Bagian Dua Puluh Dua: Akhirnya
Orang tuaku telah pergi meninggalkan ruang rawat inapku setelah lima belas menit mereka berada di sini. Dan kini, telah satu jam sejak kepergian mereka.
Tidak ada yang terjadi setelah percakapan singkatku dengan Mama. Ayahku tetap duduk di sofa yang ada di pojok ruangan seraya memainkan gadget-nya, sedangkan Mama membereskan pakaian-pakaian gantiku lalu menyimpannya di sebuah lemari khusus baju yang disediakan oleh rumah sakit ini.
Setelah Mama selesai dengan baju gantiku, ia berpamitan padaku, mengatakan bahwa ia harus shooting di Berlin dan akan pulang satu minggu lagi juga Ayahku yang harus menghadiri konferensi di Cina dan akan pulang paling lama dua minggu lagi.
Selesai mengatakan itu, Ayah bangkit dari sofanya dan berjalan menuju pintu keluar tanpa berpamitan padaku diikuti oleh Mama di belakangnya.
Benar-benar keluarga bahagia.
Mamaku seorang aktris senior tanah air yang masih tetap berkarier di usianya yang bahkan sudah tidak muda lagi. Ia juga disibukkan oleh banyaknya acara amal di kalangan sosialita untuk kebutuhan image baiknya juga untuk mendulang dana yang akan disalurkan ke yayasan amal milik Ayahku.
Ayahku sendiri merupakan pengacara kondang tanah air bahkan terkenal hingga ke luar negeri. Jasanya banyak dibutuhkan oleh para politikus Amerika dan negara-negara maju lainnya di luar sana. Ayah juga suka sekali menjadi pengisi acara di konferensi-konferensi antar negara yang seringnya diadakan di luar negeri.
Singkatnya, keluargaku adalah gambaran keluarga sempurna di satu sisi dan keluarga yang sempurna memprihatinkannya di satu sisi lainnya.
Sempurna bagi orang lain yang melihatnya dan sempurna memprihatinkannya juga bagiku yang mengalaminya.
Mulai bosan dengan novel yang kubaca sejak sejam yang lalu, aku lantas meletakkan novelku di atas laci yang berada di sampingku dan turun dari ranjang untuk kemudian melangkah mendekati Ryan.
Keadaannya masih sama seperti terakhir kali aku berdiri di dekatnya. Lebamnya yang belum sepenuhnya hilang masih terlihat jelas di sekujur tubuhnya, bergabung dengan lebam-lebam baru miliknya. Begitu pula dengan perbannya yang masih terpasang rapi di tubuhnya. Alat pendeteksi jantung sialan itu juga alat bantu pernapasan pun masih setia bertengger di tubuhnya.
Lama-lama, aku kesal mendengar suara yang dihasilkan kardiograf itu. Aku bertambah kesal saat berfikir bahwa aku mungkin tidak akan mendengar ritme yang teratur dari kardiograf itu lagi suatu saat nanti. Siapa yang tau?
Betapapun kerasnya aku mencoba untuk terus berpikiran positif mengenai kondisinya saat ini, aku tetap saja takut. Takut suatu hal buruk akan menimpanya suatu saat.
Dan sejujurnya, aku adalah orang yang cepat sekali berpikiran negatif dan susah untuk kembali berpikiran positif. Aku cepat merasa cemas akan suatu hal buruk yang belum tentu terjadi. Dan sialnya, aku tidak bisa menyingkirkan perasaan buruk yang selalu datang tiba-tiba itu.
Aku lantas menggenggam sebelah tangan Ryan dengan hati-hati. Mengecupnya pelan. Sekali, dua kali, hingga berkali-kali. Setelah itu, aku membungkukkan tubuhku perlahan dan mengecup keningnya lama. Lalu merambat pada hidungnya, dan kedua pipinya. Dan aku mulai bergerak tanpa kendali saat tiba-tiba bibirku membisikkan satu kata tepat di telinga kanannya. Kata asing yang sangat kutau artinya dan merupakan kata favoritku yang belum pernah kuucapkan untuk siapa pun. Kecuali pada Ryan—saat ini.
"Seni seviyorum."
Itu artinya, 'aku mencintaimu.'
Butuh waktu yang cukup lama untukku menyadari perasaanku yang sebenarnya pada Ryan. Aku butuh menerjemahkan segala perasaan-perasaan baru yang kumiliki pada Ryan terlebih dahulu sebelum akhirnya aku sadar bahwa aku mencintainya dan ingin tetap melihatnya hidup.
Tapi aku terlalu pengecut untuk mengakuinya. Gengsiku setinggi langit, ingat?
Bahkan sekarang, aku hanya mampu mengungkapkan perasaanku di saat Ryan bahkan tidak mampu untuk mendengar dan menjawab pengakuanku. Benar kata Ryan dulu, 'gengsi itu gak buat kita kaya, buat kita miskin, iya.'
Dari situ, kini aku pun mengerti bahwa gengsi itu tidak membuat kita bahagia pula. Gengsi justru membuat kita menderita. Seperti yang kini tengah kurasakan.
Lalu tiba-tiba, sebelah tangannya yang masih kupegang terasa bergerak perlahan dalam genggamanku. Aku tersentak pelan dan mulai memundurkan badanku darinya secara refleks. Menatap tangannya lekat-lekat dan kini aku yakin bahwa tangannya itu memang sudah bergerak-gerak.
Ryan sadar! Dia sudah sadar!
Aku menjeritkan kata-kata itu di dalam hati. Tapi aku tetap saja tak mampu menyembunyikan senyum lebarku dan menyeka pelan air mataku. Aneh rasanya tersenyum sambil menangis.
Dan kemudian, matanya mengerjap-ngerjap secara perlahan. Aku menungguinya. Masih menungguinya dengan sabar sampai ia benar-benar telah sadar dan kedua matanya terbuka sempurna.
Saat kedua matanya telah terbuka sempurna, ia terdiam menatap langit-langit rumah sakit yang berwarna putih sebelum akhirnya menatapku lekat. Aku menarik senyumanku lebih lebar dari sebelumnya. Dan dari tempatku berdiri, aku mampu melihatnya yang tengah balik tersenyum kecil padaku.
"Ryan sudah sadar! Ia sudah siuman!" Lagi-lagi, aku menjeritkan kata-kata itu di dalam hatiku.
Tanpa menunggu lama, aku merangsek maju dan memeluknya dengan hati-hati dan penuh rasa haru. "Akhirnya..." Aku mendesah lega juga mengucapkan rasa syukur banyak-banyak dalam hati.
Cukup lama hingga akhirnya aku melepaskan pelukanku. Aku lalu mengusap kasar air mata yang lagi-lagi mengalir tanpa kusadari. "Biar aku panggil dokter dulu, ya?" kataku.
Dan setelah itu, aku segera saja memencet bel yang tertempel di dinding atas tempat tidur Ryan berkali-kali. Seketika itu juga, dokter juga beberapa suster di belakangnya muncul dari balik pintu dengan wajah yang panik. Dan tanpa menunggu mereka mendekat, aku berseru riang.
"Dokter, Ryan bangun!"
***
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha ✔
Подростковая литература[NOVEL] | Audi Marissa Nasution hanyalah gadis enam belas tahun biasa yang sangat perfeksionis dan ambisius--juga sedikit diktator. Keinginannya simpel. Dia hanya ingin diterima di SMA Nusa Bangsa. SMA nomor satu di kotanya. Dan ia berhasil. Good lu...