6.

40.8K 1.4K 38
                                    

"Terima kasih."

Mendengar kalimat yang terdengar tulus itu, Banner hanya diam, menatap mata Erza lekat, kemudian pergi menuju ruang makan.

"Kau belum selesai?" tanya Banner mengenai sup yang dijanjikan Erza tadi.

"Oh, itu ... sudah. Tunggu, ya."

Erza kembali mengalihkan perhatian pada masakannya. Buru-buru ia mematikan kompor setelah melihat supnya cukup matang.

"Kau duduklah dulu, aku akan menyiapkan makanannya."

Banner menurut. Lelaki itu menarik kursi, kemudian duduk di atasnya.

Tak lama kemudian, Erza menaruh piring dan menyajikan masakan yang baru dibuatnya tadi di atas meja makan. Ia lantas mengambilkan sang suami nasi beserta sup.

"Apa enak?"

"Hm, bisa dimakan," jawab Banner setelah menyuapkan sesendok nasi dan sup.

Erza hanya tersenyum mendengar jawaban Banner. Setidaknya tidak ada kalimat dingin yang terdengar di telinganya, 'kan?

Ketika tengah asyik memperhatikan Banner melahap masakannya, tiba-tiba Erza merasa lidahnya terasa aneh, seperti ingin memakan sesuatu yang manis. Tampaknya, ia sedang mengidam. Namun, waktunya kurang tepat. Kenapa ia mengidam saat bersama Banner?

Erza hanya bisa menggigit bibir, berusaha menahan keinginannya.

Melihat gelagat Erza, Banner mulai terusik. "Ada apa denganmu?"

"Ha? Ti-tidak," jawab Erza gugup.

"Dengan tingkah seperti itu, kau bilang tidak pa-pa? Ada apa denganmu?"

"Aku ingin susu," cicit Erza.

"Bukannya ada dikulkas?"

"Aku mau yang rasa cokelat, buatan pria Prancis yang bekerja di cafe dekat persimpangan."

Banner mengangkat satu alisnya, lalu memasang tampang curiga, merasa kalau Erza sedang berpura-pura. "Apa kau sedang mengidam?"

"Mungkin. Rasanya mendadak sekali. Oh, aku sudah tidak tahan." Alih-alih menepis keingiananya untuk meminum susu cokelat, Erza malah meneguk minuman Banner.

Hal itu malah membuat Banner tidak tega. "Bagaimana jika cafe itu ramai." Ia terlihat kesal juga iba, pasalnya ia tidak suka saat berada di tempat umum banyak orang yang seenaknya mengambil foto dirinya.

Mata Erza mulai berkaca-kaca.

"Hei, hei! Kenapa kau menangis? Drama sekali," cibirnya. "Tunggulah, aku akan mencarikanmu. Manja!"

"Ka-kau serius? Nanti jika bertemu paparazi bagaimana? Tapi, aku ingin sekali, Tuhan." Erza kembali meneguk air dalam gelas hingga tandas.

"Huh! Kau melarangku dan memaksaku di saat yang bersamaan. Sudah mulai berani, ya? Dengar, aku terpaksa melakukan ini, mengingat aku sudah membuatmu menangis pagi tadi. Anggap saja sebagai permintaan maaf, jadi jangan terlalu percaya diri. Huh, aku berharap sembilan bulan terasa lebih cepat." Banner berlalu dengan wajah tertekuk. Ia pergi begitu saja dari hadapan Erza.

Di sisi lain, Erza menunduk, memikirkan kalimat terakhir Banner. Entahlah, begitu mendengar kalimat itu dada Erza terasa seperti terjepit sesuatu.

"Lebih cepat, ya? Huh, padahal aku ingin pernikahan ini berjalan baik!" gumammnya, kemudian perlahan-lahan mengelus perut. Ia kembali menarik napas, mencoba menetralkan rasa sakit hatinya.

"Maaf, karena telah menyusahkan hidupmu." Erza menggelamkan wajah pada lipatan tangannya yang ditaruh di atas meja.

"Maafmu sudah tidak berguna. Kau sudah telanjur mengacaukan hidupku yang dulunya sempurna."

The Broken Lady [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang