Bagian Tujuh: Ternyata...
Bel istirahat sudah berbunyi. Dan aku, segera saja melangkahkan kakiku menuju kantin. Siang ini, Sayla absen tidak ikut denganku ke kantin karena mesti mengembalikan buku yang beberapa hari ia pinjam ke perpustakaan. Maka dari itu, kini aku harus berjalan sendirian menuju kantin.
Sebenarnya, aku sudah terbiasa sendiri. Sangat terbiasa. Tapi karena kejadian kemarin, aku menjadi canggung dan risih bila berjalan sendirian di sekolah ini. Rasanya seperti, semua murid tengah menatapku dengan benar-benar mendetail. Seperti mereka tengah menilaiku dari berbagai sudut. Mencari celah dan kelemahanku hingga membuatku serasa ditelanjangi di depan khalayak umum hingga aku merasa malu.
Tak lama aku melangkah, aku melihat Alvian tengah bersandar di dinding dan fokus menatap lapangan. Tanpa sadar, aku mengikuti arah pandangnya yang ternyata terpaku pada sesosok gadis yang tengah men-dribble bola basket dan merupakan kakak kelasku. Aku tidak tau siapa dia? Tapi, aku tau kelasnya. Itu karena saat ini, ia tengah memakai baju kelasnya. Sama seperti teman-temannya yang lain.
Dengan ragu, aku pun kemudian memanggilnya, "Alvian?"
Sepertinya, ia merasa terpanggil hingga ia pun segera berdiri tegak dan mengalihkan pandangannya padaku yang hanya berjarak beberapa langkah lagi di hadapannya.
"Eh, elo," jawabnya dengan nada lemas. "Kenapa? Kecewa karena ternyata gue yang manggil elo?" tanyaku sedikit terkekeh.
"Enggak! Apaan, sih?!" elaknya. Aku menghiraukannya dan malah kembali bertanya, "Lagi liatin siapa, Al? Anak cewek kelas IS-3 itu, ya?" Aku menujuk sesosok gadis yang kini tengah sibuk berlari-lari ria mengejar bola di tengah lapangan basket.
"Apa, sih?! Enggak!" serunya kesal hingga membuatnya berbalik arah dan berjalan mendahuluiku. Dengan cekatan, aku kemudian mengejarnya dan menangkap lengan atasnya hingga ia terhenti seketika. Ia berbalik dan menatapku. "Anter gue ke kantiiin," rajukku secara tiba-tiba. Lengkap dengan puppy eyes andalanku. Aku bahkan tak menyangka akan merajuk seperti ini pada Alvian.
Dengan menghembuskan nafas kesalnya, ia menarikku ke dalam dekapannya. "Cuma mau minta anterin ke kantin aja mesti buat gue kesel dulu," dumalnya yang hanya kutanggapi dengan cengiran tak bersalah.
***
Tiga hari dekat dengan Alvian membuatku sadar bahwa ia adalah sosok lelaki yang baik--walau punya banyak modus. Dan sambil mengunyah mie bakso milikku, aku mulai bertanya-tanya tentang dirinya.
"Jadi, lo udah punya berapa pacar hari ini?"
"Belum ada," jawabnya sesudah ia meminum teh botolnya.
"Seriusan?!" seruku tak percaya. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya, mencoba meyakinkanku. "Gue emang belum punya pacar sampai hari dan detik ini juga. Kecualiii, kalo lo mau jadi pacar gue," jawabnya dengan kerlingan jail di matanya yang membuatku memutarkan kedua bola mataku jengah. Aku benar 'kan saat bilang kalau dia itu punya banyak modus?
"Kalo mantan pacar? Pasti punya, 'kan?" tanyaku lagi menghiraukan ucapannya. "Gak punya juga."
"Hah?! Seriusan! Masa cowok kayak lo gak punya mantan, sih?!" seruku kembali tak percaya.
"Emang menurut lo, gue cowok yang kayak gimana?" tanyanya seketika yang membuatku salah tingkah.
"Yaa, yang kayak gini! Lo itu 'kan most wanted di sini. Lo bahkan udah dianggep pacar sama semua cewek di sini. Masa lo gak punya mantan, sih?!" jawabku sedikit gugup. Ia terkekeh mendengarnya.
"Gue emang belum pernah pacaran sampai detik ini. Makanya, gue gak punya mantan. Gue cuma deket sama cewek mana aja yang gue mau. Tanpa status dan gue tinggalin gitu aja di saat gue bosen. Tapi, yaa, gitu. Namanya juga cewek, hiperbola. Berlebihan. Gue gak nembak, gak juga mutusin, ngakunya gue mantannya dia. Padahal, gue merasa pacaran sama dia aja enggak! Cuma deket doang," jawabnya yang membuatku menatapnya tajam.
![](https://img.wattpad.com/cover/118521119-288-k674927.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha ✔
Fiksi Remaja[NOVEL] | Audi Marissa Nasution hanyalah gadis enam belas tahun biasa yang sangat perfeksionis dan ambisius--juga sedikit diktator. Keinginannya simpel. Dia hanya ingin diterima di SMA Nusa Bangsa. SMA nomor satu di kotanya. Dan ia berhasil. Good lu...