Bagian Delapan Belas: Spesial Di Matanya
Ryan sudah dipindahkan ke ruang rawat inap biasa sejak beberapa menit yang lalu. Namun, aku tetap berdiri diam di depan ruang inapnya. Mempersilakan keluarganya untuk masuk terlebih dahulu.
Tapi sebenarnya, alasan utamaku tetap berdiri di luar adalah, aku takut.
Aku takut aku tidak sanggup menahan tangis yang nantinya bisa saja terjatuh kembali begitu melihat kondisi Ryan di dalam sana. Atau mungkin, aku takut aku kelepasan membentak Ryan seperti yang selama ini aku lakukan padanya saat di dalam sana. Siapa yang tau?
Dan sepertinya, Daffa mengetahui ketakutanku. Ia kemudian menghampiriku dengan senyuman simpulnya dan membalutkan tubuhku yang terasa menggigil dengan sebuah jaket jins. Jaket jeans yang harumnya mengigatkanku pada Ryan.
"Jaket ini kepunyaan Ryan. Jaket kebesarannya yang juga dipakai dia saat kecelakaan itu. Syukurlah gak begitu banyak darah yang nempel di jaket kesukaannya ini. Mungkin, gue yang bakal kena omelnya waktu dia sadar nanti dan ngeliat jaket favoritnya ini kena noda darahnya sendiri."
Perkataan Daffa saat membalut tubuhku dengan jaket jeans yang kuketahui kepunyaan Ryan itu, entah mengapa membuatku ingin menangis saat itu juga. Namun sebisa mungkin aku tahan. Bahkan dalam hatiku, aku sadar, bagaimana bisa kecelakaan Ryan saat ini mampu mengubahku menjadi sosok Audi yang cengeng?
Setelah menjaketi tubuhku, ia lantas pergi dengan senyuman simpul juga satu tepukan pelan di bahuku. Entah pergi ke mana. Mungkin, ia butuh waktu sendiri.Lelaki kedua yang menutupi wajahnya masih berada di sini. Ia akan berjalan paling belakang di antara aku, Daffa dan keluarga Ryan dan duduk di bangku paling jauh dari ruang rawat inap Ryan dan akan tetap menundukkan kepalanya dalam-dalam. Seolah mencoba menyembunyikan diri dari orang-orang di sekitarnya.
Beberapa kali aku mencoba menyelidiknya dari tempatku berdiri, tetap saja tidak mampu membuatku tahu sosoknya yang sebenarnya. Dia benar-benar pandai menutupi diri. Aku baru tau Ryan mempunyai teman yang seaneh dia.
Namun, sesuatu mencuat keluar dari balik saku celana jeans-nya. Aku tidak yakin akan apa yang kulihat itu, tapi itu memang benar. Sebuah lollipop.
Selama enam belas tahun aku hidup, aku hanya mengenal satu lelaki yang selalu membawa permen loli di sakunya. Dan itu adalah Alvian.
Tapi, mungkinkah sosok lelaki yang sedari tadi menutup wajahnya itu adalah Alvian? Musuh Ryan sendiri?
Dan kemudian, aku teringat satu fakta lainnya yang terlewati. Sebelum mereka menjadi musuh seperti sekarang, mereka pernah menjadi teman. Jadi, kehadiran Alvian di sini bukan lagi suatu hal yang aneh, bukan? Setidaknya, bagi seorang mantan teman baik.
Agar lebih jelas, aku kemudian memanggilnya pelan. Sedikit ragu awalnya, namun menjadi yakin begitu sosok itu mendongakkan kepalanya dan memperlihatkan wajahnya yang sama kusutnya dengan milikku dan Daffa.
Ia terlihat sedikit terkejut begitu menyadari bahwa akulah yang memanggilnya. Namun, aku menempis semua itu dan menganggap itu hanyalah perasaanku saja.
"Kenapa ... lo ada di sini?"
Pertanyaan itu keluar dari mulutku langsung tanpa bisa kuperintahkan bahkan kupikirkan terlebih dahulu. Pertanyaan itu masuk ke dalam pertanyaan refleks. Dan sepertinya, ia terkejut dengan pertanyaanku. Sama sepertiku yang terkejut dengan pertanyaanku sendiri.
"Emm ... Gue..." gugupnya. "Gue ... cuma mau ... mastiin kalo keadaan Ryan baik-baik aja."
Aku menganggukkan kepalaku mendengar jawabannya yang terdengar ragu sendiri. "Lo bisa masuk setelah ini, Al," balasku. Dan detik berikutnya, pintu rawat inap Ryan terbuka dan menampilkan sosok kakak Ryan yang keluar terlebih dahulu diiringi oleh ayah dan bundanya.
"Alvian? Ternyata itu kamu?" tanya Ayla—kakak Ryan—begitu melihat sosok Alvian yang duduk cukup jauh dari tempatnya berdiri. "I-iya," Alvian menjawab pertanyaan itu dengan canggung.
Sesaat kemudian, ia melangkah memasuki ruang rawat Ryan tanpa sepatah kata pun dengan sedikit menyenggol bahuku secara tak sengaja.
"Itu tadi Alvian, kak?" Kini, giliran Bundanya yang bertanya pada Ayla. "Iya, Bun. Ayla kira, mereka udah gak temenan lagi," jawab Ayla sedikit bingung dengan keadaan yang tengah dihadapinya.
Dengan tiba-tiba, Bunda Ryan kemudian mendekatiku dan memegang kedua tanganku erat.
"Audi, terima kasih udah kasih tau tante tentang keadaan Ryan ini, ya? Ryan itu emang anaknya bandel. Susah nurut. Pas udah kayak gini aja, bikin tante jantungan! Walaupun begitu, Ryan itu anak yang paling gampang disuruh-suruh. Suruh beli donat, mau. Suruh beli gamis, mau. Suruh belanja bulanan juga mau. Beda sama kakaknya..." Bundanya lalu melirik Ayla sekilas. "Kamu harus tahan, ya, bareng sama Ryan. Jangan tinggalin Ryan, ya?"
Dalam hati aku meringis mendengar ucapannya. Bagaimana bila justru anaknya yang malah meninggalkanku? Bukankah hubungan kita ini, salah? Palsu? Namun tak urung, aku membalasnya dengan senyuman. "Iya, Tante. Audi ngerti, kok!"
Tak lama, kedua orang tua Ryan pamit. Mereka bilang, mereka butuh mengurus segala kebutuhan Ryan untuk ke depannya. Mulai dari baju hingga asuransi motor Ryan yang rusak parah dan akan kembali lagi di pagi hari nanti. Meninggalkan Ayla yang kini tengah terduduk di kursi yang berada di seberangku.
"Kamu gak mau liat kondisi Ryan?" tanyanya padaku. "Abis ini," jawabku singkat.
Aku melirik jam dinding yang menggantung di sisi koridor rumah sakit ini. Jarum jam menunjukkan pukul tiga dini hari. "Kamu bisa pulang abis liat keadaannya. Kamu juga harus sekolah, 'kan?" ucap Ayla memahami kecemasanku. Aku mengangguk pelan dan menundukkan kepalaku.
"Kamu ... beneran pacarnya Ryan, ya?" tanyanya seketika yang membuatku mendongakkan kepala dan menatapnya heran. "Maaf kalo pertanyaannya nyakitin kamu. Aku ... aku cuma gak nyangka aja kalo dia bakal pacaran. Aku pikir, dia masih adik kecil aku yang suka nangis tiap ngompol. Ternyata dia udah besar," lanjutnya sembari terkikik pelan. Aku terdiam tak menanggapi ucapannya.
"Aku sebenarnya gak seharusnya ngomongin ini, tapi mulutku gatel. Gapapa, ya?" izinnya. "Sebenernya, dulu dia bilang kalau sahabat cewek dia satu-satunya—aku lupa siapa namanya, mungkin namanya Gea—suka sama dia. Dan perasaan suka itulah yang kemudian merubah persahabatan mereka. Persahabatan antara dia, cewek itu, dan Alvian—cowok di dalam sana. Dan setelah kejadian itu, dia bilang, 'Cewek itu rumit. Gue gak mau pacaran!' Dan sekarang, aku kaget kalo dia ternyata punya pacar secantik kamu. Kamu pasti beda sama cewek-cewek rumit itu di mata Ryan!"
Aku terdiam mendengar ucapannya yang terdengar antusias itu. Namun darinya, aku tau bahwa Ryan sosok yang sangat terbuka dengan kakaknya ini.
Dalam keheningan lorong rumah sakit ini, pintu ruang inap Ryan kembali terbuka dan memunculkan sosok Alvian yang baru saja keluar. Tanpa menunggu lama, aku memasuki ruangan Ryan dengan sedikit menabraknya. Persis seperti apa yang ia lakukan padaku tadi.
Rasa takutku tiba-tiba saja lenyap. Hilang entah kemana. Yang kupikirkan hanyalah, aku ingin melihat keadaan Ryan. Secepatnya!
Dan terima kasih atas ucapan Kak Ayla tadi. Aku jadi merasa spesial di mata Ryan walau aku sendiri tidak yakin di mana letak spesialnya diriku itu.
***
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha ✔
Novela Juvenil[NOVEL] | Audi Marissa Nasution hanyalah gadis enam belas tahun biasa yang sangat perfeksionis dan ambisius--juga sedikit diktator. Keinginannya simpel. Dia hanya ingin diterima di SMA Nusa Bangsa. SMA nomor satu di kotanya. Dan ia berhasil. Good lu...