Bagian Tujuh Belas

152 20 0
                                    

Bagian Tujuh Belas: Di Lorong Rumah Sakit yang Dingin

Audi berlari kencang di lorong rumah sakit yang sepi dan dingin itu. Ia segera saja menuju ke rumah sakit yang disebutkan orang dalam telpon tadi tanpa memedulikan lagi tampilannya yang baru saja bangun tidur. Untunglah di rumahnya tidak ada siapa pun hingga ia mampu pergi dengan leluasa tanpa harus bersusah payah meminta izin terlebih dahulu.

Kini, ia tampak mengerikan. Rambut panjang sebahunya acak-acakan. Hanya baju tidur tipis yang menempel di tubuhnya juga sepasang sandal kelinci sebagai alas kakinya. Belum lagi matanya yang sembab itu. Oh, ya, tak lupa juga motor matic Scoopy merahnya yang terparkir di halaman parkir rumah sakit ini. Ia cukup sadar bahwa di tengah malam begini, tidak akan ada angkutan umum yang mampu menampungnya.

Cukup lama ia berlari hingga akhirnya ia menemukan ruang gawat daruratnya. Di depan ruang itu, ada dua orang lelaki yang tak dikenalinya sama sekali. Mereka berdua terlihat kacau. Sama kacaunya dengan dirinya saat ini. Mereka berdua kompak menunduk menatapi kedua sepatunya masing-masing. Yang satunya, menangis dengan bahu yang bergetar hebat.

Ia melangkah mendekati keduanya. Berdiri di hadapan lelaki yang tengah menangis. Lelaki itu menengadahkan kepala. Nampak penasaran dengan pemilik sandal kelinci yang berdiri di hadapannya.

Begitu ia mendongakkan kepala, Audi baru sadar bahwa dia adalah orang yang sama saat memanggil Ryan dari luar ruang UKS pada hari pertama ia bertemu dengan Ryan dulu. Audi mengenal wajahnya. Tapi tidak dengan namanya. Berbanding terbalik dengan pria itu yang begitu mengenal Audi.

Satu lelaki lagi tidak Audi kenali. Itu mungkin karena wajahnya yang terus menunduk dengan kedua tangan menutupi wajah. Karena itu, Audi tidak mengacuhkan pria kedua ini.

"Gimana sama keadaan Ryan?" tanyanya begitu pelan dan serak khas orang yang habis menangis pada lelaki di hadapannya. Lelaki yang tengah menengadahkan kepalanya untuk menatap wajahnya yang sama kusutnya dengan wajah milik lelaki itu.

"Cukup parah," jawabnya setelah beberapa saat mengumpulkan suaranya yang hilang karena terlalu banyak menangis. "Dokter lagi berusaha ngelakuin yang terbaik buat Ryan," lanjutnya lagi.

"Mana keluarganya?" tanyaku kemudian. Merasa aneh saat tak ada satu pun keluarga Ryan yang terlihat. Lelaki itu menggelengkan kepalanya lemah.

"Gue gak berani ngomong ke keluarganya. Gue cuma berani ngomong ke elo doang. Mungkin, lo bisa bantu gue ngomong ke keluarganya," jelasnya pelan.

Aku lantas mengambil duduk di samping lelaki itu dengan tatapan kosong menatap pintu ruang UGD di hadapanku. Tempat Ryan tengah berjuang untuk hidup. Hebat. Bahkan karena Ryan, aku mampu mengabaikan bau obat-obatan sialan itu sampai sejauh ini.

"Gimana ceritanya? Gimana ceritanya dia bisa kecelakaan?" bisikku pelan. Bertanya pada diriku sendiri yang ternyata terdengar oleh lelaki di sampingku.

"Ada truk yang datang mendadak di satu belokan. Lampunya tepat nyorot kedua matanya sampe akhirnya dia hilang kendali. Kebetulan, jalanan licin saat itu dan--dan akhirnya--dia jatuh dari atas motornya. Motornya rusak parah sedangkan tubuhnya--tubuhnya kebanting beberapa meter dari tempatnya jatuh," jelasnya singkat dan sedikit terbata-bata.

Kemudian aku menangis kembali. Sadar akan betapa mengerikannya kecelakaan itu terjadi. Kecelakaan yang mungkin saja akan merenggut nyawa Ryan saat itu juga.

"Gimana bisa dia..."

Lelaki di sebelahku menghela nafasnya pelan. Terlihat tengah menenangkan dirinya sendiri.

"Ada banyak hal dalam hidup Ryan yang belum dia bagi sama lo, Di. Gue yakin, suatu saat dia pasti akan bagi kisah hidupnya bareng elo. Tapi sebelum itu semua terjadi, dia malah dapat musibah kayak gini. Dan gue pikir, ini bukan bagian gue atau siapa pun untuk ceritain sedikit sisi gelap hidupnya Ryan ke elo. Tapi, ini bagiannya Ryan yang cerita sendiri," ucapnya yang aku acuhkan. Mencoba mengabaikannya, lebih tepatnya.

"Jadi, apa ada yang bisa gue bantu malem ini? Ngabarin keluarganya, mungkin?"

***

Lorong yang tadinya sepi itu, kini riuh dengan isak tangis. Tangis Bunda Ryan yang paling menyayat hati. Dan sepertinya, ini bukan kali pertama Ryan masuk rumah sakit, karena tadi Ayahnya bertanya pada lelaki yang kini kuketahui bernama Daffa itu dengan pertanyaan, "Lagi?"

Juga ada kakak Ryan yang cantiknya luar biasa dan kini tengah menahan tangisnya. Aku sendiri tak henti-hentinya memeluk Bunda Ryan dari samping. Mencoba menguatkan bunda dan membisikkan kata-kata penyemangat. Seperti, "Ryan gak akan kenapa-napa, Bunda. Dia kuat. Dia pasti bisa bertahan."

Aku terus meyakinkan Bundanya dengan cara seperti itu. Walau sebenarnya, aku sendiri yang tidak yakin.

Tapi, Ryan pernah bilang padaku bahwa ia sudah terbiasa terluka. Ia sudah terbiasa dengan luka. Jadi, ini pastinya bukan apa-apa baginya, 'kan?

Kenapa juga dokter lama sekali di dalam sana?

Dan sesaat setelah itu, dokter beserta beberapa suster yang menangani Ryan keluar dari ruangan seakan merasa terpanggil oleh gumaman hatiku. Bunda Ryan langsung saja berdiri dari tempatnya duduk, menyerbu mereka dan memberondongnya dengan beribu pertanyaan.

Aku menunggu jawaban dokter dengan cemas dari tempatku duduk. Rasanya, aku tidak sanggup untuk berdiri dan melangkah menuju dokter itu.

"Ananda Ryan mengalami benturan yang cukup keras di bagian kepala dan beberapa patah tulang terutama di bagian leher dan kakinya. Tapi kabar baiknya, dia sudah melewati masa kritisnya dengan baik. Kita sudah bisa memindahkannya ke ruang inap biasa dan tinggal menunggunya sadar."

Setelah itu, rasanya, beribu-ribu ton beban yang menyumpal benakku telah sirna. Meninggalkan beberapa kilogram lagi beban dalam benak. Tapi setidaknya kini, aku sedikit merasa tenang.

***

To Be Continued

Matcha ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang