30. It's about Layla and Chun

588 36 44
                                    

Sebuah mobil Audi bernama hitam masuk menuju parkiran, tentunya setelah membayar karcis. Setelah terparkir, mobil pun berhenti dan mesinnya dimatikan. Lalu, keluar seorang Nenek dengan pakaian kerja berwarna krem dengan tas prada berwarna senada yang tengah menggantung manja di tangannya.

Ia berjalan menjauhi mobilnya disusul Bodyguardnya, sementara sang supir tetap di mobil untuk bersantai, menunggu sang Nenek selama berada di rumah sakit. Dengan langkah tegap yang mencerminkan ketegasan, keseriusan, dan kewibawaan, ia memasuki lobi rumah sakit dan membuka pintu.

Ia terus berjalan, peduli setan dengan orang-orang yang antara melihatnya dan tidak. Melihat karena dari mereka ada yang bisik-bisik, dan tidak melihat karena nyatanya mereka memang tidak melihat.

"Eh, bukannya itu Presedir Ma, yang punya kedai Tteokboki di Kota Daedo bernama Grandma Tteokbokki?"
"Ya, beliau juga orang yang suka tampil di acara televisi bahkan di berita-berita juga."

"Ya, kau benar. Tetapi, beliau jauh-jauh datang dari Busan ke rumah sakit ini untuk apa?"
"Entah. Mungkin berobat."

"Kabarnya dia punya mansion di sini dan kantor cabangnya juga ada yang di sini, loh."
"Benarkah?"
"Huum."
"Wah."

Begitulah isi bisikan yang mereka ucapkan. Nenek Ma memilih tidak peduli dan terus berjalan, walau ia akui telinganya sedikit panas.

'Dasar kaum rendah! Bisanya hanya menggosip saja!'

Mungkin orang lain akan merasa senang ketika dirinya dikenal dan dibicarakan banyak orang, apalagi kalau dirinya adalah selebritis ternama plus idola. Diajak selfie? Minta tanda tangan? Mengajak ngobrol?

Tetapi, itu tidak berlaku untuk seorang nenek bernama Ma. Meskipun dirinya dikenal banyak orang karena reputasinya, dan seperti yang mereka katakan bahwa dirinya sering wara wiri di acara televisi dan berita, baik media cetak maupun media elektronik, nyatanya dirinya tidak suka dibicarakan. Apalagi secara langsung seperti ini, meski suara mereka pelan karena bisik-bisik.

Ia lebih senang orang-orang biasa saja padanya. Seolah menganggap ia tidak ada, atau seolah ia orang biasa saja. Kecuali mereka ada di ranah kekuasaannya (di kantornya, di kedai, dan lain-lain), baru mereka harus bersikap lebih sopan lagi (tata krama dipakai).

Tetapi, ia tidak akan sampai hati menghardik lalu berorasi di depan mereka karena memarahi bahkan memaki mereka. Itu suatu tindakan tidak berkelas baginya. Lagipula, meladeni kaum menengah ke bawah tidak ada dalam kamus hidupnya. Jadi, ia lebih memilih diam, berdehem, atau menatap tajam ke arah mereka tanda mereka harus diam. Seperti yang ia lakukan sekarang di mana ia berdehem lalu melanjutkan perjalanan.

Tanpa ia sadari, di sampingnya lewatlah seorang gadis berambut pink dengan jepit pita berwarna kuning di rambut sebelah kirinya. Di sampingnya ada seorang pria bertopi merah terbalik yang menggendong seorang anak kecil dengan ingus yang masih meler. Di samping pria itu ada seorang pria berambut hijau tua dengan jaket kulit berwarna cokelat muda.

Nenek Ma masih dengan wajah datarnya, sementara gadis itu-sebut saja Dolly, yang berjalan begitu saja, tampak sendu dan wajahnya sembab karena habis menangis.

Tetapi, tiba-tiba Dolly berhenti berjalan. Ia terpana lalu menoleh. Ia merasa sosok nenek yang melintas di sampingnya tadi tidaklah asing.

"Eh?"

Sosok itu sudah tidak ada. Ia celingukan ke kiri dan ke kanan. Namun tidak menemukannya.

Menyadari Dolly tidak di sampingnya membuat Nathan- pria bertopi merah terbalik itu, terkejut.

"Dolly?"

Ia menoleh ke kanan bahkan berbalik. Hal ini membuat Suho- pria berambut hijau itu, berhenti berjalan lalu menoleh dan berbalik, karena ia berada agak jauh di depan Nathan.

Five Loves for My SonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang