Dua Puluh Delapan

218 31 4
                                    

Ketika perilaku lebih menciptakan luka. Lebih parah dari sekedar kalimat, aku membencimu.

***

Genap satu minggu sudah Bian menghindarinya. Genap satu minggu sudah tidak ada godaan dari pria itu. Lisa menoleh kebangku sebelahnya. Pria itu masih dengan setia tertidur dibalik lipatan tangannya. Wajahnya terlihat sangat tak berdosa ketika tidur.

Lagi, senyum Lisa kembali tercetak dibibirnya. Hilang sudah rasa sakitnya ketika mengingat kedekatan Bian dengan siswi seangkatannya bernama Rose itu. Saat ini adalah pelajaran Bahasa Indonesia, tapi pria itu masih dengan tenangnya tertidur dikelas.

Lisa meletakkan kepalanya dimeja. Menjadikan tangannya sebagai tumpuan. Sekarang posisinya berhadapan dengan Bian. Senyumnya kembali mengembang ketika melihat pria itu yang menggeliat karena silau matahari.

Mata Bian terlahan terbuka. Hal pertama yang ia lihat adalah Lisa. Gadis yang dengan susah payahnya sedang ia lupakan. Entah seberapa dalam cintanya pada gadis itu. Yang ia tau, semua tentangnya adalah Lisa.

Ia masih menatap gadis itu. Dengan wajah sedatar yang ia punya.
Kamu adalah ciptaan terindah dari Tuhan yang selalu membuat dadaku berdebar.

Bian menegakkan tubuhnya. Ia mengangkat tangannya menginterupsi.
"Bu, saya ijin kekamar mandi. "

Arah pandang Lisa mengikuti Bian yang mulai meninggalkan ruangan kelas. Ia memutar arah pandangnya. Menatap keluar jendela.

Jujur saja, hatinya sangat sakit ketika melihat kedekatan pria itu dengan Rose. Seperti sebuah goresan kecil yang terkena air jeruk. Sedikit, tapi terasa perih.

Mengapa ada kata komitmen didunia ini. Mengapa harus ada kata yang tidak bisa diartikan sebagai kepemilikan. Kata yang akan membuat orang seakan bertanya - tanya. Apa gunanya komitmen jika pada akhirnya tidak ada kepastian.

Lisa memejamkan matanya. Memorinya kembali berputar saat Bian mengatakan tentang komitmen mereka. Seselip pertanyaan muncul diotaknya. Apakah pria itu benar serius padanya?  Atau kah ini hanya sebuah skenario cinta yang dibuatnya.

Lisa menggeleng. Menepis dua kemungkinan yang muncul diotaknya. Fikiran positifnya lebih kuat dari fikiran negatifnya kali ini. Syukur jika masih ada kepercayaan didalam sana. Kepercayaan?  Hal itu mengingatkannya pada kejadian dua tahun lalu. Oh shit!

***

Bian mengusap kasar wajahnya. Tatapan yang Lisa berikan padanya tadi membuat rasa bersalah kembali muncul dalam dirinya. Ia memukul dadanya pelan.
"Lo bisa Bi. Lo gak salah. Ini udah bener, " teguhnya.

Tatapan mata gadis itu terlihat sangat tulus tapi tersimpan rasa sakit dalam tatapan gadis itu. Ia tau jika dia adalah alasan dari rasa sakit itu. Ia sekarang berasa seperti seorang pria pengecut yang menghindari masalah. Bian pengecut!

Bian membasuh wajahnya dengan air. Seakan seperti membasuh rasa bersalah yang ada di fikirannya tadi. Tapi, lagi - lagi gagal. Rasa bersalah itu kembali muncul ketika ia menatap sorotan mata Lisa yang tulus tapi tersimpan sakit didalamnya.

"Sial!" Umpatnya.
Ia menangkupkan tangannya pada wajah. Meredam semuanya dalam tangkupan tangannya.
"Maafin gue Lis. Gue emang berengsek, " lirihnya.

Ia menyadari jika sikapnya kali ini sungguh kekanak - kanakan. Mendekati gadis lain yang tidak tau menahu hanya untuk membuat Lisa menjauh. Pengecut!

Bian pov

Aku tau jika tersimpan luka dibalik sorotan matanya. Apalagi ketika ia melihatku bersama gadis bernama Rose yang akhir - akhir ini dekat denganku. Masih aku ingat ketika dilapangan minggu lalu. Ketika Rose menghampiriku setelah selesai bermain basket. Aku sempat melirik kearahnya. Raut wajah yang tadinya bahagia seketika langsung muram.

REFLECTION [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang