Bagian Sembilan

183 21 4
                                    

Bagian Sembilan: Mereka Berdua

Aku melangkahkan kakiku pelan menuju parkiran. Sekadar mengikuti rasa penasaranku tentang keberadaan Alvian. Apakah ia memang benar-benar akan pulang bersama dan menungguku di parkiran atau tidak?

Bukannya aku meragukannya setelah beberapa hari sebelumnya aku selalu pulang bersama dengannya, tapi aku hanya sekadar memastikan. Siapa yang tahu bahwa ia ternyata bermain-main denganku, sama seperti saat ia bermain-main dengan para gadis sebelumnya?

Dan ternyata, benar. Dia benar-benar menungguku di parkiran tepat di samping ninja merahnya.

"Audi!" serunya ke arahku dengan sebelah tangan yang melambai-lambai memanggilku. Aku membalasnya dengan seulas senyum simpul.

Untunglah parkiran saat ini sedang sepi hingga tak ada satu orang murid pun yang mengetahui keberadaanku di dekat Alvian. Karena sejujurnya, aku tidak bisa membayangkan bila parkiran sedang ramai. Pasti akan terlihat horror sekali!

"Siap pulang bareng?" tanyanya saat aku telah berada di sampingnya. "Siap!" jawabku.

Ia pun lantas mengambil helm biru yang berada di atas jok dan memakaikannya padaku. Apa yang ia lakukan itu reflek saja membuatku terdiam kaku hingga aku tidak sadar bahwa Alvian sudah menaiki motor merahnya.

"Ayo, naik!" titahnya dari atas jok yang segera saja membuatku duduk di belakangnya.

Dan setelah itu, aku pun mulai menikmati semilir angin yang terasa saat motor Alvian melaju membelah jalanan kota.

"Audi," panggilnya di tengah perjalanan. Aku menjawabnya dengan gumaman. "Apa yang lo tau tentang cinta?"

Aku terdiam sejenak. Mencoba mencari celah akan topik apa yang sedang Alvian bahas?

"Mm, gue tau kalau cinta itu suatu hal yang bodoh," jawabku sarkas. "Bodoh?" tanyanya.

"Hm, bodoh. Karena dengan cinta, kita akan ngelakuin apapun tanpa pikir panjang demi mengejar arti cinta itu sendiri. Arti cinta yang jelas salah," jelasku.

"Emang, apa arti cinta yang bener itu?" ia kembali bertanya sedangkan aku menarik senyum miring di wajah. "Yang pasti, gak bakal bikin kita jadi keliatan bodoh."

"Lo terlalu muter-muter dan bikin pertanyaan sesederhana itu jadi rumit," keluhnya. Aku tertawa pelan mendengarnya.

"Well, sebenernya gak ada yang simple kalo mengenai cinta," balasku. "Lo sendiri, apa arti cinta menurut lo?" tanyaku kemudian.

"Honestly, gue gak ngerti sama cara kerjanya cinta. So, gue gatau apa-apa tentang itu. Gue gak ahli. Sama seperti apa yang udah lo ketahui tentang setengah diri gue sebelumnya di kantin. Tapi jujur, gue cukup menikmatinya," jawabnya santai.

"Jadi, maksud lo nanya arti cinta ke gue tadi itu apa?" Ia terdiam sejenak. Berpikir. "Mm, karna gue lagi bikin penelitian tentang cinta, mungkin? Penelitian yang melibatkan antara gue dan—elo?" jawabnya skeptis.

Aku hanya tersenyum simpul di balik punggungnya. Dalam hati aku berucap cukup sarkas dan tertawa keras, "Hm, gombalan jurus baru."

***

Keesokan paginya, aku bertemu dengan Ryan di koridor sekolah, lagi.

"Jadi, gimana?" Aku mengerutkan kening bingung. "Gimana apanya?"

"Ck! Lo mau gak jadi cewek gue?" tanyanya to the point yang membuatku membulatkan mata, terkesima. "Enggak, ya!" tolakku langsung.

"Yakin?" tanya Ryan lagi yang tak kuacuhkan. "Btw, kalo lo berubah pikiran nanti, lo bilang aja ke gue, oke? Bye!" Dan setelahnya, ia pergi dari hadapanku dengan berlari kecil.

Tak menghiraukan kepergiannya, aku lantas membelokkan langkahku menuju kamar mandi dan memasuki salah satu biliknya.

Setelah menyelesaikan panggilan alamku, aku pun keluar dari dalam bilik dan berbalik ke hadapan cermin yang bergantung di dinding kamar mandi untuk sekadar membenarkan riasan.

Namun seketika, aku terkesiap begitu melihat penampakan cermin itu.

Di cermin itu, terdapat tulisan berwarna merah darah—yang saat kucium ternyata memang benar-benar bau darah—bertuliskan, 'Mati lo, Audi! Go to the hell! Jauhi Alvian gue! Mati lo!'

Belum lagi bangkai kucing dengan bagian dalamnya yang berceceran ke mana-mana yang tergeletak begitu saja di wastafel.

Aku terpekik kaget lalu berbalik dengan segera dan mencoba membuka pintu kamar mandi yang ternyata terkunci.

Shit!

Double shit!

Dengan panik, aku menggedor-gedorkan pintu dihadapanku kencang sembari berteriak meminta pertolongan.

"Toloong!! Tolongin gue! Siapa aja, please, tolongin gue! Tolong bukain pintunya buat gue! Gue mohon..."

Tubuhku seketika mendadak lemas dan merosot begitu saja di balik pintu kamar mandi. Aku merasa takut, panik, dan semua hal terasa tercampur aduk dalam diriku. Belum lagi rasa mual yang mulai menyerangku dengan tiba-tiba. Juga segala pikiran burukku yang terus terngiang dalam benak.

"Gimana kalo pintunya gak kebuka sampai bel pulang nanti? Gimana kalo aku dialfakan dan mendapat poin lima lagi? Gimana kalo aku terjebak di sini sampai besok pagi? Apa—"

—dan segala pikiran burukku itu segera terhapuskan begitu aku terdorong ke depan. Seseorang telah membukakan pintunya.

Aku bergegas berdiri dan berbalik menatap orang yang telah membukakan pintu laknat itu untukku. Tanpa memikirkan apapun lagi, aku lantas memeluk pahlawanku itu erat-erat.

Thanks a lot my superhero.

"Thanks, Ryan."

***

To Be Continued

Matcha ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang