Bagian Delapan: Aku, Dirimu dan Dirinya
Gawat! Apa yang dibilang si idiot Ryan itu benar-benar terjadi! Para gadis menjijikkan itu benar-benar menindas mentalku.
Ini baru sehari setelah Ryan mengingatkanku tentang 'galaknya para gadis di Nusa Bangsa' dan langsung terjadi setelahnya?! Ini benar-benar gila!
Atau Ryan yang memang benar-benar cenayang?
Para gadis itu, mereka dengan jahatnya menyembunyikan semua buku juga seragam olahragaku yang tersimpan rapi di dalam lokerku yang berada di dalam kelas. Menyebabkan aku mendapat lima poin untuk kealfaanku memakai baju olahraga dan lima belas poin untuk kealfaanku membawa tiga buku tulis.
Mana ada sejarahnya seorang Audi Marissa Nasution mendapat poin seperti itu?! Bahkan baru saja masuk SMA, aku sudah mendapat dua puluh poin untuk tiga tahunku di sini!
Seketika, aku merasa sistem poin ini mencekikku.
Mereka benar-benar cerdik. Benar-benar menindas mentalku yang memang berjiwa perfectionist.
Aku sangat tidak menyukai ketidaksempurnaan. Segala yang kulakukan harus sempurna. Dan sepertinya, mereka tau sifatku yang satu itu.
Atau mereka tidak tahu, tapi akhirnya apa yang mereka lakukan menjadi sangat fatal bagiku?
Aku lantas menatap Ryan yang tengah bermain basket di tengah lapangan sana. Kealfaanku memakai baju olahraga hari ini membuatku tidak dapat ikut pelajaran olahraga dan terpaksa menunggu di pinggir lapangan.
Hh, padahal hari ini materinya basket. Permainan bola besar yang sangat kusukai.
Melihat Ryan bermain basket dengan lihainya di lapangan sana membuatku terpukau. Dia terlihat sangat berbakat dan ahli dalam memainkan teknik-teknik dalam basket. Caranya mengamankan bola dari musuh, cara meng-shoot bola itu, belum lagi lay up-nya yang terlihat keren. Seketika, aku jadi memikirkan bagaimana rasanya tanding basket dengannya. One on one. Satu lawan satu.
Rambut hitamnya yang terlihat basah oleh keringat, begitu juga dengan headband merah yang sama basahnya dan tertutup poni yang menjuntai di atas keningnya yang penuh dengan peluh. Belum lagi baju olahraganya yang banjir oleh keringat, apalagi di bagian punggungnya itu. Tapi ia malah terlihat begitu...
Keren.
"Hei!" Sayla menyapaku pelan sebelum akhirnya duduk di sampingku hingga membuyarkan lamunanku tentang Ryan. "Liatin Ryan, ya?" tanyanya tepat sasaran yang membuatku melengos malu.
"Ryan keliatan tambah cakep, ya, kalo lagi main basket? Kharismanya itu loh..." lanjutnya yang tak kutanggapi. "Kalau Kak Alvian gimana, Di?" tanyanya lagi sembari menunjuk ke sisi lain dari lapangan yang membuatku ikut mengalihkan pandanganku ke tempat yang ditunjuknya.
Di satu sudut pinggir lapangan basket, kutemukan Alvian tengah duduk di bawah pohon bersama teman-teman lelakinya dengan tangan yang asik menggenjreng gitar sembari menyanyikan sebuah lagu yang tak bisa kudengar dari sini.
Rambutnya yang hitam nan lebat itu berjambul. Tawanya begitu manis untuk dilihat. Lesung pipitnya mampu menimbulkan efek ketagihan bagi orang yang melihat. Ia terlihat begitu tampan, tapi tidak sekeren Ryan.
Aku lantas menggeleng-gelengkan kepalaku. Ck! Apa-apaan aku ini?! Membanding-bandingkan dua orang yang sudah jelas-jelas berbeda! Sangat berbeda!
"Gak semenarik Ryan, ya?" Sayla kembali membuka mulutnya. "Well, saran gue, sih, cukup deketin salah satu di antara mereka atau enggak sama sekali. Kak Alvian itu pentolan di sini dari taun lalu. Banyak fans fanatiknya yang gila. Dan Ryan itu, the next Alvian.
"Fyi, aksi bully lo ke Ryan yang kemaren itu gak ada apa-apanya dibanding aksi bully para fans-fanatik-gilanya Kak Alvian. Dan apa yang terjadi sama lo hari ini, belum apa-apa, Audi," jelasnya yang membuatku memandangnya heran.
Bagaimana bisa dia tau akan apa yang para gadis menjijikan itu lakukan nantinya padaku sedangkan aku dan dia sama-sama murid baru?
Atau hanya akulah satu-satunya di sini yang tidak tahu tentang keganasan para gadis-fanatik-gila itu? Bila benar begitu kenyataannya, rasanya aku seperti seorang idiot yang berdiri di tengah-tengah para jenius. Walau ingin terlihat jenius sama seperti yang lainnya, sebagaimana kerasnya aku berusaha, aku akan tetap terlihat seperti idiot juga pada akhirnya.
Lagipula bagiku, tidak ada di antara mereka yang harus kupilih. Karena aku tidak menjadikan mereka berdua sebagai pilihan.
Ya, mereka berdua...
***
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha ✔
أدب المراهقين[NOVEL] | Audi Marissa Nasution hanyalah gadis enam belas tahun biasa yang sangat perfeksionis dan ambisius--juga sedikit diktator. Keinginannya simpel. Dia hanya ingin diterima di SMA Nusa Bangsa. SMA nomor satu di kotanya. Dan ia berhasil. Good lu...