Bagian Dua Puluh Enam

161 19 0
                                    

Bagian Dua Puluh Enam: Sisi Kedua

Aku menatap Alvian yang tengah merokok di atap sekolah. Senin ini, aku meyakinkan diriku untuk melihat kejadian tragis itu dari sisi Alvian.

"Al!" seruku dari balik punggungnya. Ia berbalik. Dan kemudian, ia menjatuhkan rokoknya dan menginjaknya hingga api di rokok itu padam.

"Bolos?" tanyanya padaku. Aku terkekeh pelan.

"Pelajaran hari ini gak begitu penting. Masih bisa ngejar," jawabku dengan cengiran. Aku kemudian melangkahkan kakiku mendekati tembok pembatas atap sebelum Alvian berseru memperingatiku, "Awas jatoh!"

Setelahnya, aku berhenti. Dan kemudian menghirup udara dari atas sini dengan khidmat.

"Gue tau kalo lo pasti tau. Lo udah dikasih tau Ryan, 'kan?" tanyanya dari balik punggungku. Langkah kakinya mendekat dengan perlahan. "Apa maksud lo?" Lagi-lagi, aku berlagak bodoh.

"Ryan itu sosok yang mulutnya ember walau macho kayak begitu," balas Alvian sedikit mengejek Ryan yang membuatku tertawa pelan. "Lo ngakuin dia macho? Lo normal, 'kan?" Aku berbalik hingga dapat menatapnya yang tengah memutarkan kedua bola matanya. Lalu, ia berdecak kesal.

"Emangnya salah? Lagian, gue normal di saat gue bahkan bisa bilang ke seribu cowok lain kalo dia macho!" serunya kesal. Dan kemudian, atap ini menjadi hening.

"Kalo gitu, apa yang mau lo lakuin di sini? Lo mau apa nyariin gue?" tanyanya kemudian sesuai dengan apa yang kuperkirakan sebelumnya.

"Gue mau tanya tentang insiden itu menurut versi lo. Gue gak mau berdiri hanya di satu sisi tanpa liat sisi yang lainnya," balasku. "Kalo gitu, lo mungkin butuh camilan," ucapnya menggoda.

Dengan cekatan, aku lantas merogoh satu buah permen loli yang selalu tersedia di saku bajunya itu sebelum kemudian membuka bungkusnya dan melahapnya. Ia hanya melihatku dengan terbengong sebelum akhirnya ia menggeleng-gelengkan kepalanya takjub. "Lo beneran ajaib."

"Ajaib emang udah jadi nama tengah gue! Jadi, apa cerita versi lo? Gue siap dengerin kalo kayak gini." Dan tak lama kemudian, ia pun memulai ceritanya.

"Gue emang sebel banget sama Ryan. Bahkan mungkin, dendam sampe rasanya gue menderita kalo liat Ryan bahagia. Dan akhirnya, saat gue tau kalo dia suka sama lo, gue coba rebut elo dari dia. Biar dia tau gimana rasanya kalo gebetan direbut sama temen sendiri—atau bahkan musuh sendiri. Dan sebelum kehadiran lo, kita—gue dan Ryan—emang balapan liar di suatu malam awal bulan ini. Tapi sayangnya, gue kalah.

"gue gak terima kekalahan gue itu. Jadi, gue minta tanding ulang. Dan saat itu, Ryan setuju. Dan diambillah tanggal yang paling strategis buat kita balapan. Tanggal di mana gak bakal ada razia mendadak atau segala macemnya yang bisa buat kita berdua masuk penjara.

"tapi, gak tau siapa yang pertama mulai, dua orang anak buah gue mutusin kabel rem tangan Ryan. Gue gak tau apapun saat itu. Sumpah! Gue berani mati saat ini juga kalo gue boong. Dan saat Ryan di rumah sakit, saat gue masuk ke ruangannya, di situlah gue tau apa yang sebenarnya terjadi sampe buat Ryan kritis.

"dari tangan kanan kepercayaan gue, gue tau kalo ada dua anak dari geng gue yang gak suka banget sama Ryan dan coba buat bikin Ryan mampus. Kebetulan, malam itu, gue mau racing sama dia dan ada razia mendadak. Kita langsung putar balik saat tau ada razia. Abis itu, tabrakan gak dapat dicegah lagi. Untuk sesaat, gue syok setelah liat Ryan yang terbujur lemah di atas aspal dengan berlumuran darah. Tapi kemudian, gue sadar kalo dia mungkin aja bisa kekurangan darah dan mati di tempat. Jadi, yaa, gitu. Dengan secepat kilat, gue coba nolongin Ryan. Gue coba bawa dia ke rumah sakit. Sedendam-dendamnya gue sama dia, gue tetep aja gak pengen dia mati.

"kalo lo pikir Daffa yang bawa dia ke rumah sakit, lo salah. Jelas salah. Kalo nunggu Daffa, mungkin Ryan udah gak bisa sama lo lagi saat ini. Daffa sendiri, dia ditangkap dan dijadiin tahanan di polres malam itu. Dan gue langsung minta tolong Om gue buat bebasin dia setelah gue tau dia ketangkep. Dia yang nebus Daffa di penjara. Dan kemarin, dengan segala keberanian yang gue punya, gue minta maaf dan coba buat jelasin semuanya ke Ryan."

"Terus, gimana katanya?" Aku bertanya dengan fokus pada wajahnya. Ia menggeleng perlahan. "Dia gak bilang apa-apa. Enggak bahkan untuk sekadar marahin, nonjok, atau apapun yang mungkin bisa buat gue tenang. Dia diem gitu aja. Dan jangan lupain sama tatapan matanya yang tajem itu. Jujur, gue kecewa sama responnya itu."

Seketika, aku merasa berempati padanya. Dan tanpa sadar, aku menepuk pelan bahunya. "Thanks karna udah nyelamatin Ryan malam itu. Dan ... lo tau? Rokok itu gak baik buat kesehatan. Gue lebih milih Alvian yang ngemutin lollipop-nya daripada Alvian yang ngehirup gas beracun itu."

Dan sedetik setelah mengucapkan itu, aku berbalik melangkah menjauhi Alvian. Kembali menuju kelas. Untuk saat ini, ini sudah lebih dari cukup.

***

To Be Continued

Matcha ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang