4

50K 1.5K 14
                                    

Banner mengangguk seraya mengekori Erza menuju ruang makan.

Erza mengeryit heran, merasa aneh ketika Banner tidak menatapnya seperti biasa. Lelaki itu menatapnya seperti ... merasa bersalah. Entahlah, Erza merasa itu lebih baik daripada terus mendapat tatapan dingin.

Erza berjalan ke arah Banner untuk menaruh piring di depan sang suami, lalu mengambil piring untuk dirinya sendiri.

"Bagaima—" Erza baru mengingat jika suaminya itu tidak suka diajak mengobrol saat sedang makan. Buru-buru ia menghentikan kalimatnya dan menggigit bibir. Namun, Banner sudah telanjur menatapnya tajam, menunggu kalimat yang ingin dia ucapkan.

"Apa?"

"Apa?" Erza terlihat gugup kali ini.

"Kau ingin mengatakan apa?" tanya Banner.

"Emm, bagaimana harimu?"

"Apa memang sudah kebiasaanmu selalu menanyakan kabar orang setiap sedang makan?"

Erza hanya menunduk dan memainkan pisau steak saat mendengar perkataan Banner. Tahu begitu, ia memilih untuk diam saja sejak awal.

"Maaf."

"Kau benar-benar ingin tahu kabarku tiga hari belakangan ini? Kau yakin?"

Erza meneguk ludahnya dengan susah payah. Ia sudah menyiapkan mental untuk mendengar jawaban suaminya kali ini. Perlahan, ia mengangguk dan menatap pria itu.

"Aku berkencan dengan kekasihku."

Mendengar itu, Erza langsung menggigit bibir, berusaha mati-matian menahan air matanya.

Detik itu juga keadaan menjadi hening. Ada beribu pertanyaan di benak Erza, apa Banner benar-benar menyelingkuhinya? Jika benar, sudah sejauh mana hubungan mereka? Memikirkan itu membuat dadanya sesak seketika. Ia memejamkan mata dan mengembuskan napas dari mulut. Nafsu makannya tiba-tiba lenyap begitu saja. Erza hanya menenggak air hingga tandas.

Alhasil, makan malam kali ini masih seperti malam-malam yang telah berlalu sebelumnya.

Erza memperhatikan Banner, lalu memberanikan diri untuk mengatakan sesuatu pada suaminya itu sebab ia hanya bisa mengajak Banner berbicara saat di meja makan.

"Maaf, tapi aku ingin bicara lagi. Mengingat kau akan sibuk setelah ini, jadi aku ingin meminta sesuatu padamu," ujar Erza takut-takut.

"Hemm." Banner hanya menjawabnya dengan gumaman.

"Apa kamu mau memperlakukanku selayaknya istri selama sembilan bulan ini?"

Banner mengangkat sebelah alisnya, lalu meletakkan garpu dengan kasar hingga menimbulkan suara yang cukup mengganggu telinga.

Erza menarik kesimpulan jika suaminya itu sedang protes. "Ka-kau ... kau jangan salah paham dulu. Hal yang itu tidak termasuk, kita tetap pisah ranjang,"

Suasana masih hening, tapi Erza yakin Banner sedang serius mendengarkannya, meskipun lelaki itu terlihat tidak sudi. Erza menarik napas, kemudian melanjutkan kata-katanya. "Kau tahu, 'kan, tugas seorang istri selain menyiapkan makan malam, masih ada yang namanya sarapan dan makan siang. Hm, begitu pun saat pagi dan sore, aku bisa membuatkanmu teh atau kopi. Aku juga akan membantumu merapikan kamarmu, bahkan menyiapkan pakaian kerjamu."

"Berarti kau ingin keluar masuk kamarku begitu?! Dengar, kau jangan menaruh harapan besar dari pernikahan hambar ini, Erza. Kita akan segera bercerai begitu anak itu lahir. Jadi, tolong jangan ber—"

"Aku hanya ingin kau menerima apa yang kukerjakan sebagai istrimu, sungguh tidak lebih. Lagi pula, aku cukup tahu diri kau tidak pernah menganggapku. Aku hanya ingin begitu anakku lahir, setidaknya aku memiliki kenangan saat bersamamu yang terdengar baik untuk kuceritakan padanya nanti. Hanya sembilan bulan, maka kau bebas mau menceraikanku atau tidak."

The Broken Lady [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang