Bagian Dua Puluh Satu

150 18 0
                                    

Bagian Dua Puluh Satu: Keluarga

Mamaku datang lima menit setelah Sayla dan Daffa pamit pulang. Pakaiannya terlihat mencolok juga tak pantas untuk dipakai di rumah sakit. Dan aku yakin ia tak mengganti kostumnya terlebih dahulu sebelum ke sini. Gaunnya terlihat glamour dan terlalu terbuka untuk dipakai di rumah sakit.

Di belakangnya, Ayah menuturi dengan setelan kerjanya. Jas hitam, celana kain hitam dan sepatu pantofel hitam. Satu-satunya yang berwarna selain hitam hanyalah dasinya yang berwarna biru tua dengan motif garis-garis keemasan juga kemeja putih dibalik jas hitamnya.

Wajah tegasnya yang selalu kaku itu bahkan tak menampilkan ekspresi apapun—setidaknya, rasa cemas karena anak gadisnya dirawat. Aku rasa, lebih baik mereka tidak perlu mengunjungiku di rumah sakit karena aku merasa apa yang tengah mereka lakukan sekarang hanyalah sebuah formalitas semata.

"Kamu sudah baikan?" tanya Mama datar sesaat setelah ia berdiri di sampingku yang masih terduduk bersandar di sandaran ranjang rumah sakit. Lihat? Bahkan tidak ada nada khawatir yang terdengar dalam getar suaranya. Tidak pula dengan raut wajahnya. Mama terlihat biasa-biasa saja.

Aku memulas senyuman simpul di wajah pucatku dan menjawab, "Aku sudah lebih baik dari kemarin-kemarin, Ma."

Yaa, setidaknya, itu karena aku tidak tau apa yang terjadi padaku sebelumnya. Dan terbangun di sore hari ini, telah membuat badanku terasa lebih segar dari sebelumnya.

"Kenapa kamu bisa ada di sini?" Lagi-lagi, Mama bertanya dengan nada datarnya. Berbeda jauh dengan Bunda pada malam-malam sebelumnya. Malam saat Ryan segera dilarikan ke rumah sakit ini. Aku tersenyum miris dengan perbandinganku sendiri. Yaa, tentu saja berbeda. Ini keluarga Nasution, Audi!

"Hanya kurang cairan juga tidak kuat dengan bau obat-obatan," jawabku singkat. Aku bahkan enggan untuk menceritakan cerita lengkapnya pada mereka. Seperti, alasan aku ke rumah sakit, pacarku yang sekarat dan kini masih koma, atau apapun itu. Itu karena aku tau, mereka pasti tidak akan merasa penasaran karena itu tidak penting bagi mereka.

"Sekarang, bagaimana? Kamu masih di rumah sakit, bau obat-obatan juga masih tercium di ruangan ini. Kamu benar sudah merasa baikan?" Mamaku kembali bertanya. Aku hanya menganggukkan kepalaku mantap.

Kini rasanya, bukan bau obat-obatan yang mampu melumpuhkanku. Tapi ketidaksadaran Ryan di ranjang seberangku. Lagipula, aku punya banyak stok masker wajah di laci. Aku meminta tolong Daffa untuk membelinya sebelum ia pulang tadi.

Dan di atas segalanya, aku hanya ingin kembali bertemu dan berbincang bersama dengan bundanya Ryan. Benar-benar berbincang hangat dan melemparkan satu-dua lelucon dan tertawa bersama. Tidak seperti malam itu, malam di saat aku terus melihatnya menangis sedih.

Karena aku merasakan hal yang berbeda saat tengah berada di dekat Bunda Ryan. Aku tidak merasa canggung dan suhu atmosfer juga tidak terasa dingin yang menusuk tulang saat bersamanya. Berbanding terbalik ketika berbincang bersama dengan Mamaku sendiri yang mampu membuatku canggung seketika juga merubah atmosfer yang semula hangat menjadi sedingin kutub utara.

Dan tanpa sadar, aku mulai meminta pada Tuhan untuk memberikanku orang tua yang seperti keluarga kecil Ryan. Hangat, ceria dan menggambarkan keluarga yang sebenarnya.

***

To Be Continued

Matcha ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang