Tiffany memijat keningnya yang berdenyut sedari tadi. Sekilas matanya melirik kearah jam dinding yang menggantung, pantas, sudah pukul 8 malam. Itu artinya dia sudah menghabiskan kurang lebih tujuh jam untuk memeriksa lembaran-lembaran tugas yang ditujukan padanya. Begitu banyak, sampai mengalihkan fokusnya. Dia bekerja keras mulai dari selepas jam makan siang hingga malam datang. Tiffany bisa saja bersantai dan menunda untuk menyelesaikannya, tapi dia tidak akan tega, ada banyak jiwa yang menggantungkan masa depan pada keputusan yang akan dia ambil. Meluluskan seseorang bukan perkara yang mudah.
Dengan sisa tenaga yang tersisa, Tiffany menyunggingkan senyumnya saat tumpukan kertas terakhir selesai ia periksa. Tangannya perlahan meletakkan bundle kertas terakhir itu pada meja kerja, dan sirnalah senyum yang terukir diwajahnya. Aneh. Harusnya dia senangkan? Tapi entah kenapa hatinya malah gusar, dari sekian banyak tumpukan kertas yang ada di meja kerjanya, tidak ada kertas yang bertuliskan nama seseorang yang biasanya membuat onar. Tidak ada kertas yang berisi bahan lawakan, tidak ada kertas yang dipenuhi dengan gombalan murahan. Tidak ada, sejak tiga bulan yang lalu.
Selaras dengan menghilangnya kertas yang penuh hiburan, orang yang biasanya menyapa Tiffany dengan penuh rasa riang pun menghilang. Raib entah kemana. Tidak ada berbekas, tak ada jejak.
Sekarang Tiffany bertanya-tanya, apa warna rambut orang itu, karena biasanya orang itu akan mengganti warnanya tiap satu bulan sekali. Mungkin. Sebab dari yang Tiffany perhatikan, warna rambutnya akan selalu berbeda, tak pernah sama, disetiap mereka berjumpa.
*
Tiffany menarik napasnya, udara dingin menyusup kedalam rongga dadanya. Dengan penuh keterpaksaan tangannya masih terus erat memegang payung, kakinya terus berjalan menembus guyuran hujan.
Tiffany tak suka hujan, selain membuat basah, hujan akan membuat jalanan mendadak sepi, dan sepi akan membuat Tiffany begitu gampang teringat pada kenangan yang ingin dia lupakan. Tentang kehilangan orang-orang yang dia sayang. Bertahun yang lalu, dibawah hujan, orangtua Tiffany meninggal dalam kecelakaan.
"Melamun? " Tiffany terkejut saat satu suara mendadak menyapa telinganya, tiba-tiba saja ada yang berjalan beriringan dengannya.
"Taeyeon? "
"Ne."
Tiffany reflek memukul bahu orang yang berjalan disebelahnya. "Kau seperti hantu. " Tiffany berujar sembari tertawa kecil. Rasa nyaman menjalari hatinya.
"Karena muncul tiba-tiba? " Taeyeon menaikkan satu alisnya.
"Iya. Dan juga apa-apaan dengan semua luka ini? " Tiffany menunjuk sisi pipi, kening, dan sudut bibir Taeyeon yang terlihat lecet dan mengeluarkan noda merah. "Kenapa lagi kali ini? Jangan beri alasan jatuh atau terpeleset. Saya tidak suka dengan jawaban yang kurang logis dan tidak memuaskan. "
"Uuu.. ada yang ingin dipuaskan ternyata, " Taeyeon menatap intens wajah Tiffany, sebuah seringai terukir di wajahnya.
"Apa lihat-lihat ! " Tiffany menaikkan nada bicaranya, risih ditatapi oleh Taeyeon.
Taeyeon menggeleng, "Tidak apa-apa. Saya cuma senang ternyata Miss baik-baik saja."
"Ck, terdengar seperti kata-kata terakhir orang yang akan segera pergi saja. " Tiffany membuat gerakan memutar dengan matanya.
"Oh, sudah sampai. " Kata Taeyeon sambil menunjuk mobil SUV putih milik Tiffany. "Hati-hati di jalan Miss. " Taeyeon melambaikan tangannya saat melihat Tiffany mulai memasuki mobil.
Tiffany menurunkan kaca jendela mobilnya, kepalanya melongok keluar untuk kembali melihat Taeyeon yang masih berdiri disamping mobilnya. Hoodie kebesaran, celana jeans robek dan rambut berwarna silver ombre. Taeyeon memang yang terbaik dalam style urakan.