30

27.7K 1K 69
                                        

Di dalam kamar, Erza terus terisak. Hari yang ia lalui hari ini membuatnya terguncang, seperti badai yang tiba-tiba datang menghantamnya dengan kuat, membuat ia hancur pada detik yang sama. Munculnya Tony yang mengatakan Banner kritis, tentu membuat Erza teriris, karena yang diharapkan Erza adalah dirinya dan Banner bisa sama-sama memulai hidup yang baru dan berbahagia. Ditambah lagi, ia lebih terluka saat menyadari kenyataan bahwa Eric tidak yakin pada perasaaan yang dimiliki olehnya. Erza pikir, satu tahun bisa membuat Eric tidak akan pernah ragu pada perasaannya.

"Aku hanya ingin bahagia," ucapnya lirih di sela isak tangis.

Wanita itu masih terisak. Posisinya tak berubah sedikit pun, masih terbaring menghadap jendela kaca kamar seraya memeluk lutut.

"Sebentar saja. Aku cuma ingin merasa senang sebentar sajaaa .... Kenapa Kau buat serumit ini, Tuhan?"

Tak lama setelah itu, matanya perlahan-lahan memejam. Ia merasa sekujur tubuhnya lelah karena menangis selama berjam-jam.

Namun, baru tiga jam tertidur, ponsel yang tergeletak tak jauh darinya berdering nyaring, membuat wanita ayu itu terbangun. Dengan susah payah, ia mengambil ponsel tersebut dan melihat nama yang terpampang di layar. Ternyata, dari rumah sakit tempat Lily dirawat.

Erza langsung duduk, lalu mengucek mata sejenak, dan bergegas menerima panggilan tersebut.

"Halo. Dengan wali Nyonya Rihana Agnelina Tindle?" Terdengar suara seorang wanita di seberang sana.

"Ya, ada apa? Kenapa dengan Lily?" Suara Erza bergetar saat mengucapkan kalimat tersebut. Bagaimana tidak, dia tak ingin mendengar kabar buruk lagi. Sudah cukup Eric yang membuatnya sakit hati, dia tak mau mendengar sesuatu yang buruk terjadi pada Lily.

"Nyonya Rihana telah sadar dari koma. Saat ini dia mencari Anda."

Mendengar itu, rasa lega seketika membuncah, memenuhi dada Erza. Seulas senyum tergambar di bibirnya. "Puji Tuhan. Katakan kepada Lily, aku ke sana sekarang," pungkasnya kemudian mematikan sambungan telepon dan bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit.

Namun, ketika sampai di depan kamar, ia menyadari bahwa akan sulit mendapatkan taksi pada pukul lima pagi. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk menghubungi Alan dan meminta tolong kepada lelaki itu.

Setelah Alan menyetujuinya, Erza pergi ke kamar Baby El. Makhluk kecil itu terlihat lelap dalam tidur. Erza akhirnya membangunkan Sarah dan memberi tahu wanita itu bahwa ia akan pergi.

"Anda mau ke mana?"

Erza sedikit terperanjat begitu Ola tiba-tiba terbangun dan menatapnya dengan pandangan heran.

"Lily sudah sadar. Aku akan ke rumah sakit."

"Tapi, Anda akan pergi dengan siapa? Sulit menemukan taksi di jam ini." Ola bangkit dari posisinya dan menghampiri Erza.

"Aku akan pergi bersama Dokter Alan."

Tak lama setelah itu, suara klakson terdengar dari luar sana.

Ola segera membuka pintu rumah diikuti Erza yang mengekorinya menuju ambang pintu.

Alan sudah turun dari mobil dan membukakan pintu mobil untuk Erza.

Erza bergegas masuk ke mobil dan mengucapkan sepatah dua kata kepada Ola agar wanita itu menjaga Baby El selama ia pergi. Setelah itu, Alan pun melajukan mobil, membelah jalanan Bulgaria yang masih lengang.

"Erza, jika boleh bertanya, kenapa kau tidak bersama Eric?" tanya Alan dengan nada hati-hati. Pandangannya masih fokus ke depan.

"Dia ... dia bilang Jane sedang sakit, jadi tidak bisa meningalkannya," dusta Erza, kemudian menggigit bibir bawah kuat-kuat, berusaha menutupi kebohongannya.

The Broken Lady [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang