Bagian Dua Puluh Sembilan: Ini Semua Tentang Keberanian dan Harga Diri.
Ryan sudah bisa masuk sekolah sebulan kemudian walau masih harus berjalan menggunakan kruk. Dan untuk Alvian, itu artinya ia harus segera mengakui perasaannya kepada Gia. Gebetannya sejak masih di SMP.
Aah, aku tidak tahu bahwa kehidupan SMA-ku akan serumit ini. Tapi, aku tidak akan mengelak bahwa aku mensyukurinya juga. Karena itulah aku bisa menjadi kekasih Ryan, bukan?
Dan hari ini, aku memutuskan untuk berangkat bersama Ryan. Yaa, sekadar untuk berjaga-jaga. Karena itu, aku harus berangkat lebih pagi dari biasanya dan menjemput Ryan di rumahnya.
Kami berdua berangkat bersama dengan menggunakan motor pink Ryan. Bedanya, kini akulah yang memboncengnya. Aku bahkan mengeluarkan sendiri motor milik Kak Ayla itu dari garasi.
Dari sini, aku mengetahui bahwa motor miliknya ialah ninja hitam yang dipakainya saat balapan waktu itu dan kini tengah dalam masa pemulihan.
Masa pemulihan di sini maksudnya adalah masa penyitaan.
Yaa, motornya tercinta itu—yang dia beri nama Wacky—kini tengah disita oleh ayahnya semenjak tragedi malam itu. Entah sampai kapan. Bahkan keadaan motor itu masih sama seperti bekas kecelakaan kemarin. Belum dibetulkan sama sekali.
Akhirnya, kami sampai di kelas saat kelas masih kosong pagi itu. Dan itu tidak berarti apa-apa bagi kami. Sebelum aku menuju bangkuku, aku membuka resleting tas dan mengambil satu kotak bekal. Kusodorkan bekal itu pada Ryan yang dibalas dengan kernyitan di dahi.
"Sarapan," ucapku yang mengerti maksudnya. Tanpa banyak tanya, ia pun mengambil kotak bekal itu dan segera menuju bangkunya.
"Hai, Audi!" sapa Sayla riang padaku ketika ia memasuki kelas. Aku menengok padanya lalu menengok sekilas pada Ryan yang duduk di samping kananku sekilas. Ryan tidak memperhatikan lirikanku. Mungkin, itu karena dia sedang sibuk memakan bekal sarapan yang kuberikan tadi.
"Hai juga, Say! Lo gak nyapa Ryan juga?" tanyaku sambil menatapnya yang masih berada di depan kelas. Ia menggedikkan bahunya acuh dan melangkah menuju bangkunya. "Males, ah! Lagian, dia mah kayak yang gak ngakuin gue!"
"Heh! Siapa yang gak ngakuin elo?!" seru Ryan sedikit kesal begitu mendengar balasan Sayla. Aku menoleh pelan padanya. "Elo," jawab Sayla ketus.
"Kata siapa?" Ryan balas bertanya. "Loh? Emang dari kita SMP juga gitu, kok! Lo bahkan gak pernah sama sekali nyapa gue!" sewot Sayla. Aku terdiam di tengah perdebatan mereka. Tapi tak ayal, aku menyimaknya juga.
"Gue bukannya gak pernah nganggap lo, Say! Gue emang takut aja lo dimanfaatin sama anak-anak kalo mereka tau lo itu sodara gue," jelas Ryan melembut. "Alah! Alibi!" cibir Sayla.
"Yeh ... dibilangin. Gue beneran kali, Say! Lo gak percayaan banget sama gue!"
"Percaya sama lo tuh musyrik, tau?!" Sayla kembali menjawab dengan memeletkan lidahnya pada Ryan.
"Terus emangnya, kalo gue ngakuin elo, lo mau apa? Yang ada, lo malah dimanfaatin nantinya. Lo mau?" jelas Ryan lagi. Kali ini, Sayla menundukkan kepalanya.
"Yaa, enggak, sih! Tapi, gue merasa nothing aja gitu di mata elo. Gue ngerasa dipermainkan. Kita itu nyatanya dekeet banget. Banget dan banget! Tapi itu cuma pas kita di luar sekolah aja. Kalo di sekolah, kita lebih kayak orang yang gak saling kenal," curhat Sayla. Ryan menghela nafasnya.
"Sekarang gak bakal kayak gitu lagi. 'Kan sekarang status lo di sekolah udah naik. Jadi, 'temen pacar gue'!"
Sayla menghembuskan nafasnya pelan namun kemudian ia tertawa pelan mendengar ucapan Ryan.
Kali ini, aku kembali bertanya-tanya tentang kondisi Sayla yang terlihat aneh di mataku dalam hati.
***
"Heh!" panggil Ryan yang berjalan di sampingku pada Alvian yang tengah bersandar di tembok koridor sembari menatap lapangan basket. Lagi.
Alvian menengok Ryan sekilas sebelum kembali fokus ke lapangan basket. "Udah siap?" tanya Ryan. Alvian terdiam. Terlihat enggan untuk menjawab.
"Gue pikir ini sia-sia, Yan! Dia cintanya sama lo. Banget," ucapnya tiba-tiba tanpa mengalihkan pandangannya.
"Ya, terus? Usaha, dong! Gue udah bukan lagi ancaman bagi kisah percintaan lo. Ya, 'kan? Jadi, lo bisa usaha sekuat tenaga mulai sekarang. Lagian, ini semua buat nunjukin seberapa beraninya elo buat ngungkapin perasaan lo ke Gia," balas Ryan. Aku hanya terdiam dan menyimak percakapan mereka yang membuat otakku pusing. Mereka terlalu berputar-putar!
"Tapi, tetep aja! Gue yang usaha keras buat dapetin dia dan dia yang berusaha keras buat dapetin lo. Akhirnya, pasti gue kalah juga. Dan, buat keberanian gue ... Gue belum punya keberanian sebesar yang lo kira," balas Alvian yang terlihat putus asa. Kini, ia menatap Ryan dengan pandangan menyedihkannya.
"Lo pengecut berarti! Lagian, kalo lo kalah, otomatis, dia juga kalah. Karena sampai kapanpun, gue gak bakal nengok ke cewek lain selain Audi." Ryan berucap dengan tenangnya dengan sebelah tangan bertengger di bahu Alvian. Tanpa tahu bahwa ucapannya tadi bisa saja membuatku terkena serangan jantung mendadak.
"Ayo, sana! Lo pasti bisa! Seenggaknya, lo jangan jadi pengecut untuk yang ke sekian kalinya. Bilang suka kalo lo beneran suka. Bilang sayang kalo lo beneran sayang. Dan bilang cinta kalo lo beneran cinta. Dengan itu, lo bisa merjuangin dia dengan jelas nantinya."
Kata-kata itu nampaknya menyihir Alvian. Juga diriku. Dan kemudian, Alvian menggenggam sebelah tangan Ryan yang berada di bahunya. "Lo tau? Sampai saat ini, lo satu-satunya temen yang paling gue cari di seluruh dunia!"
Setelah mengucapkan itu pada Ryan, Alvian berlari kecil ke lapangan basket. Sedangkan aku dan Ryan hanya menatapnya dari tempat kami berdiri.
Dari sini, aku mampu melihat Alvian yang terlihat jelas sekali menarik Gia ke pinggir lapangan dan berbicara empat mata dengannya.
Binar matanya terlihat bersinar dan menggebu-gebu saat ia tengah mengakui perasaannya pada Gia. Namun sayang, sinar di matanya itu harus meredup di sela-sela perbincangan mereka. Dan Gia, ia terlihat menepuk pelan bahu Alvian dan melangkah menjauh darinya.
Alvian terdiam di tempatnya. Masih terlihat syok sebelum akhirnya, ia menatap kami dan tersenyum lemah.
Ryan balas tersenyum simpul padanya. Memberi semangat. Lalu, sebelah tangan Ryan kemudian merangkul bahuku dan menyeretku pelan ke arah kantin.
Aku menatapnya bingung. Dan sebelum aku sempat berkata-kata, Ryan berucap, "Dia butuh waktu sendiri. Bukan hal yang mudah buat laki-laki saat dia ditolak. Itu melukai harga dirinya. Pasti. Apalagi, dalam kasus Alvian, dia udah mendem perasaannya sejak lama."
Aku mengerti. Dan dari situ, aku melihat bahwa Ryan, sama sekali tidak menganggap Alvian sebagai musuhnya. Ataupun sebagai ancaman baginya.
Sama sepertiku. Walau aku kecewa pada Alvian, aku tidak bisa menganggapnya musuh begitu saja--aku berusaha untuk menyingkirkan sifat pendendamku sejak aku dekat dengan Ryan. Apa yang sudah Alvian lakukan padaku, nyatanya lebih berarti daripada sikap pengecutnya kemarin.
Lagipula, bukankah manusia memang terkadang menjadi seorang pengecut? Disadari atau tidak, semua manusia pun punya waktunya untuk menjadi seorang pengecut. Kamu mungkin hanya tidak menyadarinya saja.
Sebelah tangan Ryan kemudian mengelus pipiku hingga aku tersentak pelan dan kemudian ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, "Tell me if you're not love me anymore. 'Cause I can make you love me forever more."
***
To Be Continued

KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha ✔
Teen Fiction[NOVEL] | Audi Marissa Nasution hanyalah gadis enam belas tahun biasa yang sangat perfeksionis dan ambisius--juga sedikit diktator. Keinginannya simpel. Dia hanya ingin diterima di SMA Nusa Bangsa. SMA nomor satu di kotanya. Dan ia berhasil. Good lu...