilang di lorong menuju kamarnya, Banner kembali menatap Agnes.

"Sampah?" ulangnya, mencoba memastikan.

Agnes mengangguk santai. "Ya. Aku sedang ngidam bersih-bersih. Sampah tadi benar-benar menjijikkan."

"Oh, ada ya, ngidam seperti itu?" Banner meliriknya, sedikit heran. "Hmm ... Agnes, maaf soal tadi siang, ya."

Agnes menatapnya dalam diam sejenak sebelum tersenyum lembut. "Tentu, Sayang. Aku tidak bisa marah padamu terlalu lama," katanya, nada suaranya seolah penuh pengertian. "Lagi pula, mood-ku sudah membaik setelah membersihkan sampah tadi. Lihat, tanganku sampai warna-warni." Ia mengangkat tangannya, memperlihatkan sisa noda di jemarinya.

Banner mengernyit. "Itu kotor. Sana, cuci tanganmu."

Namun, di saat itulah, langkah Erza yang tadinya sudah menjauh, tiba-tiba terhenti.

Warna-warni?

Kata itu menggelitik benaknya, menyisakan sebuah firasat buruk yang mencengkeram dadanya. Tanpa pikir panjang, ia bergegas kembali ke kamarnya, langkahnya nyaris berlari.

Begitu tiba, jantungnya seakan berhenti berdetak.

Pintu lemari di sudut kamar terbuka lebar, meskipun ia ingat betul telah menutupnya rapat sebelum pergi. Namun, bukan hanya itu yang membuat tubuhnya gemetar-lukisan yang selama ini ia simpan di dalamnya telah lenyap.

The Broken Lady [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang