Limabelas

223 36 4
                                        

Bi. Aku ada di Indonesia. Bisa kita ketemu?

Sebuah pesan yang kemarin Bian terima membuat ia tak bisa tidur malam ini. Padahal ini sudah hampir tengah malam. Ia membaringkan tubuhnya dengan siku sebagai bantalannya. Menatap langit - langit kamarnya.

"Kenapa lo datang disaat gue udah mulai lupain lo, " lirihnya.
Ia memejamkan matanya. Tidak ada yang berubah. Masih tetap terjaga. Seakan matanya itu sudah diprogram untuk tidak tidur malam ini.

Kenangan pahit - pahit itu kembali berputar difikirkan Bian. Satu tahun yang lalu ketika gadis yang ia cintai meninggalkannya dengan alasan yang sangat konyol. Cinta, seorang gadis yang sudah membuat Bian berubah menjadi berandalan sejak sepeninggalannya. Bukan meninggal dunia, melainkan meninggal dari kehidupan Bian.

Masih dapat Bian ingat jelas, betapa hangatnya tangan gadis itu ketika menggenggam jemarinya untuk terakhir kali. Masih dapat ia ingat, ketika senyuman gadis itu nampak tulus telontar padanya. Juga masih ingat jelas perkataan gadis itu yang membuatnya seperti ini sekarang.

Flashback on

Bian menggenggam erat tangan wanita yang ia sayang setelah ibunya. Tangan yang selalu menyalurkan kehangatan padanya. Dapat ia lihat dengan jelas mata gadis didepannya itu berbinar.

"Bi, kamu percaya kan sama aku? " Tanya Cinta, nama gadis itu.
Dengan mantap ia mengangguk.
Setetes air mata jatuh dari pelupuk gadis itu. Membuat Bian mengernyit keheranan. Tangan besarnya menyapu air bening yang dapat membuat hatinya ngilu ketika melihatnya.

"Kamu kenapa nangis?  Kamu cuma bakal pergi satu minggu kan? " Tanya Bian memastikan.
Setetes air mata kembali jatuh. Tapi belum sempat Bian menghapusnya, Cinta sudah menepis tangan pria kesayangannya itu.

Dengan susah payah gadis itu tersenyum. Tangannya terulur untuk mengusap pipi laki - lakinya.
"Kita sudah berapa lama bersama? " Tanya gadis itu dengan suara lembutnya.

Bian sejenak berfikir hingga sebuah jawaban muncul diotaknya, "lima tahun bulan depan. "
Gadis itu mengangguk, "kamu ingat gak kata pepatah. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. "
Ucapan dari gadisnya itu membuat ia menegang. Ia meraih tangan Cinta yang ada dipipinya.

"Maksud kamu apa? " Sebuah pertanyaan terlontar dari bibir Bian.
Tetesan air mata gadis itu semakin deras. Tapi ia segera menghapusnya sengan satu tangannya yang lepas.
"Aku dijodohkan dengan rekan kerja ayah, " ia menarik nafas sejenak, "dan aku juga harus pindah ke Australia. Mungkin tidak akan kembali lagi. "

Bian membelalakan matanya. Ia melepaskan genggamannya pada tangan gadis itu.
"Jadi ini alasan kamu nyuruh aku buat datang kebandara pagi - pagi, " Bian menarik senyuman sinisnya, "dan bahkan kamu tidak tau kapan kamu pulang. " Ia tersenyum meremehkan dirinya sendiri.

"Lalu kamu anggap apa aku selama ini,  Cin? " Ia menaikkan satu oktaf lagi suaranya. Ini adalah pertama kalinya ia berbicara cukup keras pada Cinta, gadis yang ia sayangi.

Mata gadis itu semakin berkaca - kaca.
"Maafkan aku, Bi. Ayah aku memerlukan aku untuk menolong perusahaannya yang hampir bangkrut. Dan ini adalah satu - satunya cara yang ada. "

Bian menyeringai menatap gadis didepannya, "dia menjual anaknya untuk menyelamatkan bisnisnya? Bagaimana jika aku membelimu. Apa kau akan meninggal pria itu?! "
Plak!  Sebuah tamparan diwajah tampannya ia terima. Bian masih tersenyum remeh.

"Aku gak nyangka fikiran kamu begitu buruk sama ayah aku, " ucap Cinta dengan nada kecewanya.
Tidak ada balasan dari Bian. Ia masih memegangi pipinya bekas tamparan dari mantan kekasihnya itu. Tidak ada kata putus atau berakhir yang terucap. Tapi pernyataan Cinta tadi sudah memiliki arti jika hubungan mereka telah berakhir.

Bian berbalik. Meninggalkan gadis itu. Mantan kekasihnya. Gadis pertama yang telah berhasil meluluhkan hatinya yang beku. Yang kini sudah meninggalkannya.

Flashback off

***

Lisa berjalan dengan santainya ketika memasuki gerbang sekolahnya. Ia mengumpat ketika melihat motor Bian melaluinya begitu saja.
"Sial! Bikin masalah aja tuh anak, " umpatnya.

"Oii.. Kenapa nih udah ngumpat aja pagi - pagi, " celetuk seseorang dari belakang Lisa.
"Apaan sih Bry. Itu tuh si kampret, bikin masalah mulu sama gue. "
Bryan mengikuti arah pandang Lisa.
Kayaknya gue kenal sama itu motor deh.

"Udah gak usah ngumpat kayak gitu. Ayo masuk, " ajaknya.
Lisa menghela nafasnya, sebelum akhirnya mengikuti Bryan dari belakang.

Setibanya dikelas, Lisa langsung menempati tempat duduknya. Ia sempat melirik ketempat duduk Bian yang berada disampingnya masih kosong. Baru saja ia menyendenkan tubuhnya pada senderan kursinya, ponselnya bergetar.

Temuin gue ditempat biasa.

BIAN

Lisa menghela nafasnya, "siapa dia! Nyuruh - nyuruh gue seenaknya. "
Ponselnya kembali bergetar, sebuah pangilan masuk dari Bian.

"Temuin gue diatap sekarang. Gue butuh lo, Lis." pinta Bian diujung telfon.

Lisa mengernyitkan dahinya ketika mendengar suara Bian yang terdengar berat.
Apa sesuatu terjadi sama dia?
Ia langsung menutup telfonnya. Entah kenapa tubuh dan hatinya tidak sepihak kali ini. Hatinya berkata untuk menemui pria itu. Tapi tubuhnya menolak hal itu.

Lisa menghentikan langkahnya ketika akan membuka pintu yang menuju keatap. Ia menghela nafas, "semoga pilihan gue benar. "

Hal pertama yang ia lihat adalah Bian yang tengah menyembunyikan wajahnya dibalik lekukan lututnya. Punggung pria itu naik turun seirama dengan nafasnya. Lisa meneguhkan diri untuk berjalan mendekati pria itu. Ia mengambil duduk disamping Bian. Tak lama pria itu mengangkat kepalanya karena menyadari keberadaan Lisa.

"Lo datang ternyata, " lirih pria itu. Suara yang Lisa dengar bukan suara Bian yang biasanya. Suara itu terdengar lebih berat seperti sedang ada masalah yang dialami pria itu. Bian mengembangkan senyumannya. Bukan senyum konyol yang biasa Lisa lihat. Melainkan senyuman seperti menahan sakit.

"Kenapa? " Tanya Lisa.
Pria itu mengubah posisinya. Ia meluruskan salah satu kakinya, kaki lainnya ia tekuk. Kedua tangannya ia gunakan untuk menopang tubuhnya dari belakang.

"Lo pernah sakit karena cinta gak Lis?"
Lisa menoleh, ia baru menyadari jika ada lingkaran hitam dibawah mata pria itu. Bian terlihat sangat buruk hari ini.

"Setiap orang pasti pernah Bi, " jawabnya.
Bian menghela nafasnya, ia memutar pandangan kearah Lisa.
"Kalau ditinggalin orang yang lo cinta? " Tanyanya lagi.

Lisa terdiam sejenak, sebelum ia menjawab. "Gue emang gak pernah ngerasain itu. Tapi gue pernah ngerasain sakitnya dikhianati. "

Bian menatap Lisa sangat intens. Ia baru menyadari jika gadis itu memiliki bola mata yang indah. Lisa mengerjapkan matanya ketika tatapan mereka bertemu. Ia segera mengalihkan pandangannya menuju kearah lain. Setidaknya jangan Bian.
Jangan tatap gue kayak gitu, Bian tolol!

Lisa berdiri dari duduknya. Ia membersihkan roknya yang kotor karena debu. Sebelum akhirnya pergi. Tapi tangannya tertahan oleh Bian. Pria tu masih dalan posisinya. Menatap Lisa dengan tatapan sendunya.
"Makasih udah mau datang. "
Lisa melepaskan genggaman tangan Bian padanya secara perlahan. Ia mengangguk, menanggapi ucapan pria itu.

"Jangan lupa akhir pekan kita jalan. " Ucap Bian sebelum gadis itu benar - benar pergi.

———
Selamat malam. Maaf telat update. Author sudah kehabisan ide tadi. Dan baru dapet ini. Selamat membaca ya. Maaf kalau banyak typo.
Jangan lupa vote + comment.

Kudus,  21 Juni 2018

Wlnd0511

REFLECTION [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang