Dedaunan di luar jendela bergetar pelan, ditiup angin yang lembut namun dingin. Cahaya matahari menyorot tajam, jatuh di sela-sela tirai yang belum sepenuhnya ditutup. Di dalam kamar yang sunyi, aroma obat-obatan samar tercium, bercampur dengan wangi khas linen bersih.
Erza melangkah masuk dengan hati-hati, seperti seorang penyelusup di rumahnya sendiri. Matanya menangkap sosok suaminya yang terbaring di ranjang, membelakangi pintu. Siluetnya tampak rapuh, tubuhnya tak lagi memiliki aura tegar yang biasa ia kenali.
"Kau ingin makan sesuatu?" suaranya lembut, tapi cukup untuk menembus hening yang menggantung di ruangan.
Banner bergerak sedikit sebelum akhirnya berbalik dengan ekspresi terkejut. "Huh! Kau mengagetkanku!" ujarnya dingin.
"Maaf," jawab Erza, tidak berniat memicu pertengkaran. "Ingin kubuatkan sesuatu untuk makan siang?"
Banner tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Iya, buatkan apa saja. Aku sangat lapar."
Erza mengangguk kecil dan segera keluar dari kamar. Langkahnya cepat, tetapi tidak terburu-buru. Ia tahu, makanan yang ia siapkan tadi pagi pasti sudah dingin. Ia memutuskan untuk memasak yang baru.
Di dapur, ia mengeluarkan bahan-bahan dengan gerakan yang nyaris mekanis. Tangannya bekerja sendiri, mencincang, merebus, menumis, mencampur. Uap panas dari panci naik ke udara, memenuhi ruangan dengan aroma gurih yang mengundang. Kali ini, ia memilih membuat pasta-sesuatu yang ia tahu pernah disukai Banner.
Saat semuanya siap, ia menyusun makanan itu di atas nampan dengan cermat. Pasta hangat yang masih mengepul, beberapa camilan ringan di piring kecil, dan segelas air putih. Ia mengangkat nampan itu dengan kedua tangan, lalu membawanya ke kamar dengan hati-hati.
Banner masih duduk bersandar di kepala ranjang ketika ia masuk. Matanya sekilas melirik nampan yang dibawa Erza.
"Apa kau bisa duduk?" tanyanya, meletakkan nampan di atas nakas.
Banner mencoba menggerakkan tubuhnya, tetapi terlihat kesulitan. "Bisa, tapi tolong bantu aku."
Tanpa ragu, Erza meraih lengannya dan membantunya duduk dengan lebih nyaman. Lelaki itu tampak lelah, napasnya terdengar sedikit berat, dan kulitnya masih menyimpan panas demam. Erza menarik napas pelan, berusaha mengabaikan perasaan iba yang muncul.
"Ini," katanya, menyerahkan piring berisi pasta kepada suaminya.
Banner menatap hidangan itu sejenak sebelum menerimanya. Ada sesuatu dalam sorot matanya-entah itu kerinduan, kejutan, atau sekadar lapar yang tertahan terlalu lama.
"Sudah lama aku tidak makan pasta," gumamnya sambil mengambil garpu.
Erza tidak menanggapi. Ia hanya memperhatikan bagaimana Banner mulai menyuapkan makanan ke mulutnya. Namun, begitu suapan pertama menyentuh lidah lelaki itu, gerakannya terhenti sesaat. Ada kilasan emosi di wajahnya-sesuatu yang samar, sulit diartikan.
"Pastanya..." suara Banner terdengar pelan.
Erza mengerutkan kening. "Ya? Kenapa dengan pastanya?" tanyanya, sedikit cemas kalau rasanya tidak sesuai harapan.
Banner tidak langsung menjawab. Ia justru mengalihkan tatapannya pada Erza, menatapnya dengan cara yang tidak biasa. Untuk sesaat, ada keheningan yang berbeda-seakan waktu melambat, angin berhenti bertiup, dan hanya ada mereka berdua di ruangan itu.
Angin yang masuk dari jendela terasa lebih sejuk, sementara detak jantung lelaki itu berdentum pelan namun konstan.
"Ada apa?" panggil Erza, memecah jeda di antara mereka. "Pastanya tidak enak?"
Banner tersenyum kecil. "Tidak, ini enak."
Erza mengangguk, lalu berbalik, berjalan menuju lemari untuk menaruh tasnya. Langkahnya tenang, tapi pikirannya tidak. Ada sesuatu dalam cara Banner melihatnya barusan-sesuatu yang ia takuti untuk diartikan terlalu jauh.
Matanya sekilas menatap pintu lemari yang sedikit terbuka. Di dalamnya, tersimpan kanvas-kanvas yang berisi lukisan-lukisan wajah suaminya. Rahasia kecil yang selama ini ia simpan. Seandainya Banner tahu, akankah lelaki itu mengejeknya? Atau justru tidak peduli?
Tapi bukan itu yang penting sekarang.
"Kau dari mana tadi?" suara Banner memecah lamunannya.
Erza menoleh. "Dari rumah lamaku," jawabnya dengan canggung.
Banner mengunyah makanannya perlahan sebelum kembali bicara. "Kau ke sana untuk menghindari aku dan Agnes, bukan?"
Erza terdiam sesaat. Kemudian, dengan suara yang lebih lembut, ia berkata, "Tidak. Sudah lama aku tidak ke sana dan hanya ingin sedikit membersihkannya."
Banner tertawa kecil, tapi tidak ada kehangatan di sana. "Kau tak perlu bohong. Raut wajahmu sebelum pergi tadi menjawab segalanya. Kau terlihat kesal pada kekasihku."
Erza menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya.
"Aku cemburu," katanya akhirnya.
Kalimat itu sederhana, tetapi penuh makna. Banner menatapnya, mungkin sedikit terkejut, tetapi ia tidak mengatakan apa pun. Ia tahu, Erza tak pernah berbohong tentang perasaannya.
"Duduklah di sini," kata Banner, menunjuk ke kakinya. "Pijatkan kakiku."
Erza menurut. Ia berjongkok di hadapan suaminya, lalu mulai memijat kakinya perlahan. Suasana di antara mereka aneh-tidak benar-benar tegang, tetapi juga tidak santai.
"Kau pandai juga ternyata," komentar Banner setelah beberapa saat. "Mungkin setelah kita berpisah, kau bisa membuka jasa tukang pijat."
Erza hanya tersenyum kecil.
"Kau baru saja tertawa?"
Erza mengangkat bahu. "Maaf," katanya refleks.
Banner mendengus. "Apa hanya kalimat itu yang selalu keluar dari mulutmu? Aku sudah bosan mendengar kalimat maafmu itu."
"Maaf, eh..." Erza gelagapan, lalu menatap Banner dengan ekspresi canggung.
Lelaki itu menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Hm, dasar bodoh."

KAMU SEDANG MEMBACA
The Broken Lady [completed]
RomanceSeorang wanita yang menganggap dunia adalah melodi yang belum selesai, terjebak dalam kehidupan yang jauh dari harmoninya. Dikenal dengan kelembutan hati dan cintanya pada seni, ia hidup dalam bayang-bayang janji yang tak pernah ditepati. Ketika tak...