Bagian Tiga Puluh: Akhir Dari Segalanya
"Hei! Jangan dulu pulang, ya?" seru Ryan cukup kencang ketika kita berdua berada di motor matic pink-nya dalam perjalanan pulang.
Ia mendesakku untuk duduk di belakang sedangkan ia yang menyetir. Aku menolak awalnya, tapi Ryan adalah seorang perayu ulung yang baru kusadari. Jadi, pada akhirnya, aku kalah.
"Kenapa?!" tanyaku ikut berseru.
"Aku mau kita ke suatu tempat dulu. Undian jalan-jalan kita waktu itu, inget? Kencan ketiga kita," jawabnya. Pipiku bersemu merah mendengar kata 'kencan' yang terucap dari bibirnya.
"Ke mana?" tanyaku kemudian. "Rahasia!" balasnya misterius. Aku tertawa pelan mendengar balasannya. "Asal kamu gak niat bunuh aku aja!"
Mendengar ucapanku itu, kini giliran Ryan yang tertawa.
***
Dua puluh lima menit di perjalanan dan akhirnya, kita sampai juga.
Kini, kita berada di suatu perbukitan. Cukup jauh dari kota. Tepatnya, berada di pinggiran kota. Tapi, aku tidak menyesal begitu melihat pemandangan yang disajikan di sini. Indah. Kita mampu melihat matahari senja juga atap-atap rumah yang terlihat sangat kecil dan jauh dari atas sini. Udaranya masih sejuk—dan cenderung dingin.
Seperti mengerti rasa dinginku, Ryan kemudian membalutiku dengan jaket jins kebesarannya di tubuhku yang mungil. Jaket yang sama yang ia pakai saat tragedi malam itu.
Aku kembali mencium wangi khas tubuh Ryan dari jaketnya. "Ini kedua kalinya aku pake jaket kamu," ucapku masih dengan menghirup aromanya yang serasa memenuhi indra penciumanku.
"Oh, ya? Kapan yang pertama? Aku gak inget." Aku menggeleng menjawab pertanyaannya. "Bukan kamu yang pakein. Tapi Daffa."
Ia terlihat kecewa saat mendengar jawabanku. Aku lantas tersenyum simpul. "Gak usah sedih gitu! Suruh siapa kamu koma waktu itu?!"
"Jadi..." tanyanya menggantung. "Jadi, apanya? Aku pake jaket kamu tepat di depan ruangan kamu waktu di rumah sakit tempo lalu. Waktu kamu masih koma. Dan waktu aku ketakutan setengah mati."
Kami berdua terdiam sejenak. Tak lama, Ryan kemudian menuntunku menuju ke bawah salah satu pohon rindang dan kami duduk berdua di sana dengan menyenderkan kedua punggung kami pada batang pohon yang besar.
"Apa tujuan kamu bawa aku ke sini?" tanyaku kemudian. "Nge-date, 'kan?" jawabnya skeptis. Aku tertawa mendengarnya.
Ia terpaku menatapku. Membuatku salah tingkah dan kemudian menghentikan tawaku. "Kenapa berhenti? Suara tawa kamu indah."
Aku menggigit pelan bawah bibirku sambil menahan rasa maluku.
"Di." Ia tiba-tiba memanggilku lembut. Aku berdeham menjawabnya. Masih merasa salah tingkah.
"Coba ceritain tentang diri kamu," lanjutnya. "Gak ada yang spesial dalam diri aku. Kalau-kalau kamu mau tau," jawabku asal. Ia menggeleng.
"Aku gak butuh cerita yang nunjukkin kamu itu spesial. Karena tanpa itu semua, kamu udah terlihat sangat spesial di mata aku," gombalnya yang membuat pipiku memanas.
"AH! Ngomong-ngomong tentang spesial, aku penasaran sama alasan kamu milih aku jadi pacar kamu. Di rumah sakit waktu itu, kakak kamu bilang kalau aku mungkin spesial di mata kamu. Tapi, alasan kamu ngajak pacaran waktu itu ... apa murni karena pengen bantu aku?" tanyaku penasaran.
"Gimana kalo kamu ceritain diri kamu dulu. Abis itu, aku akan jawab pertanyaan kamu itu," tawarnya. Aku lantas mengangguk pelan menyanggupinya.
"Oke. Aku mulai, ya?" tanyaku menjeda. Ia mengangguk pelan. "Aku anaknya Pak Anas Nasution sama Bu Ida Kurniasih. Dan mereka adalah orang tua tersibuk sedunia—bagi aku. Pak Anas Nasution, dia pengacara kondang di Indonesia. Dan Bu Ida Kurniasih, kamu yakin kamu gak kenal dia?" tanyaku padanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha ✔
Novela Juvenil[NOVEL] | Audi Marissa Nasution hanyalah gadis enam belas tahun biasa yang sangat perfeksionis dan ambisius--juga sedikit diktator. Keinginannya simpel. Dia hanya ingin diterima di SMA Nusa Bangsa. SMA nomor satu di kotanya. Dan ia berhasil. Good lu...