Bagian Enam

220 23 3
                                    

Bagian Enam: Saran Idiot

Aku menuju kelasku dengan langkah malas. Ternyata, orang-orang di koridor tetap saja menatapku dengan sinis walau aku tidak berangkat bersama Alvian. Bahkan mereka menggunjingku di depan muka!

Mereka bilang, "Dasar lintah darat!"

Lalu seseorang yang kuyakini kakak kelasku juga ikut menggunjingku, "Junior gak tau sopan santun! Alvian itu 'kan senior-nya. Belagu banget dia sampe gak manggil Alvian pake 'kak'!"

Dan itu semua hanya beberapa gunjingan yang mampu kudengar.

Rasanya, aku ingin menariknya dan mengajaknya sparing di tengah lapangan sembari mengatakan, "Apa urusannya sama lo?! Lebih baik lo diem daripada mulut kotor lo itu ngomong hal yang gak penting!"

Tapi, apa yang bisa dilakukan anak kelas sepuluh di hari ketiga mereka bersekolah?

Well, mungkin itu cuma bagi mereka yang 'nyaman' ditindas. Dan aku tidak termasuk golongan itu. Tapi itu bukan berarti aku akan benar-benar sparing dengan seseorang di antara mereka dan berpotensi masuk ke ruang detensi lalu di skors untuk esok harinya. No. Itu cara yang sangat gak classy.

Bagiku, semua yang kulakukan harus terencana. Dari A sampai Z, rencana itu harus terbentuk dengan sempurna tanpa cacat satu pun. Sama halnya dengan rencana balas dendamku dengan Ryan yang sayangnya cacat di bagian akhir.

Korban yang mengetahui tersangkanya sendiri tidak termasuk hal yang sempurna, 'kan?

Maka dari itu, aku mulai memikirkan banyak rencana untuk kelangsungan hidupku di Nusa Bangsa. Tapi sialnya, aku tidak terpikirkan satu rencana pun! Otakku rasanya ... kosong.

"Hei, Audi!" Seseorang menyapaku dari belakang hingga membuatku menolehkan kepala ke belakang. Ryan. Yang menyapaku itu, si idiot, Ryan.

"Kenapa tiap gue sapa, lo selalu diem?" Dia mulai bertanya yang kujawab dengan nada sinis, "Oh, ya? Kalo gitu, kenapa lo tetep aja nyapa gue walau lo udah tau kalau gue yang udah bikin celana lo kena permen karet?"

Ia tertawa pelan. "Untuk itu, gue sendiri gak tau jawabannya."

Aku melengos mendengarnya. Namun dengan gerakan cepat, ia menarik pelan lenganku hingga membuatku berjalan bersisian dengannya.

"Ada rencana apa kali ini di otak lo itu, hm?" tanyanya yang seketika membuatku tersentak. "Apa maksud lo?"

"Gue ngerti banget sama sifat lo. Lo jengah, kesel, marah dan muak sama orang-orang yang ngomongin lo di koridor tadi, 'kan? Dan lo mulai nyusun rencana buat balas dendam ke mereka. Jadi, apa rencana lo itu?"

Aku kembali tersentak. Bagaimana bisa ia tau sifatku yang satu itu dengan sangat mendetail? Kita bahkan baru saling mengenal dalam waktu dua hari?!

"Dua hari ditambah dengan balas dendam lo kemarin, itu udah cukup buat gue untuk mengerti tentang lo, Audi," jawabnya seolah menjawab pertanyaan yang bersarang dalam benakku.

"Lo ... cenayang? Kenapa lo bisa tau apa yang gue pikirin?!" tanyaku padanya dengan pertanyaan yang dikiranya sangat bodoh hingga membuatnya tertawa.

"Gak mesti jadi cenayang buat tau apa yang ada di pikiran seseorang. Cukup pahami dia dan lo bisa tau segala hal tentang dia. Kuncinya cuma satu, pahami."

"Jadi, apa rencana lo?" Ia kembali bertanya yang kemudian tak kujawab. "Belum ada, ya?" tanyanya meremehkan. Satu pukulan lagi darinya hingga ia mengalahkanku, telak.

Sial!

"Well, gue punya saran yang cukup bagus buat lo. Mau tau?" Ia mulai memancingku dengan topik yang cukup bagus dan berguna sekali bagiku. Namun aku tetap diam. Pura-pura tak acuh walau hatiku menjerit penasaran.

"Gak usah gengsi gitu kali! Cukup bilang 'apa' dan lo bisa dapet saran dari gue. Apa susahnya, sih? Lagian, gengsi gak bikin kita kaya. Bikin miskin, iya!" ledeknya setengah tertawa.

Aku menghembuskan nafas kesal. "Oke. Jadi apa saran lo, Tuan Satya Ryan yang terhormat?" tanyaku mulai mengikuti permainannya dan dia menampilkan senyum manisnya yang terlihat seperti seringaian di mataku.

"Cukup jadi pacar gue sebelum lo ditindas abis-abisan dan biarin gue yang jagain lo dari amukan para macan betina itu," jawabnya mantap dengan menatap mataku dalam yang membuatku terbuai seketika.

Tunggu, APAA?!

Aku tidak akan terbuai oleh pesona dan kata-katanya itu!

Dan saran apa itu tadi?! Sungguh sangat tidak masuk di akal!

"NO! GUE JADI PACAR LO?!" pekikku tak terima dan dia pun segera menutup mulutku. "Shhht, pelan-pelan!"

Aku melepaskan tangannya yang berada di mulutku dengan kasar dan berkata, "No-way! Gak mau! Saran apaan itu?! Lagian, gue bisa kok jaga diri! Gue bisa boxing, tau?!"

Si idiot itu malah tersenyum merendahkan yang membuatku berdecih pelan. "Boxing lo itu, gak akan membantu lo di sini. Mereka gak bully fisik lo, Audi. Tapi mereka bully mental lo. Lo mestinya tau kalau Nusa Bangsa diisi sama anak-anak yang cerdas."

"Tau apa lo?! Bukannya lo juga sama kayak gue, anak baru?!" tantangku yang membuat senyum merendahkannya si idiot itu makin lebar saja.

"Yaa, gue emang sama kayak lo, anak baru. Tapi gue ngerti apa yang terjadi di sini dalam sekali liat. Gak kayak lo," sindirnya yang membuat darahku naik. "Emang apa yang lo ngerti sedangkan gak gue ngerti, hah?!"

"Gue ngerti kalo anak Nusa Bangsa gak akan ngelakuin hal-hal yang melukai fisik siswa lain, karena itu sama aja nyari mati namanya. Sama aja kayak minta tiket keluar dari sekolah ini secara cuma-cuma. Yang mereka lakuin cuma buat mental korbannya terguncang dan buat si korban gak percaya sama siapapun yang ada di sini dan tetap tutup mulut. Sampai akhirnya, dia frustasi dan milih keluar dari sini dengan sukarela tanpa buat si pelaku dikeluarin dari sini. Dan lo harus tau kalo mereka main rapi. Bahkan sampai anak itu keluar, pelakunya gak bisa diketahui secara pasti. Tamat," jelasnya panjang lebar dan terlihat sangat meyakinkan.

"Lo beneran keliatan meyakinkan, banget. Tapi sayangnya, gue gak secepat itu percaya sama lo. Lagian, gue punya Alvian," balasku dengan menyebut satu nama yang terlintas di otakku hingga kulihat rahang tegasnya mengeras.

"Lo gak punya si Alvian. Lo gak punya siapa-siapa di sini. Enggak sebelum lo jadi pacar gue."

"Ini lo kok kesannya kayak yang ngebet banget jadi pacar gue, ya?" tanyaku balik mengejek dengan setengah tertawa yang tak dihiraukan olehnya.

"Gue kasih lo waktu untuk berpikir. Tapi inget, jangan kelamaan atau lo bisa aja langsung didapuk dari sini. Bye!"

Ia pun langsung saja melangkah pergi mendahuluiku begitu ia berpamitan dengan sebelah tangannya yang melambai padaku. Meninggalkanku yang kembali memikirkan sarannya-atau mungkin penawarannya?

Aku lantas menggeleng-gelengkan kepala begitu sadar bahwa aku memikirkan sarannya.

Enggak. Gak seharusnya aku mikirin semua bullshit-nya si idiot tadi. Karena apa yang dia omongin, gak beda jauh dari sampah!

Busuk dan gak berarti!

***

To Be Continued

Ps: suka sama pacar orang dosa gk sih?

Matcha ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang