Erza tidak bisa! Ia tidak bisa terus di sana seperti orang bodoh. Ia tak sanggup melihat kemesraan suaminya bersama wanita lain. Hatinya sudah hancur berkeping-keping.
Ia kemudian menuju dapur dan membersihkan dapurnya dengan perasaan yang tak keruan. Erza ingin beranjak dari rumah untuk menenangkan pikiran.
Dengan ragu, Erza memasuki kamarnya untuk mengambil tas. Ia tak mengatakan apa pun, menganggap bahwa Banner dan Agnes tidak ada. Sorot matanya terkadang tak sengaja mendapati suaminya bercumbu mesra dengan Agnes. Ia pun semakin mempercepat langkah menuju lemari kayu yang berada di pojok kamar.
Erza melangkah keluar sambil menunduk. Namun, matanya tak sengaja menatap Banner yang saat ini sedang memeluk Agnes. Lelaki itu tengah menatapnya tajam. Erza membalas tatapan itu dengan wajah sayu. Cukup lama mereka berpandangan sampai Erza memutus pandangan lebih dulu dan berjalan ke luar. Ia berniat pulang ke rumah lamanya.
***
Erza masuk ke dalam rumah yang cukup besar itu. Kakinya menaiki tangga menuju ruang kerja sang ayah. Di sekeliling rumah itu dipenuhi dengan debu dan sarang laba-laba.
"Halo, Ayah. Apa kabarmu di sana? Sudah lama aku tidak kemari. Rumah kita tampak kotor, ya? Mungkin aku akan menelepon tukang bersih-bersih nanti," kata Erza pada angin. lalu duduk di kursi kerja ayahnya sambil memandang bingkai foto dirinya bersama ayah dan ibu.
"Kalian akan memiliki cucu sebentar lagi. Sayang, kalian tak dapat menggendongnya, tapi aku yakin kalian dapat melihatnya nanti dari tempat yang berbeda."
Memandangi setiap sudut ruang kerja sang ayah membuat hatinya nelangsa. Ia semikin sedih, menyadari apa yang diharapkannya akan selalu terbengkalai menjadi angan yang sia-sia. Nyatanya, ia tidak bahagia dalam menjalani pernikahan, tapi Erza melewatkan satu hal, sesuatu dalam rahimnya. Bukankah itu kebahagiaan? Erza tersenyum saat pikiran itu sampai di kepalanya, tak lama disusul air mata yang kembali mengurai.
"Ayah, aku mencintainya, pria yang kau percayakan untuk menjagaku. Aku mencintainya, tapi dia tidak. Dia mencintai orang lain. Namun, aku belum lelah, aku masih bisa bertahan. Sembilan bulan, jika memungkinkan aku akan berusaha untuk menjatuhkan hatinya padaku, tapi jika nanti ia tetap tidak akan menjatuhkan hatinya padaku, setidaknya aku masih memiliki sebagian dari dirinya, setidaknya aku masih memiliki alasan untuk hidup, 'kan? Ayah, doakan aku."
Erza meneggelamkan kepala pada lipatan tangannya yang ada di meja. Ia tidak kuat begitu mengingat tatapan dingin Banner sebelum ia pergi tadi.
"Aku mencintainya, hiks."
Wanita itu terus menangis sampai lelah dan tertidur hingga siang. Ia kemudian terbangun ketika dering ponsel membangunkannya. Tertera nama Banner pada layar ponsel. Bergegas digesernya tombol hijau pada layar ponsel.
"Halo."
"I-iya.?"
"Kau di mana? Kenapa pergi? Kau bilang ingin melaksanakan kewajibanmu. Aku sedang sakit. Dasar bodoh!"
"A-aku tidak ingin mengganggu kalian."
"Kau pikir Agnes akan seharian di rumah apa?! Dia hanya sampai jam sepuluh."
"Tapi aku sudah menyiapkan makanan di meja, kau bisa memakannya."
"Dasar bodoh! Kau pikir aku pura-pura sakit apa?! Bahkan untuk duduk saja terasa sangat sulit. Akhhh, kepalaku. Cepatlah pulang!"
"Tunggu sebentar kalau begitu, aku akan segera pulang."
Erza tersenyum simpul setelah mematikan panggilan. Lihat, hanya begitu saja ia bisa tersenyum. Tak ada kelembutan, tak ada kata-kata cinta, tapi ia merasa senang karena setidaknya ia masih merasa dibutuhkan, meski hanya sedikit. Bodoh, bukan?! Itulah cinta. Dihadirkan oleh Tuhan, membuat hati tidak bisa disentuh oleh logika. Alhasil cinta bisa menjerat akal sehat, membutakan yang terang, mengubah yang waras menjadi tak bernalar.
***
Erza memasuki kamar dan mendapati Banner berbaring membelakangi pintu. "Kau ingin makan sesuatu?"
"Huh! Kau mengagetkanku!" ujarnya dingin seraya berbalik.
"Maaf," kata Erza. "Ingin kubuatkan sesuatu untuk makan siang?"
"Iya, buatkan apa saja. Aku sangat lapar."
Erza bergegas pergi ke dapur untuk membuat pasta dan beberapa camilan. Ia memasak lagi karena makanan tadi pagi pasti sudah dingin.
Setelah siap, ia membawa masakannya di atas nampan, kemudian menaruhnya di atas nakas.
"Apa kau bisa duduk?"
"Bisa, tapi tolong bantu aku."
Lihatlah lelaki itu memang benar-benar tidak berdaya. Erza pun membantu suaminya untuk duduk.
"Ini," katanya sambil menyerahkan pasta pada Banner.
"Pasta?" Banner terlihat tertarik, kemudian menerima piring yang diserahkan Erza. Ia terlihat tidak sabar untuk mencicipinya. Sudah berapa lama ia tidak memakan pasta? Satu bulan? Dua bulan? Entah, tapi terang sekali ia mendambakan pasta buatan Erza cepat-cepat mendarat di mulutnya.
Terlihat Banner tertegun beberapa detik begitu pasta itu menyentuh lidahnya, ia mengunyahanya dengan ragu-ragu, seperti deja vu. Sayangnya, Erza tak memperhatikan ekspersi lelaki itu.
"Pasta ini ...."
"Ya, kenapa dengan pastanya?" tanya Erza, sedikit terperanjat. Wanita itu hanya tidak ingin Banner mengomelinya jika pasta yang dibuatnya memiliki rasa yang buruk.
Banner mengalihkan pandangannya pada Erza. Netra mereka bertemu. Seketika itu juga seolah ada angin sejuk berembus di sekitar Banner, irama jantungnya juga berdentum menyenangkan.
"Ada apa?" panggil Erza. "Pastanya tidak enak?"
"No, ini enak."
Erza tersenyum mendengarnya. Ia sempat bingung akan kelakuan suaminya, tapi mencoba tidak memikirkannya. Wanita itu kemudian berjalan mendekati lemari untuk menaruh tas yang tadi ia letakkan sembarangan karena terburu-buru.
Untungnya kamar ini memiliki lemari yang sangat besar sehingga cukup untuk menyimpan semua lukisan-lukisan milik Erza. Mungkin akan terasa memalukan jika ia ketahuan sering melukis wajah suaminya.
Banner tidak tahu apa pun tentang Erza. Ia tak tahu mengenai Erza yang pandai melukis, bernyanyi, dan memainkan piano. Banner tak tahu apa pun, yang ia tahu Erza memang mencintai dirinya. Ia tak pernah ingin duduk berdua dengan Erza hanya untuk sekadar bercerita mengenai kehidupan dan kesukaan sang istri.
"Kau dari mana tadi?" tanya Banner setelah mengunyah makanannya. Tampaknya, pasta itu sudah tandas tak bersisa.
Erza terkejut ketika tiba-tiba Banner buka suara. "Dari rumah lamaku," jawabnya dengan canggung.
"Kau ke sana untuk menghindari aku dan Agnes, 'kan?" tanya Banner datar seraya meletakkan piring yang sudah kosong di atas nakas.
"Tidak. Sudah lama aku tidak ke sana dan hanya ingin sedikit membersihkannya."
"Kau tak perlu bohong. Raut wajahmu sebelum pergi tadi menjawab segalanya, kau terlihat kesal pada kekasihku," kata Banner, sedikit menyinggung kejadian tadi..
"Aku cemburu." Erza menatap Banner. Satu hal lagi yang Banner tahu dari Erza, Erza tak pernah berbohong tentang perasaan yang dirasakannya.
"Duduklah di sini! Pijatkan kakiku," Banner menunjuk kakinya.
Erza menurut, mendekati suaminya, dan mulai memijat kaki Banner dengan suasana canggung.
"Kau pandai juga ternyata. Mungkin setelah kita berpisah kau bisa membuka jasa tukang pijat," ejek Banner.
Erza hanya membalas ejekan itu dengan tawa kecil.
"Apa kau baru saja tertawa?"
"Maaf," kata Erza kembali menunduk, tapi masih mengulum senyum.
"Apa hanya kalimat itu yang selalu keluar dari mulutmu? Aku sudah bosan mendengar kalimat maafmu itu."
"Maaf, eh ...." Erza mulai gelagapan. Ia menatap Banner ngeri. Entah kenapa, ia merasa seperti anak kecil yang sedang melakukan kesalahan besar. Ia menggigit bibir bawah, gugup.
"Hm, dasar bodoh," kata Banner sambil tersenyum,dan Erza tak sengaja melihatnya. Ia baru saja melihat lelaki itu tersenyumuntuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Broken Lady [Completed]
Romance21++ Dedek polos dilarang mendekat! ____ Erza Luciana Lowe, perempuan penyuka musik dan seni. Dia baik hati dan sedikit cengeng. Takdir membawanya pada pijakan berduri setelah ayahnya mengembuskan napas terakhir dan meninggalkan pesan kepada seoran...