Bagian Dua Puluh Lima

152 18 0
                                    

Bagian Dua Puluh Lima: Hal Tak Terduga

Bunyi bel rumah Ryan kemudian menggema. Satu kali. Kami--aku dan Ryan--hanya mengabaikannya. Dua kali. Kami masih mengabaikannya dan berharap ada yang membuka. Bunda, mungkin? Tiga kali. Bel itu masih berbunyi dan kemudian, aku dengan spontan berdiri di samping Ryan.

"Kamu kenapa?" tanya Ryan bingung melihatku yang tiba-tiba berdiri.

"Aku buka pintu dulu. Mungkin penting," jawabku. "Kan ada Bunda." Ia kembali berucap begitu aku akan membuka knop pintu.

"Mungkin juga Bunda kamu lagi pergi. Jadi, di rumah ini mungkin cuma ada aku sama kamu."

Tepat setelah mengucapkan itu, aku bergegas keluar kamar dan membuka pintu utama.

Sedetik. Dua detik. Hingga akhirnya aku sadar siapa yang tengah berdiri di hadapanku tepat setelah aku membukakan pintu utama.

Itu Alvian.

Alvian yang masih memakai seragam. Sama sepertiku beberapa jam yang lalu sebelum akhirnya meminjam sebuah kaus dan celana jeans pendek milik Kak Ayla sebagai salinku. Tidak kuat mendengar ocehan Ryan terus-menerus yang menyebutku bau.

"Hai," sapanya canggung. Aku membalasnya dengan senyuman canggung pula.

"Gue pengen ketemu Ryan dan ngobrol berdua sama dia doang. Privately. Bisa?" pintanya sungguh-sungguh. Dengan penuh tanda tanya dalam benak, aku hanya mampu mengiyakannya.

Aku menunjukkan kamar Ryan dalam sekali tunjuk padanya. Dan ia kemudian masuk ke kamar itu dengan segera setelah sebelumnya ia mengucapkan kata terima kasih padaku.

Lima menit. Aku menunggunya keluar dari kamar Ryan. Masih dengan berdiri di hadapan kamarnya. Sepuluh menit. Tidak ada keinginanku untuk menguping pembicaraan mereka. Alvian bilang, ini urusan pribadi, 'kan?

Tiga belas menit. Dan kemudian, pintu kamar Ryan terbuka. Yang kutemukan pertama kali adalah wajah Alvian yang terlihat lebih kusut dari yang sebelumnya.

Namun, ia masih mampu tersenyum simpul padaku. Sesaat sebelum dia pergi, ia menggumamkan sesuatu yang kutangkap adalah kata, 'terima kasih'. Lagi?!

Tapi aku mengabaikannya. Aku langsung saja masuk ke kamar Ryan sesaat setelah pintu utama rumah ini terdengar menutup.

"Kamu benar," ucap Ryan tiba-tiba yang terduduk di ujung tempat tidur. Aku menaikkan sebelah alisku tak mengerti. "Bunda emang lagi pergi. Bunda kirim WA ke aku tadi," lanjutnya kemudian. Beberapa detik kemudian, aku mengerti.

"Apa aja yang tadi kalian omongin? Aku tau itu privasi, tapi-" "Dia minta maaf," ucapanku terpotong oleh ucapannya. Tatapannya yang sedari tadi tak menatapku, kini menatap mataku dengan berani.

"Untuk?" Aku mencoba tenang dan kemudian mendudukkan diriku di sampingnya.

"Alasan aku kecelakaan kemarin itu, dia. Alvian."

***

"Apa maksud kamu?" tanyaku berpegang teguh dengan ketololanku. Berpura-pura tak mengerti apa maksud yang tengah Ryan coba utarakan.

"Mungkin, ini waktunya. Maafin aku karena mungkin ini saat yang sangat gak berkesan sama sekali buat kamu." Ia lagi-lagi berkata omong kosong. Aku tak mengacuhkannya. Dan kemudian, ia kembali bersuara.

"Dari tahun kemarin, semenjak aku di kelas sembilan, aku sama dia ikut balapan liar. Dan selama itu, kita berdua sama-sama punya geng motor yang cukup dikenal sama anak-anak satu kota. Namanya, geng Labuda dan geng Bunian. Pernah denger?" Ia memulai ceritanya dan mencoba bertanya padaku. Aku tetap terdiam dengan pandangan yang tak lepas darinya. Begitu juga dengan dia yang menatapku sepanjang ia bercerita.

Matcha ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang