12

154 63 3
                                    

Hari ini adalah hari penentu bagiku dan Kevin, karena hari ini saatnya ujian nasional. Ya, aku pun tak menyangka itu, rasanya waktu bergulir begitu cepat.

Semoga saja, keberuntungan berpihak padaku agar aku mendapatkan nilai di atas rata- rata.

Setelah beberapa hari berlalu, akhirnya ujian nasional terlewatkan aku pun segera menghampiri kelas Kevin.

"Vin, gimana ujiannya?" tanyaku padanya.

"Bisa gak kamu gak nanya dulu, aku lagi pusing Al!" jawabnya ketus.

Aku diam, bingung kenapa Kevin bersikap seperti ini bukan seperti Kevin yang ku kenal.

Apa memang sikapnya telah berubah, sebab sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengannya karena saat itu terjadi kesepakatan antara aku dengannya untuk saling fokus belajar.

"Al aku minta maaf," ujarnya.

"Buat apa?" tanyaku.

"Tadi aku gak bermaksud buat ngebentak kamu, cuma tadi aku lagi pusing aja kesel sama ujian matematika tadi!" jelasnya.

"Gapapa ko Vin."

"Yaudah, mau nonton?" tanyanya.

"Emang kamu mau?"

"Kan aku yang nawarin kamu," ucapnya tersenyum.

"Okey, tapi kayanya aku ganti baju dulu deh Vin."

"Yaudah, jadi sekarang kita ke rumah aku dulu ya terus baru ke rumah kamu!" ujar Kevin senyum sumeringah.

Aku pun menuruti apa yang di bilang Kevin, dan sekarang kita berdua sudah dibioskop.

"Vin, ko bioskopnya sepi banget si? Kayanya lagi tutup," ujar ku melihat suasana bioskop yang sepi karena hanya kami berdua yang ada di sana.

"Gak mungkin tutup ko, orang aku yang sewa tempat ini!" ujarnya pelan.

"Hah, jadi kamu sewa tempat ini Vin?" tanya ku setelah mendengar ucapan itu.

"Iya, emang kenapa si Al?" ucapnya menyubit pipiku.

"Tapi sayang-sayang Vin sama uang kamu!" ujarku.

"Sayang si sama uangnya doang bukan sama orang nya!" ujar Kevin mendengus kesal.

Aku hanya memutarkan mata, "Aku sayang sama kamu," ujarku

"Pardon?"

Heuh, apakah aku harus mengucapkannya untuk kedua kalinya?

"Aku sayang sama kamu, " ujarku dengan intonasi lebih tinggi agar Kevin mendengar itu.

Kevin senyum sumeringah, pasti kini ia merasa bangga dengan dirinya sendiri.

"Al, gapapa kan sekali- kali aku kaya gini buat bikin orang yang aku sayang bahagia?" Tanyanya sambil menarik tanganku masuk ke dalam studio 1.

End, sekarang cuma ada aku dan Kevin yang sama-sama menatap layar besar yang ada di depan kami berdua.

Aku melihat ke arah Kevin, sepertinya ia sedang asik menonton film itu sambil mengunyah popcron.

" Kayanya ini yang namanya jilat ludah sendiri deh, dulukan gue bilang bahwa Kevin adalah musuh dan musuh akan tetap menjadi musuh. Tapi sekarang gue malah kembali lagi bersama Kevin, tapi ya mau gimana lagi kalau ini takdir yang maha kuasa siapa yang tau," ucapan dalam pikiran nya.

Seketika ia menoleh ke arah ku, sepertinya ia merasa jika aku melihatinya dari tadi. Dan aku pun membuang muka darinya, mencoba fokus dengan film yang sedang diputar.

"Kenapa?" ia bertanya padaku.

"Apa?"

"Kenapa?" ujarnya menekan perkataan itu.

"Enggak."

"Ko tadi ngeliat gitu?"

"Enggak, cuma lagi mikir aja dulukan kamu musuh aku Vin, ko tiba- tiba kita bisa deket kaya gini lagi?" ujarku.

Kevin pun mengalih padangannya ke arahku dan memegang kedua tangan ku.

"Itu karena takdir, takdir aku itu sama kamu Al, dan takdir gak ada yang tau," jelasnya padaku.

"Kata kamu takdir gak ada yang tau, tapi kenapa kamu bisa bilang kalo takdir kamu itu aku? Dasar sotak!" Ucapku menoyor kepalanya.

"Kamu pernah nonton film brave?"

Kenapa ia bertanya seperti itu? Apa ia kira aku tak punya tv, "Pernah, memang kenapa?"

"Inget gak di bagian akhir cerita dia bilang Kalo Takdir ada bersama kita. Kamu hanya membutuhkan keberanian untuk melihatnya, terus Takdir adalah sesuatu yang kita cari, sesuatu yang kita perjuangkan. Beberapa orang tidak pernah menemukannya. Tapi ada yang justru mengarahkan takdir itu." Jelasnya membuat otak ku mulai berkutik

"Jadi?"

"Ya, takdir aku itu kamu Al, karna sekarang aku udah berani buat ngelihat kamu dan memperjuangkan kamu," jelasnya.

Aku hanya tersenyum di akhiri cerita yang telah selesai. Aku dan Kevin pun keluar dari bioskop, dengan Kevin yang merangkulku.

Kini aku dan Kevin pun menuju ke restoran seafood yang ada di sana.
Disela kami menunggu makanan datang, tiba- tiba ada gadis mungil menghampiri kami.

"Mah, Pah! Dulu Mamah sama Papah suka pacaran kaya kakak ini ya?" ujar gadis mungil itu menunjuk ke arah kami.

"Adek sini, jangan ganggu kakaknya pacaran!" ujar ibu itu menarik tangan gadis mungil tadi.

"Maaf ya dek," ujar ayah anak itu.

"Gapapa ko Pak," ujar Kevin sambil tersenyum.

Entah kenapa mendengar itu aku tidak kuasa menahan tawaku, gadis mungil tadi sudah mengenal kata pacaran. Apa ia tau apa maksud pacaran itu?

"Al, kamu kenapa? Ko ketawa mulu?" tanya Kevin padaku.

"Ngeras lucu aja tadi anak sekecil itu udah tau kata pacaran. Apa dia tau maksudnya?" ujarku masih tertawa

"Iya juga si, kan seharusnya mereka belum tau kata pacaran. Ya namanya juga kids jaman Now, kaya kamu!" ujar Kevin menunjuk ke arah ku.

"Emang kamu hidup di jaman batu? Kamu kan juga hidup di jaman sekarang, berarti kamu kids jaman now juga!" ujarku menyentil Kevin.

Kevin tidak menjawab pertanyaanku, ia malah sibuk mempersiapkan alat makannya karena makanan telah tiba.

Setelah selesai makan, Kevin pun mengantarku hingga depan rumah dan memberhentikan mobilnya tepat didepan gerbang.

"Vin, mau masuk dulu?" ujarku menawarkan itu.

"Gausah Al, aku salam sama Mamah, Papah, sama Bang Satya ajah ya. Soalnya udah malem, biar kamu istirahat," ujarnya masih dari dalam mobil.

"Yaudah, aku masuk ya. Take care Vin!" ujarku membuka pintu gerbang.

"Al!"

"Iya?"

"Besok kamu ikut aku ya!" ajak Kevin.

"Kemana?"

"Tunggu besok ajah ya!" ujar Kevin

"Vin, mau kemana? Jangan bikin aku penasaran," tanyaku.

"Liat besok ya sayangg!" ujarnya lalu pergi.

Dasar nyebelin, ia suka sekali jika membuat ku penasaran.
Apalagi saat Kevin bilang sayang? Tak salah dengar? Makin kesini kenapa dia jadi gila. Apa dia tergila gila dengan ku?l? Ah masa iya?Tapi denger nya ko malah jijik ya?

ALUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang