Bagian Dua Puluh Tiga: I Do Love You!
Tidak ada satu pun kata yang mampu kulukiskan saat ini. Rasanya ... meledak! Seperti ada yang meletup-letup dalam dada yang anehnya, aku sendiri tidak tau apa artinya itu? Itu juga salah satu hal aneh lainnya yang terjadi padaku dan menyangkut tentang Ryan.
Aku segera saja menghubungi keluarga Ryan termasuk Daffa saat para dokter dan suster mengecek keadaan Ryan terlebih dahulu dan menyatakan bahwa tubuh Ryan dalam keadaan baik.
Sungguh, yang terjadi tadi itu, benar-benar kejutan. Kejutan terindah dalam hidupku.
Siapa yang tahu bahwa Ryan akan sadar sesaat setelah aku menyatakan rasa cintaku? Kalau tahu begitu, aku lebih baik mengakui itu di hari-hari pertamanya agar Ryan tak menunggu untuk bangun terlalu lama.
Aku tahu itu tidak mungkin. Mungkin, memang waktunya saja yang tepat. Tepat di saat aku mengakui perasaanku, tepat pula waktunya Ryan untuk sadar. Tapi, bolehkah aku sedikit berharap?
Kini, aku tengah duduk di samping ranjang Ryan. Sedangkan Ryan, masih berbaring di ranjang tanpa sekalipun mengalihkan pandangannya dariku. Sama halnya denganku yang terus menatapnya dalam diam.
Kedua tanganku menangkup erat sebelah tangannya yang tak diinfus. Aku benar-benar bahagia saat ini hingga dadaku rasanya sesak sekali. Penuh dengan rasa bahagia.
Kami tak saling berbicara. Hanya tatapan lembut yang kita tampilkan. Namun dari situ, kita sama-sama tahu artinya. Rasa aman, nyaman, sayang, juga rasa cinta terpancar dari tiap manik mata. Mataku. Juga mata miliknya.
Dengan gerakan lemah dan perlahan, aku mulai merasakan tanganku yang balas dibelai oleh tangannya yang kutangkup. Ia lantas tersenyum simpul seraya menatapku.
"Aku ... tau kamu gak sebodoh itu. Aku tau ... kamu pasti tau apa yang terjadi sama aku," ucapnya seketika dengan nada serak khas orang sakit. Aku tak menjawab dan hanya menganggukkan kepalaku pelan.
"Ini lucu." Ia menjeda ucapannya sejenak. "seharusnya, aku kasih tau kamu di satu waktu yang lebih memungkinkan dengan setelan baju yang lebih pantas. Bukan di saat seperti ini," jelasnya.
Aku mengeratkan genggamanku pada tangannya. "Kalo gitu, anggap aja aku gak tau apa-apa dan kamu bisa kasih tau aku di lain waktu yang menurut kamu benar-benar tepat. Dengan setelan baju yang lebih pantas, lebih rapi dan lebih wangi daripada piyama rumah sakit ini."
Ia terkekeh pelan mendengar jawabanku. Senang rasanya bisa mendengarnya kembali tertawa. Dan aku lebih senang lagi saat mengetahui bahwa oksigen yang dipasang padanya beberapa hari yang lalu sudah dapat dilepas. Sama halnya dengan kardiograf itu. Itu semua mengingatkanku bahwa Ryan adalah sosok yang kuat. Sosok yang selama ini kukenal.
"Kamu kenapa pakai piyama rumah sakit ini juga?" Ia kembali bertanya. Tampaknya, ia baru sadar dengan outfit-ku malam ini.
"Aku juga dirawat. Sama seperti kamu. Masalah dehidrasi dan gak kuat nyium bau obat. Gak lebih parah daripada kamu," jawabku santai. Genggaman tangannya yang berada di tanganku terasa mengerat. "Kamu gak boleh sakit, tau?"
"Kenapa emangnya? 'Kan aku masih manusia juga. Wajar tau!" balasku protes.
"Cukup aku aja yang sakit. Superhero kamu. Kamu gak boleh sakit."
"Kenapa? Emang sakit itu, berat ya?" tanyaku jail.
"Gak lebih berat daripada rindu."
"Dilan, dong!" seruku dan kemudian, kami berdua tertawa bersama. Aku tau ini tidak lucu. Tapi entah mengapa, aku menertawakannya.
Tapi jujur, melihatnya kembali tertawa, mampu membuatku tertawa juga.
Tawanya menular.
"Kamu pokoknya harus janji! Kamu gak boleh sakit lagi! Karena ngeliat kamu sakit, itu nyakitin aku lebih dalam," jelasnya. Aku tersenyum simpul padanya. "Apalagi kalau aku ngeliat kamu seperti ini, Yan. That's so suffocating me."
"I promise, ini yang terakhir," ucapnya sembari mencium pelan sebelah tanganku yang menggenggam tangannya.
"Omong-omong, aku seneng kamu gak pake panggilan gue-elo lagi di antara kita." Aku terkekeh pelan dan tanpa dapat kucegah, aku memeluk tubuh Ryan perlahan. Mencoba mencari tempat yang nyaman bagiku untuk bersandar. Tangannya balas merangkul. Memutari bahuku. Pelukannya yang nyaman membuatku tanpa sadar menutup kedua mataku.
"Ryan, did I already said that I love you? If I'm not, I will say now that I do love you."
"I love you more than you know, honey."
***
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha ✔
Teen Fiction[NOVEL] | Audi Marissa Nasution hanyalah gadis enam belas tahun biasa yang sangat perfeksionis dan ambisius--juga sedikit diktator. Keinginannya simpel. Dia hanya ingin diterima di SMA Nusa Bangsa. SMA nomor satu di kotanya. Dan ia berhasil. Good lu...