Bagian Lima: Kesepakatan
Bel tanda pulang telah berbunyi. Aku lantas memasukkan alat tulisku ke dalam tas dan bergerak menuju lokerku yang berada tepat di belakang kelas untuk memasukkan buku-buku serta seragam olahragaku setelah beberapa menit yang lalu, guru mata pelajaran yang mengisi kelas telah keluar.
Namun kemudian, kegaduhan yang sempat terjadi di dalam kelas seketika lenyap. Teman-teman sekelasku terdiam mematung di tempatnya masing-masing dengan tatapan yang tertuju pada pintu kelas. Penasaran, aku pun ikut mengarahkan pandanganku ke pintu kelas dan sedikit terkejut begitu melihat Alvian yang tengah berdiri di sana. Sedang apa dia di sana?
Matanya menengok ke sekeliling seperti tengah mencari seseorang. Ia tampak tak peduli atas keheningan yang tercipta karenanya itu—mungkin?
Hingga akhirnya, pandangannya bertubrukkan denganku. Saat itu juga, ia melambaikan tangan seraya tersenyum. Ia mencariku?
"Audi!" panggilnya sedikit berteriak hingga membuatku yakin bahwa ia memang mencariku. Tanpa menjawab panggilannya, aku segera menggendong tasku dan berlari kecil ke arahnya.
Sekilas, aku dapat melihat pandangan sinis Ryan padaku juga pada Alvian. Mungkin, ia masih merasa kesal padaku. Aku mengerti. Tapi, ada apa dengan Alvian? Kenapa ia mendapat tatapan sinis dari Ryan juga? Well, mungkin dia memang sinis terhadap semua orang. I really don't care!
"Ada apa nyariin gue, Al?" tanyaku to the point. "Pulang bareng?" ajaknya membuatku menaikkan sebelah alisku heran. "Seriusan? Lo ngajakin gue pulang bareng? Rumah gue jauh, loh..." balasku menakut-nakuti.
"Seriusan! Justru itu, bagus dong kalo rumah lo jauh!"
Aku menatapnya dengan kening berkerut heran. "Apa bagusnya?" "O-oh ... mm ... yaa, gitu! Kalau rumah lo jauh, itu artinya gue harus nganterin lo sampai rumah. Biar lo lebih aman aja di jalan," ia memberikan opini tak masuk akalnya.
Tanpa berpikir panjang, aku pun menyanggupinya. Yaa, itung-itung irit ongkos. Ongkos ojek online 'kan lumayan.
Sepanjang koridor yang kulewati, suasana mendadak hening dan seluruh tatapan para murid yang masih berada di sekolah itu terlihat mengamatiku dan Alvian yang berjalan bersisian denganku lekat-lekat. Itu benar-benar mengganggu dan membuatku semakin penasaran dengan sosok lelaki di sampingku ini.
Siapa sebenarnya Alvian hingga menjadi fokus utama satu sekolahan? Apa ia salah satu murid berpengaruh besar di sini? Itu pasti.
Tapi, jujur, aku masih sangat penasaran dengan dia dan pengaruhnya di Nusa Bangsa.
***
"Thanks," ucapku berterima kasih begitu aku turun dari motor ninja merahnya.
Ia membalas ucapanku dengan senyum manisnya. "Well, mulai besok dan seterusnya, lo bakal gue anter-jemput," ucapnya memutuskan secara sepihak.
"Ooh ... Wait-WHAT?! Gak-gak-gak! Gak perlu-gak perlu! Balik bareng? Okay, gue setuju. Tapi, jemput? Lo jemput gue pagi-pagi buat ke sekolah bareng? BIG NO!" tolakku tidak setuju.
"Loh? Kenapa?" Dia bertanya dengan tampang bodohnya. "Yaa, gak usahlah, Al! Ngerepotin, tau gak?" jawabku dengan nada tak enak. Mencoba menghentikan niatnya.
"Enggak, kok. Enggak ngerepotin sama sekali! Jadi boleh, 'kan?" balasnya dengan menunjukkan puppy eyes-nya.
Aku hampiiir saja mengiyakan keinginannya jika saja tidak teringat dengan segala bentuk perhatian yang diberikan anak satu sekolahan tadi. Mengingatnya lagi saja sudah membuatku bergidik ngeri.
Bagaimana jadinya bila aku terlihat berjalan bersisian kembali dengan Alvian besok pagi? Bukan hanya untuk sehari, tapi juga untuk hari-hari berikutnya?
Akankah aku mendapatkan perhatian dari anak satu sekolahan kembali seperti tadi? Atau mungkin, aku akan mendapatkan yang lebih parah dari sekadar menjadi pusat perhatian?
Menjadi pusat perbincangan, contohnya?
Ah, bahkan hari ini pun, aku telah menjadi sosok yang digosipkan oleh anak-anak karena terlibat skandal murahan dengan si-idiot-Ryan.
Jadi, keputusannya ada pada diriku. Menerima tawaran Alvian atau tidak.
Dan mungkin, jawabannya adalah—
"Enggak."
—tidak.
Alvian nampak mengerutkan keningnya bingung sebelum ia kembali bertanya, "Kenapa?" Aku hanya menggedikkan kedua bahu, acuh tak acuh.
"Jawabannya cuma, enggak. Dan gak ada alesannya," bualku.
"Kalo gue yang maksa?" Alvian mulai menunjukkan keegoisannya. Satu hal yang tak kusukai. "Tetep enggak!"
"Mungkin kalo cuma sekedar balik bareng seperti apa yang lo bilang di awal tadi, lo mau?" Alvian kembali membujuk dengan nada lembutnya. Aku lantas menghembuskan nafasku lelah hingga kemudian aku menganggukkan kepalaku pelan.
"Setuju. Asal bukan pergi bareng."
Mungkin, besok-besok, aku akan kembali menjadi pusat perhatian seluruh kelas karena ketahuan pulang bareng dengan Alvian, lagi. Tapi—
"Lo tunggu gue di parkiran aja. Gak usah jemput gue ke kelas. Deal?"
—tidak. Karena aku punya caranya sendiri.
"Loh, kenapa?" Ia kembali bertanya yang membuatku tanpa sadar menghela nafas lelah.
"No question! Just deal with it or NEVER!" seruku dengan menunjukkan sedikit sifat diktatorku yang mengintimidasinya hingga akhirnya ia mengalah dan menyetujui keinginanku.
"Okay. Pulang sekolah, tiap hari, gue tunggu lo di parkiran," ucapnya lagi menegaskan. Aku menganggukkan kepalaku pelan
"Bye, Al!" pamitku dan lantas berjalan menjauhi Alvian untuk masuk ke dalam rumah.
***
To Be Continued
Ps: Bagi kalian pecinta cogan2 koriyah (khususnya eksoh-EXO) YUK CEK WORK NYA NyaiEceu02 judulnya My Favorite Teacher... Jangan jd sider jugaa!
![](https://img.wattpad.com/cover/118521119-288-k674927.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha ✔
Genç Kurgu[NOVEL] | Audi Marissa Nasution hanyalah gadis enam belas tahun biasa yang sangat perfeksionis dan ambisius--juga sedikit diktator. Keinginannya simpel. Dia hanya ingin diterima di SMA Nusa Bangsa. SMA nomor satu di kotanya. Dan ia berhasil. Good lu...