Bagian Sembilan Belas

151 21 0
                                    

Bagian Sembilan Belas: Lemah

Memasuki ruangan Ryan, bau obat-obatan semakin tercium oleh indra penciumanku. Ugh! Bau yang sangat tak kusukai seumur hidup dan rasanya aku tak sanggup lagi menciumnya. Tapi, sebisa mungkin aku tahan rasa mual yang menjalari tubuhku. Aku perlu melihat keadaannya!

Di depan sana, aku melihat sosok Ryan yang terbaring lemah tak berdaya di atas kasur rumah sakit yang kecil dengan kardiograf yang terpasang di tubuhnya. Benda sialan yang mampu membuktikan Ryan masih hidup. Benda sialan yang mampu membuktikan bahwa Ryan adalah sosok yang kuat dan mampu bertahan walau truk telah berusaha mengoyak tubuhnya.

Sedetik kemudian, aku melafalkan doa dalam hati. Mengucapkan beribu kata syukur pada Tuhan yang telah berbaik hati menyelamatkan Ryan dari kecelakaan tragis itu.

Tanpa sadar, air mataku meleleh. Sial! Aku sudah tau ini akan terjadi, tapi kenapa aku tak bisa menahannya?!

Aku mengusap air mataku kasar dan melangkah mendekati ranjang Ryan. Ingin menatapnya lebih dekat dan mencoba mengenggam tangannya. Hangat. Tangannya yang hangat itu mengingatkanku akan belaiannya pada rambutku beberapa waktu lalu. Mengingatkanku akan caranya merapikan anak rambutku, mengenggam tanganku juga memeluk diriku.

Meski aku belum lama mengenalnya, aku mengerti sekali caranya menyentuhku selama ini. Caranya menyentuhku benar-benar khas. Berbeda dengan yang lainnya. Membuatku merasa bagaikan sosok yang rapuh. Mudah pecah. Fragile. Tapi tak ayal, ia membuatku merasa disayangi.

Dan aku merasa sangat sakit sekali melihatnya terkapar lemah tak berdaya seperti ini. Ini terlihat seperti ... bukan dirinya.

Ryan yang kukenal beberapa minggu ini adalah Ryan yang jail, susah diatur, tidak mau diam, dan idiot. Bukan Ryan yang diam dan lemah tak berdaya seperti ini!

Dengan sedikit terisak—karena ternyata aku tidak mampu menahannya terlalu lama—aku menempelkan sebelah tangannya yang tak dipasang infus itu ke pipiku dan mengenggamnya erat. Sebelah tanganku yang lain mengusap wajahnya yang lebam dengan perlahan. Takut menyakitinya bahkan di saat ia tengah tak sadarkan diri seperti ini.

Dahinya dibaluti oleh perban, begitu juga dengan kaki kanan dan tangan kanannya yang juga ikut diperban, membuatnya terlihat seperti setengah mumi. Di bagian mulutnya, terpasang alat untuk menyalurkan oksigen. Satu kata yang mampu melukiskan sosok Ryan saat ini, parah.

Malam itu, yang tak lagi bisa disebut tengah malam, aku tak bisa berkata-kata di hadapan tubuh Ryan yang terbaring lemah. Aku ikut lemah melihat keadaannya. Sedangkan tangisku, hal yang membuatku semakin terlihat lemah, tak mampu kuhentikan.

Dihadapkan oleh keadaan yang seperti ini—dengan Ryan yang terluka parah dan aku yang bahkan tidak bisa melakukan apapun—membuatku merasa seperti orang yang tak berguna. Keadaan ini juga membuatku merasakan perasaan yang selama ini tak pernah kusangka kehadirannya. Dan mungkin, hanya Ryan yang mampu menyentuh sisi hatiku yang satu itu.

Setelahnya, aku bahkan tak tau apa yang terjadi selanjutnya, aku tidak ingat.

***

Aku tidak ingat apa yang terjadi padaku sebelumnya. Tiba-tiba saja, aku sudah terbaring di kasur rumah sakit. Kasur yang tepat berada di samping tempat Ryan berbaring.

"Sore! Udah sadar?" sapa seseorang di sampingku. Samar-samar, aku melihat ia memakai seragam Nusa Bangsa. Aku pun menggerakkan kepalaku ke samping dan melihat Daffa yang tengah duduk di sampingku.

"Gue seharusnya gak ngehubungin lo kalo tau lo bakal pingsan," sesalnya yang membuatku memelototkan mata. Aku merasa kesal dengan ucapannya tadi. Aku merasa tak dianggap. Bagaimanapun juga, aku ini pacarnya, hei!

Ia mendudukkanku dan menyandarkan tubuhku pada sebuah bantal di belakangku sebelum menyuruhku meminum air putih melalui sedotan.

"Gimana keadaan Ryan?" tanyaku pada akhirnya dengan suara yang serak. "Dia dipastikan gak bakal bangun minggu-minggu ini. Gue gak tau pasti kenapa dan apa bahasa dokternya. Tapi yang gue tangkep, Ryan butuh istirahat lebih. Ia kekurangan cairan juga. Itu yang buat masa tidurnya lebih lama dari seharusnya." Ia menjeda ucapannya. "Lagian, ini baru hari keempat dia koma."

Aku menatapnya bingung mendengar ucapannya. Hari keempat Ryan koma?

"Oh, gue lupa kasih tau. Lo juga udah pingsan empat hari. Dehidrasi dan tubuh lo yang gak kuat nyium bau obat-obatan. Lo pasti pusing, 'kan?" lanjutnya lagi. Aku terkejut mendengar ucapannya. Dalam hati, aku tidak menyangka akan tumbang juga.

"Gimana sama keluarga gue? Lo udah hubungin mereka dan kasih tau kabar gue ke mereka? Lo gak setakut itu 'kan buat calling keluarga gue? Atau lo sama takutnya buat nelpon keluarga gue sama kayak rasa takut lo nelpon keluarga Ryan?" tanyaku begitu aku mengingat keluargaku. Yah, walaupun itu tak begitu penting. Aku hanya penasaran saja sebenarnya.

"Sayangnya, bukan itu alasannya. Lo gak bawa ponsel lo. Gue jadi bingung harus hubungin siapa. Satu-satunya yang gue punya, ya, nomor ponsel lo," jawabnya acuh.

Aku menepuk pelan keningku mengingat posisi ponselku yang kini masih tergolek rapi di atas laci kamarku dekat ranjang. Aku memang tidak membawanya malam itu. Terlalu panik hingga membuatku terburu-buru dan melupakan alat komunikasi terpenting itu.

"Untungnya, siang tadi--waktu jam istirahat makan siang--ponsel lo ada yang ngangkat waktu gue telponin. Nyokap lo. Dan mungkin, sebentar lagi dia nyampe," ucapnya lagi yang mampu membuatku menghela nafas lega. Setidaknya, mereka telah pulang.

"Hei, Daffa!" sapa seorang gadis yang memakai seragam serupa dengan Daffa begitu memasuki ruang rawat inap Ryan—yang juga ruang inapku—sambil membawa bingkisan berisi buah-buahan. "Hei juga, Audi!" sapanya juga padaku begitu ia melihatku yang tengah bercakap dengan Daffa.

Dia...

***

To Be Continued

Matcha ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang