Bagian Sepuluh: Pacaran!!
Kini, aku tengah duduk berdua dengan Ryan di atas rooftop sembari meminum sekotak susu coklat pemberian Ryan.
Sesaat setelah Ryan menolongku yang terkunci di dalam kamar mandi tadi, ia segera membawaku kesini dan memberiku sekotak susu yang berada di saku celananya tanpa banyak kata. Singkat kata, ia mengajakku membolos yang anehnya tak membuatku menyesal. Sama sekali.
Ia terdiam sejak awal. Begitupula aku.
Sebenarnya, aku masih malu dengan tindakan refleksku yang memeluk dirinya tadi.
Tapi, aku hanya ... terlampau bahagia karena dapat ditemukan. Terlampau bahagia karena masih adanya orang yang menolongku di antara sekian banyaknya murid Nusa Bangsa. Dan terlampau bahagia karena masih adanya orang yang peduli padaku.
Tapi walaupun begitu, aku seharusnya bisa menahan diri, 'kan? Aku seharusnya tau diri, 'kan?
"Ehem." Ryan berdeham pelan yang membuatku menoleh ke arahnya. "Udah tenang? Mau ke kelas sekarang atau nanti? Jam istirahat pertama udah selesai," lanjutnya sambil membalas tatapanku dengan tatapannya yang teduh.
Aku tetap terdiam. Membisu seolah tak ada satu hal pun yang dapat kuucapkan sebelum akhirnya Ryan berjalan melewatiku. Tanpa perlu waktu lama, aku segera mencekal tangannya. "Lo ... gak bakal nanya kronologis peristiwa tadi?"
"Gue sebenernya udah tau," jawabnya angkuh dan kemudian mengalihkan pandangannya hingga menatap ke arahku, lagi. "Tapi, gue siap dengerin kalo lo mau cerita."
Aku tak segera membalas ucapannya. Yang kulakukan hanya menatap matanya yang kecoklatan itu terus dan terus hingga akhirnya aku menceritakan semuanya.
"Gue takut, Yan. Bener-bener takut. Mereka ... emang bener-bener nakutin. Mereka ... bener-bener nyakitin mental gue."
Ia terdiam sembari terus menatapku yang juga menatapnya. Lalu, ia pun kembali mendudukkan dirinya di sampingku dengan mata yang tak lepas dariku.
"Well, gue udah peringatin lo sebelum ini, 'kan? Dan gue juga udah bilang kalo satu-satunya cara biar lo gak di bully, yaa, dengan jadi pacar gue. Pertanyaannya sekarang, lo mau gak jadi cewek gue?" ucapnya yang membuatku mendengus kasar.
"Masih aja minta gue jadi pacar lo! Ngebet, ya?" tanyaku mencoba bergurau.
Ryan menggedikkan bahunya pelan. Tak mengacuhkan gurauanku. "Gue cuma ngasih bantuan buat lo doang. Emang kalo lo udah kayak gini, si Alvian itu bakal bantu lo? Enggak! Dia cuma bilang suka doang ke elo dan ke empat ratus lebih cewek di Nusa Bangsa. Dia itu pengumbar rasa suka tanpa bener-bener suka. Tukang baperin anak orang. Tukang PHP! Sekarang aja lo dibantu sama gue. Bukan sama si Alvian," serunya terdengar kesal.
"Lo ... tau darimana kalo dia tukang PHP?" tanyaku heran. Ryan berdecih pelan. "Itu gak penting. Yang penting sekarang, lo mau gak jadi cewek gue?"
Ia kembali menanyakan pertanyaan yang sama. Aku kembali berpikir. Memang, apa yang diucapkan Ryan tadi ada benarnya. Sekarang saja, yang menyelamatkanku adalah Ryan. Bukan Alvian. Jadi, kenapa aku harus bergantung pada Alvian-yang bahkan tidak mungkin ada di setiap saat?
"Emang, lo bisa jamin bakal ada di deket gue setiap saat? Buat bantu gue dari semua penindas itu?" tanyaku ragu. Ia mengangguk mantap. "Itu pun kalau lo bersedia."
Aku tercenung dan entah mengapa, aku menjadi ragu. Ragu untuk menolak tawarannya.
Tanpa kusadari, aku menatap dalam manik mata Ryan. Mencari keyakinan dalam diriku dan dirinya hingga akhirnya aku menjawab, "Oke. Gue mau jadi cewek lo."

KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha ✔
Novela Juvenil[NOVEL] | Audi Marissa Nasution hanyalah gadis enam belas tahun biasa yang sangat perfeksionis dan ambisius--juga sedikit diktator. Keinginannya simpel. Dia hanya ingin diterima di SMA Nusa Bangsa. SMA nomor satu di kotanya. Dan ia berhasil. Good lu...