Tiga Puluh Empat

545 42 7
                                    

Jika sudah menjatuhkan hati, jatuhkan juga egomu.

###

Langkah lebar Lisa berhasil memecah ramainya bandara di Milan. Ditanganya masih menggenggam ponsel, mencoba untuk menghubungi ponsel pria itu. Tapi hanya suara operator yang terdengar. Lisa meremas ujung tasnya, ia terus mencoba untuk menghubungi ponsel pria itu.

"Angkat Bi, " lirihnya.
Lisa memejamkan matanya ketika hanya mendengar suara operator kembali.

Sebuah fikiran mengingatkannya pada sosok Bryan. Mungkin ia bisa mencaritahu keberadaan Bian darinya.
"Bry! " Panggilnya diujung telfon.

"Ada apa Lis?  "
"Lo udah dapet kabar dari Bian? " Tanyanya to the point.

"Dia penerbangan ke Milan hari ini. Dan gue belum dapet telfon dari dia. "

Lisa menegang ditempat. Ia bahkan tertabrak oleh orang yang tengah berlalu - lalang disana.
"Kenapa Lis? " Tanya Bryan kembali.

Lisa tidak menjawab pertanyaan yang tertuju padanya itu. Ia langsung menutup telfonnya itu. Sebuah ingat kembali terlintas diotaknya. Ia langsung melanjutkan langkahnya. Apaertemen. Itulah yang ada diotaknya. Bukan karena ingin beristirahat. Melainkan mengingat tentang surat yang selama ini Bian kirimkan padanya.

***
Ratusan surat masih berlapiskan amplop, tersimpan rapi disana. Ia membuka satu persatu surat tersebut.

Surat ketiga ratus satu.
Jika seandainya pertaruhan malam itu tidak terjadi. Masihkah kamu berada disampingku sampai sekarang?

Lisa membuka lembaran surat lainnya kembali. Tulisan tangan rapu Bian masih terdapat disana. Seperti ada sebuah rasa yang mengganjal didalam hatinya. Seperti ada sesuatu yang hilang didalam sana.

Surat kelimaratus duapuluh,
Hari ini aku memohon untuk melakukan penerbangan ke Milan. Dan aku berhasil mendapatkannya. Sampai jumpa di Milan.

Lisa menarik sebuah foto yang ada terselip dibalik surat tersebut. Sebuah tiket hotel tertera disana. Ia tau dimana letak hotel tersebut. Semoga masih ada pemilik tulisan tersebut disana.

Lisa bergegas untuk menemui Bian disana. Ditangannya menggenggam erat tulisan tangan Bian yang berwujud surat.

***

Lisa menegang ketika melihat sebuah punggung tegap berdiri didepan resepsionis hotel. Ia mengenal pimilik punggung itu. Dengan langkah pelan ia berjalan menghampiri seorang pria yang tengah mengobrol dengan resepsionis itu.

Dalam hati, Lisa terus merapalkan permohonannya. Semoga pria itu adalah prianya. Ia menepuk pelan pundak pria itu. Tapi wajah yang ia rindukan bukan yang ia dapatkan. Ia menghela nafas. Setidaknya masih ada kemungkinan jika pria itu ada disini.

Sebuah tepukan dibahu kanannya membuat ia menoleh. Senyuman itu. Senyuman yang sudah lama ia rindukan.
"Kamu ngapain disini? "
Suara itu. Suara yang sangat femiliar ditelinga. Pemilik dari suara yang sangat ia rindukan.

Lisa menarik senyumnya. Pandangannya mulai buram tertutupi oleh air mata yang menggenang. Ia berkedip sekali, membuat genangan air mata itu meluncur dengan indahnya dibalik kelopak matanya.

"Kamu kenapa nangis? " Tanya Bian. Tangan pria itu terulur untuk menghapus jejak air mata Lisa.

Lagi - lagi Lisa hanya menarik senyumnya tanpa berkata sedikitpun. Bian merengkuh kedua bahu Lisa yang mulai bergerak naik - turun. Seirama dengan tangisnya. Bian menarik tubuh Lisa kedalam dekapannya. Memeluk gadis itu dengan erat. Meluapkan segala kerinduannya selama sembilan tahun ini.

"Aku takut, " lirih Lisa.
Bian mengendurkan pelukannya. Menatap kedalam manik mata Lisa.
"Takut apa? " Tanyanya dengan lembut.

"Aku takut kamu beneran pergi ninggalin aku, " Lisa menarik nafasnya. "Kecelakaan itu—kecelakan pesawat itu, " tangisnya mulai menjadi. Bian menarik kembali Lisa kedalam pelukannya. Tangannya mengusap punggung gadis itu pelan.

"Sstt.. Aku ada disini. Didepan kamu. Sedang meluk kamu. Aku tidak akan pergi ninggalin kamu. Itu janji aku, " ucap Bian memastikan.

Bian mengendurkan pelukannya. Mencium kening gadis yang sangat ia rindukan itu.
"Aku sayang sama kamu. "

***

Bian dengan setelan pilotnya kini sudah bersiap untuk melakukan penerbangan. Kali ini ia tidak akan membawa pesawat seperti biasa. Kali ini ia hanya akan membawa helikopter yang ia punya. Tangannya menggenggam sebuah jemari lentik yang pas untuknya. Sesekali ia mengecup sela - sela jari yang terdapat sebuah cincin putih melingkar.

Bian menoleh kearah wanitanya. Bukan lagi gadis, pada faktanya wanitanya yang dulu menjadi gadisnya kini akan berganti menjadi istrinya.

"Aku sayang kamu, Lis. " Ia mengecup tangan Lisa yang digenggamnya.

###

Reflection udah tamat. Ada yang gak suka sama endingnya?  Ketahuilah pada readers. Membuat ending lebih sulit dari pada membuat awal cerita. Terimakasih untuk yang sudah setia menunggu Reflection yang updatenya labil. Semoga kalian suka.

Kudus, 05 Agustus 2018

wlnd0511

REFLECTION [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang