Tiga Puluh

219 33 1
                                    

Sejauh apapun kamu pergi. Selama apapun kamu pergi. Tapi ketika takdir menuliskan namamu untukku. Kamu tidak akan pernah bisa menghindar lagi.

***

Sembilan tahun kemudian.
Semua orang berlalu lalang, berlarian kesana kemari. Mencari sanak saudara mereka yang dirawat dirumah sakit ini.

Seorang dokter muda keluar dari ruang operasi. Dengan rambut yang dikuncir kuda berwarna coklat tua itu. Seirama dengan langkahnya, rambutnya bergerak kekanan dan kekiri. Ia melirik kearah jam tangan yang melingkar dengan indah ditangannya. Pukul sebelas malam. Itu artinya ia sudah berada diruang operasi selama tiga jam.

Ponsel disaku jas kebangaannya itu bergetar.
"Ada apa Muel? " Ucapnya. Sang adik yang menelfonnya kali ini.

"Sudah berapa tahun lo gak pulang kak? Lo gak lupa dimana negara kelahiran lo kan? "

Lisa memutar bola matanya malas. Ia selalu mendapat celotehan dari adiknya itu ketika sang adik menelfon.
"Kenapa? Lo mau titip apa lagi ke gue kali ini? " Tanya Lisa malas. Sudah bisa ditebak oleh Lisa jika menyangkut hal yang satu ini.

"Gak ada. Nenek nyariin lo terus. Udah sembilan tahun lo di Milan. Dan cuma sekali lo pulang ke Indonesia. " Celoteh Samuel ditelfon.

Lisa membenarkan apa yang dikatakan oleh adiknya itu. Memang hanya sekali dalam kurun waktu sembilan tahun ia baru kembali ke negaranya. Itupun karena rengekan dari Samuel saat dia lulus dari sekolah penerbangannya.

Kurang lebih sembilan tahun Lisa pergi dari Indonesia. Setelah kelulusan saat itu, entah karena kepintarannya. Atau hanya sebuah keberuntungan. Salah satu universitas di Milan mengiriminya beasiswa pendidikan jurusan kedokteran. Hingga ia mengambil kesempatan yang sangat langka itu dan memilih untuk pergi meninggalkan semuanya di Indonesia. Semua kenangannya itu.

Lisa mengemasi tasnya, ia akan bersiap - siap untuk kembali ke apartemen miliknya. Ia mengeratkan mantelnya ketika hawa dingin langsung menusuk kulit wajahnya ketika ia baru saja membuka pintu. Langkahnya perlahan mulai meninggalkan rumah sakit tempatnya ia bekerja itu. Lebih tepatnya tiga tahun ia sudah bekerja di rumah sakit itu.

Ponselnya kembali bergetar disaku mantel. Lisa menghela nafas ketika mengamati nama yang tertera disana. Setelah tahu siapa sang penelfon, ia menggeser tombol warna hijau itu.

"Ada apa? " Tanya Lisa pada intinya.

Lisa menghela nafasnya, "sepuluh menit lagi gue sampai. " Ia kembali menyimpan ponselnya itu dalam saku mantel. Udara dingin kembali menerpa kulit wajahnya. Membuat bibirnya hampir membeku jika berlama - lama berada diluar.

Lisa mempercepat langkahnya. Satu belokan lagi ia akan sampai di kafe tempatnya bertemu dengan seseorang ditelfon tadi.

Suara lonceng diatas pintu menjadi saksi kedatangannya. Lisa mengedarkan pandangan mencari sosok itu. Masih dengan kacamata yang bertengger di hidungnya itu membuat ia dengan mudah mengenali sosok itu.

Lisa menarik kursi didepan seseorang itu.
"Ada apa? " Tanya Lisa.
Seseorang itu mengulurkan kopi panas kearah Lisa. Selanjutnya ia mengulurkan sebuah amplop berwarna putih. Sudah bisa ditebak isi amplop itu.

Lisa menyerutup kopi panas itu. Hampir tidak terasa rasa panas di lidahnya. Mungkin efek udara yang sangat dingin malam ini. Ia melirik sekilas kearah amplop putih itu.
"Sembilan ratus sembilan puluh sembilan amplop yang udah lo kasih ke gue. " Ia mengerutup kembali kopinya. "Dan itu membuat apartemen gue seperti tempat sampah. "

"Tapi Lis—"
Lisa memotong ucapan seseorang didepannya itu. "Kalau lo tau apa yang bakal gue lakuin. Jangan lakuin hal yang udah lo tau akhirnya, Bry. " Lisa bangun dari duduknya. Ia melangkahkan kakinya. Tapi kembali tertahan oleh sebuah tangan.

Bryan meletakkan surat itu pada genggaman tangan Lisa.
"Setidaknya bawa surat ini sama lo. "
Lisa melirik kearah tangannya yang menggenggam surat itu.
"Gue besok balik ke Indonesia. " Ucapnya sebelum akhirnya benar - benar melangkah meninggalkan kafe itu.

***

Lisa menghembaskan tubuhnya begitu saja dikasur empuk miliknya. Ia menatap tembok didepannya yang sudah penuh dengan gambar ronsen milik pasien - pasiennya. Tangannya mengangkat tinggi - tinggi surat tang masih ia genggam. Tertulis namanya pada pojok kanan surat itu.

Tidak ada minat sama sekali baginya untuk membaca surat itu. Ia meletakkannya begitu saja pada kotak yang berada dibawah kasurnya. Terdapat tumpukan surat dengan amplop berlainan warna. Ini sudah surat yang ke sembilan ratus sembilan puluh sembilan yang ia terima dalam kurun waktu sembilan tahun. Dan itu adalah surat ke sembilan ratus sembilan puluh sembilan yang belum pernah ia baca sedikitpun.

Lisa beralih pada lemarinya. Membawa barang - barang yang ia perlukan seperlunya. Membawa pergi bersama dirinya kembali ke tanah kelahirannya. Ia meraih pasport miliknya dan memasukkannya pada tas. Ini adalah kedua kalinya ia pulang dalam kurun waktu sembilan tahun di Milan.

***

Lisa menyeret koper hitam miliknya yang penuh dengan stiker. Di bahunya terdapat tas selempang miliknya. Tangannya sedari tadi terus mencoba untuk menelfon sang adik. Tapi sama sekali tidak ada balasan dari adiknya itu. Lisa terus merapalkan umpatan demi umpatan untuk adiknya yang kini sudah mulai dewasa itu.

Seseorang berdiri dihadapan Lisa dengan senyuman yang langsung ia kenali. Ia membalas senyuman pria bertubuh jangkung itu dengan tatapan sinis. Ia kemudian mendorong koper miliknya kearah pria itu dengan kesal. Berjalan mendahului pria itu.

"Gue telfon gak diangkat - angkat. Lo bikin gue dongkol dipertemuan pertama kita! " Umpat Lisa. Ia menghentikan langkahnya ketika tidak mendengar langkah kaki dibelakangnya. Ia menoleh. Benar sekali, Samuel tidak ada dibelakangnya.

"Sialan! " Ia mengumpat ketika melihat sang adik sedang mengobrol dengan seorang pria berpakaian pilot. Lisa mendengus, ia melangkahkan kaki dengan jengkelnya menghampiri Samuel.

"Samuel! " Teriak Lisa. Kedua orang yang tengah bercengkrama itu menoleh kearahnya. Pria yang tengah mengobrol dengan adiknya kini memasang wajah tegang. Tidak memperdulikan itu, Lisa melanjutkan langkah menuju adiknya. Menyeret tangan adiknya itu untuk mengikutinya.

"Lisa? "
Merasa ada yang memanggil namanya, ia menoleh. Ia menautkan alisnya kearah pria bersetelan pilot itu.
"Siapa? " Tanya Lisa kembali.

Pria itu menarik senyumnya. Senyum yang cukup familiar diotaknya. Seperti pernah mengenal, tapi sulit untuk diingat.
"Sembilan tahun terlalu cepat untuk melupakan kenangan yang hanya sesaat. "

Lisa menegang ketika mendengar pernyataan pria itu. Mungkinkah?  Ia melirik kearah seragam pria itu. Mencari bet nama yang tertera disana. Bian Inova D.

Setelah mendapat jawabannya itu, ia kembali menyeret adiknya untuk meninggalkan tempat itu. Bertemu dengan seorang Bian ditempat seperti ini?  Sungguh tidak masuk akal. Tidak pernah sekalipun Bryan memberitahunya tentang profesi kakaknya itu. Hanya satu yang selalu Bryan katakan padanya. Bian masih mencintainya.

REFLECTION [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang