Langit di luar rumah sakit tampak muram, seolah turut merasakan badai yang berkecamuk di dalam ruangan ini. Lampu-lampu putih di langit-langit bersinar dengan cahaya dingin, tak memberikan kehangatan sedikit pun bagi jiwa-jiwa yang bertikai di dalamnya.
Banner berdiri di tengah ruangan, wajahnya merah padam oleh amarah yang menggelegak. Napasnya berat, dadanya naik turun dengan ritme yang penuh ledakan. Mata elangnya menatap Erza dengan kebencian yang tak tertahankan-seakan-akan wanita itu adalah jelmaan dosa terbesar dalam hidupnya.
Tak puas hanya dengan bentakan dan tatapan membara, Banner melangkah maju, mendekat ke arah Erza yang masih berdiri dengan tubuh gemetar. Dan sebelum ia sempat mundur atau sekadar bersiap, tangan lelaki itu mencengkeram rambutnya.
Tarikannya kuat.
Sejenak, dunia Erza berputar. Pandangannya kabur oleh rasa sakit yang menjalar dari kulit kepalanya hingga ke seluruh tubuh.
"Banner, sakit!" suaranya lirih, bercampur rintihan. Matanya memerah, bukan hanya karena sakit fisik, tetapi juga karena luka di dalam dadanya yang semakin menganga.
Tapi lelaki itu tak peduli.
"Kau membunuh anakku! Kau pembunuh, Erza!" suara Banner menggelegar seperti guntur yang menghantam tanah, penuh dengan luka dan kemarahan yang tak terbendung.
"Aku tidak membunuh anakmu!" erang Erza, berusaha meraih pergelangan tangan lelaki itu agar cengkeraman di kepalanya sedikit mengendur. "Dengar aku, Banner. Agnes meracuni dirinya sendiri! Aku tidak berbohong! Aku mohon, percayalah padaku! Aku mohon-Akhhh, sakit!"
Tapi permohonannya sia-sia.
Banner semakin mengeratkan cengkeramannya, seperti singa yang siap mencabik-cabik mangsanya. Matanya menyala oleh api kemarahan yang tak tersisa belas kasih sedikit pun.
"Kau baru saja menghina kekasihku dengan menuduhnya, jalang!"
Kata-kata itu menghantam jantung Erza seperti pisau tajam yang ditusukkan ke dalam tanpa peringatan.
Jalang.
Lelaki yang pernah ia cintai, lelaki yang pernah ia korbankan segalanya, kini menyebutnya dengan sebutan yang tak layak.
Rasanya seperti jiwanya terkoyak.
Banner tidak berhenti di situ. Dengan gerakan cepat dan kasar, ia menyeret tubuh Erza ke arah jendela yang terbuka, jendela yang langsung mengarah ke halaman rumah sakit di bawah sana.
Angin malam yang dingin berhembus masuk, mengacak rambutnya yang masih dalam cengkeraman Banner.
"Dia tidak sebusuk itu!"
Tangan lelaki itu kini berada di kerah bajunya, mengguncang tubuh Erza dengan keras.
"Jaga ucapanmu jika kau tidak ingin kulempar ke bawah!"
Erza membelalakkan matanya.
Dadanya bergemuruh.
Adakah batas bagi kebencian?
Adakah titik di mana seseorang berhenti mencintai dan mulai ingin melenyapkan?
"Demi Tuhan, Banner! Tolong percaya padaku! Aku tidak pernah berbohong padamu!" suaranya serak, penuh ketulusan yang sayangnya jatuh sia-sia.
Tapi Banner tak menggubris.
"Kau masih tidak mau mengaku, hah?! Kau pembunuh, Erza! Kau membunuh anakku!"
Teriakan itu membuat dunia Erza bergetar.
Dan saat itu, ia tahu-tak peduli seberapa keras ia bersumpah, lelaki ini tak akan percaya padanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Broken Lady [completed]
RomanceSeorang wanita yang menganggap dunia adalah melodi yang belum selesai, terjebak dalam kehidupan yang jauh dari harmoninya. Dikenal dengan kelembutan hati dan cintanya pada seni, ia hidup dalam bayang-bayang janji yang tak pernah ditepati. Ketika tak...