Tiga Puluh Satu

208 32 0
                                    

Lisa sedari tadi masih mondar - mandir didepan adiknya dengan bibir yang terus berkomat - kamit. Samuel menatap kakaknya itu dengan jengah. Sudah tiga puluh menit ia melihat kakaknya yang terus merutuki dirinya itu.

Lisa menghentikan langkah didepan Samuel yang tengah duduk bersila dikasur miliknya.
"Kenapa lo gak bilang kalau dia itu pilot! "

Samuel mengubah posisinya, menjadikan kedua tangannya sebagai tumpuan tubuhnya dibelakang.
"Gue kira lo udah gak peduli lagi sama dia. Setelah kepergian lo itu. " Jawab Samuel enteng.

Lisa membenarkan ucapan adiknya itu. Memang seharusnya seperti itu. Tapi kenapa bertemu dengan Bian untuk pertama kalinya setelah sembilan tahun membuat ia melupakan akan hal itu.

Lisa mengambil duduk disamping adiknya itu.
"Lo tau gak, " Samuel menjeda ucapannya. "Gak. " Jawab Lisa singkat.

"Dengerin gue kocak! "
Lisa mendengus, ia menoleh kearah adiknya itu, "apa?!"

"Semenjak kepergian lo dulu. Hampir setiap akhir pekan dia kesini, " jelas Samuel. Lisa menoleh kearah adiknya itu. Menyari sebuah kebohongan dari sorot mata Samuel. Tapi tidak ada.
"Gue gak bohong kocak! " Ucap Samuel tak terima.

Lisa mengalihkan pandangannya pada dinding didepannya, menatap lurus kearah sana.
"Dia selalu kesini. Dengan segala perubahan yang ia bawa. Dia juga selalu nitipin setangkai bunga mawar putih setiap dia datang. Ada surat yang tergantung disana, tapi belum pernah sekalipun gue baca. " Jelas Samuel.

Lisa menoleh kearah adiknya, "lalu bunganya?  Masih lo simpen? " Tanya Lisa penasaran.
Mata Samuel menyipit kearah kakaknya itu. "Lo masih mau tau soal dia? "

"Bukan kayak gitu! " Elak Lisa. "Gue cuma pengen tau aja. "
Samuel mendengus, ia menunjuk sebuah kotak besar dibawah meja rias kakaknya. "Gue taruh disana. "

Lisa segera mengambil kotak besar itu. Benar perkataan Samuel tadi. Ratusan bunga mawar putih yang sudah mengering terkumpul disana. Dengan secarik kertas yang menggantung pada pada setiap tangkainya. Lisa mengambil satu tangkai disana, membaca surat yang menggantung disana.

Ini adalah bunga yang ketiga puluh. Dan aku masih berharap hal yang sama. Tolong maafkan aku.

Seperti ada sebuah rasa sakit yang ia rasakan didada. Seperti ada yang menggenggam hatinya. Meremasnya dengan kuat. Tangannya bahkan mulai bergetar, seakan tidak kuat untuk menahan berat bunga yang sudah mengering itu.

"Kenapa?  Lo sakit hati lagi? " Tanya Samuel yang kini sudah berdiri dibelakangnya.
Lisa menatap kearah tulisan rapi Bian disana. "Bukan. Ini terasa seperti gue ngelakuin sebuah kesalahan. " Jelas Lisa.

Tangan Samuel terulur untuk memegang pundak Lisa. Meremasnya pelan, menyalurkan kekuatan pada kakaknya itu.
"Gue salah Muel? " Tanya Lisa.

Samuel menyamakan tinggi tubuhnya dengan Lisa. Menepuk pelan pundak kakaknya itu.
"Lo gak salah. Selama apa yang lo lakuin itu benar menurut hati kecil lo."

"Tapi kenapa hati gue malah sakit ketika mengingat hal itu kembali? Ketika semua orang dengan mudahnya melupakan orang yang dulu pernah ia cintai, kenapa gue enggak? Kenapa Muel? "

***

Bian membuka kancing lengan kemejanya. Menggulungnya tinggi hingga sebatas siku. Menyulut rokok yang sudah ia sumpal diantara bibirnya itu. Menghisapnya pelan lalu dihembuskannya diudara. Ia menatap lampu - lampu kota dibawahnya itu yang ramai padat. Ia tengah berada pada atap gedung apartemennya. Lebih tepatnya satu lantai diatas kamar apartemennya. Ia memang memilih membeli unit lantai atas, karena ia menyukai ketenangan ketika berada diatas.

Ditangannya ia menggenggam setangkai bunga mawar putih. Bunga yang tadi ingin ia berikan pada gadis yang masih menjadi penghuni hatinya itu.

"Kapan lo bakal maafin gue Lis? " Lirihnya.
Ponsel disakunya kembali bergetar. Ia menggeser tombol warna hijau itu dan setelah itu terdengar suara sang penelfon.

"Jangan lupa besok anda ada penerbangan ke Milan. "
Bian memijat pelipisnya.
"Saya ingat. Terimakasih sudah mengingatkan. " Ia segera menutup telfon itu.

Sudah lama ia mencari penerbangan menuju Milan. Hingga akhirnya ia mendapatkannya sekarang. Dan kenapa baru sekarang. Ketika gadis yang menjadi alasannya untuk melakukan penerbangan ke Milan itu kini sudah kembali.

"Sepertinya waktu memang tidak memihak sama kita, Lis. " Ia mematikan putung rokok itu dan meninggalkannya begitu saja disana.

***

"Bisa kamu terima ini? " Pinta Bian.
Lisa menatap setangai bunga yang Bian ulurkan padanya. Benar kata Samuel, jika pria itu selalu mengiriminya bunga. Diakhir pekan pagi ini. Lisa menatap pria yang kini berdiri didepannya dengan setelan rapi khas pilot.

Bian mengambil tangan kanan Lisa. Membuat gadis itu menggenggam bunga yang ia bawa tadi.
"Aku akan melakukan penerbangan ke Milan. Awalnya aku berharap jika bertemu kamu disana. Tapi aku malah bertemu kamu disini, " ia menarik senyumnya.

"Aku pamit. "
Lisa menatap punggung Bian yang mulai menjauh. Menghilang dibalik pintu mobilnya yang kembali tertutup.

"Setidaknya lo bisa melanjutkan hidup lo setelah kepergian gue. "

Tangan lisa terulur untuk membuka kertas yang tergantung disana. Tenggorokannya terceket ketika membaca goresan tinta disana. Apa maksud dari kalimat yang Bian tulis itu.

###

Ehemm.. Halo.. Siapa nih yang nunggu Reflection update? 
Bentar lagi Reflection bakal tamat. Dan gak ada lagi couple bernama BinLis. Tapi semoga couple itu bakal berkesan buat kalian. Terutama author yang selalu mengkhayal tentang Bian yang menjadi kenyataan. Jangan lupa tinggalkan jejak ya.. Terimakasih.


Kudus, 28 Juli 2018

wlnd0511

REFLECTION [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang